Kedudukan SPPT PBB dan Terbitnya SP2 Pemeriksaan

Oleh: Fransiskus Xaverius Herry Setiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Secara umum Indonesia menganut sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan self assesment. Hal ini ditegaskan dalam bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Namun tidak semua jenis pajak yang dipungut negara menggunakan sistem self assesment. Ada satu jenis pajak yang masih menganut sistem official assesment, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan. Official assesment merupakan sistem pemungutan perpajakan yang memberikan wewenang pada fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang.
Secara garis besar sistem official assesment Pajak Bumi dan Bangunan tercermin dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (UU PBB). Subjek Pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Kemudian berdasarkan SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Apabila SPOP tidak disampaikan wajib pajak dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak maka Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak.
Ada suatu kejadian di lapangan di mana wajib pajak belum mengembalikan SPOP sampai dengan 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP. Kantor Pelayanan Pajak kemudian memberikan surat imbauan dan surat teguran. Sampai batas waktu yang ditentukan, wajib pajak belum mengembalikan SPOP sehingga KPP melakukan tindakan pemeriksaan dengan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Tetapi wajib pajak kemudian mengembalikan SPOP dan KPP ternyata menerbitkan SPPT PBB. Lalu bagaimana kedudukan SPPT PBB dan SP2 yang telah diterbitkan oleh KPP tersebut? Apakah penerbitan keduanya sah dan dapat berjalan bersamaan? Bagaimana aspek hukumnya?
Jika kita mencermati secara detail pasal demi pasal dalam UU PBB secara eksplisit tidak diatur mengenai kedudukan SPOP yang disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. Namun jika mencermati UU KUP ada satu pasal yang mengatur bahwa Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. Pasal 3 ayat 7 huruf d UU KUP tepatnya. Lalu bagaimana kedudukan SPOP yang disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak? Apakah sama?
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 UU KUP, SPT adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara pengertian SPOP menurut Pasal 1 angka 4 UU PBB adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang ini. SPT dan SPOP merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan objek pajak.
Dalam Pasal 23 UU PBB diatur secara tegas bahwa terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam UU PBB tidak diatur mengenai kedudukan SPOP yang disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, sehingga sesuai dengan Pasal 23 UU PBB seharusnya berlaku ketentuan UU KUP, yaitu ketentuan Pasal 3 ayat 7 huruf d UU KUP.
Mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat 7 huruf d UU KUP maka SPOP dianggap tidak disampaikan apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. Kapan tepatnya Direktur Jenderal Pajak melakukan tindakan pemeriksaan? Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU KUP memberi jawabannya. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak (SP2) disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak.
Dalam aturan pelaksanaannya, hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan. Jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a (pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB) paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada subjek pajak atau wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa, dari subjek pajak atau wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada subjek pajak atau wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa, dari subjek pajak atau wajib pajak.
Mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat 7 huruf d UU KUP dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU KUP, maka SPOP dianggap tidak disampaikan apabila SPOP disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan yang dimulai pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak.
Berkaca dari kasus di atas, maka saat penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari subjek pajak atau wajib pajak menentukan sah atau tidaknya penerbitan SPPT PBB. Sehingga ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
- Pengembalian SPOP dilakukan sebelum SP2 disampaikan kepada wajib pajak
- Pengembalian SPOP dilakukan setelah SP2 disampaikan kepada wajib pajak
Pertama, jika SPOP dikembalikan oleh wajib pajak sebelum SP2 disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak, maka SPPT PBB yang diterbitkan berdasarkan SPOP yang dikembalikan sebelum SP2 disampaikan kepada wajib pajak, sudah sesuai dengan ketentuan sehingga SP2 atas objek pajak tersebut seharusnya dibatalkan. Namun, Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan, mengatur bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dapat dilakukan, dalam hal terdapat indikasi jumlah PBB yang terutang berdasarkan Analisis Risiko lebih besar dari pada jumlah PBB yang terutang berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh subjek pajak atau wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b Undang-Undang PBB. Oleh karena itu, KPP masih dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKP PBB, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014.
Kedua, jika SPOP dikembalikan oleh wajib pajak setelah SP2 disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak, maka sesuai ketentuan Pasal 3 ayat 7 huruf d UU KUP, SPOP tersebut dianggap tidak disampaikan. Oleh karena itu, SPPT PBB yang diterbitkan berdasarkan SPOP yang dikembalikan setelah SP2 disampaikan kepada wajib pajak, tidak sesuai dengan ketentuan sehingga SPPT PBB atas objek pajak tersebut seharusnya dibatalkan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2017.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan merupakan Undang-Undang yang sudah cukup lama. Tidak seperti UU KUP, PPh maupun PPN, UU ini hanya pernah diubah sekali yaitu pada tahun 1994 dengan terbitnya UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak sudah selayaknya pengaturan mengenai kedudukan SPOP dan kegiatan pemeriksaan diatur secara rinci dan tegas. Semoga reformasi perpajakan khususnya di bidang peraturan perpajakan dapat menjembatani harapan ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 5768 views