Pandemi, Literasi, dan Pajak

Oleh: Laras Audina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur melalui kekayaan alam yang melimpah serta banyaknya jumlah penduduk saja namun adanya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dalam pengelolaannya. Membangun masyarakat literat merupakan salah cara yang dapat ditempuh mengingat pentingnya literasi dalam peningkatan kualitas dan kecakapan SDM. World Economic Forum pada tahun 2015 menyepakati adanya enam literasi dasar yang harus dikuasai antara lain literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Dari keenam aspek tersebut, literasi baca tulis merupakan aspek utama bahkan dapat dikatakan sebagai pondasi awal dari penguasaan literasi lainnya.
Berdasarkan Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) tahun 2018 oleh Gerakan Literasi Nasional (GLN) dapat dipahami bahwa tingkat aktivitas literasi membaca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini didasarkan pada empat dimensi tolak ukur indeks antara lain dimensi kecakapan, dimensi akses, dimensi alternatif dan dimensi budaya. Dari tolak ukur tersebut selain dimensi budaya yaitu minat membaca yang juga perlu menjadi perhatian adalah dimensi akses. Ketersediaan buku bacaan memiliki dampak pada literasi membaca. Ketersediaan buku ini selain dilakukan pemerintah dengan pengadaan perpustakaan nasional maupun daerah juga perpustakaan yang berada tiap sekolah, tak luput dari peran pegiat literasi seperti penulis dan penerbit buku. Semakin banyak para penulis yang menghasilkan karya dan dicetak penerbit maka semakin kaya pula khazanah literasi membaca di Indonesia. Namun kontribusi penulis dan penerbit buku pada literasi membaca di Indonesia sendiri sering kali menghadapi tantangan. Salah satu tantangan terbesar yaitu pembajakan buku baik secara cetak maupun digital.
Di tengah pandemi seperti ini dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak masyarakat mencari aktivitas yang dapat dilakukan di rumah salah satunya membaca. Sayangnya minat membaca ini diiringi dengan tren penyebaran tautan unduh ebook secara gratis melalui WhatsApp yang jelas saja ilegal. Penyebaran ebook dengan alasan mencerdaskan bangsa dengan memberi akses literasi yang murah dan terjangkau dirasa tidak tepat sasaran. Pembaca ebook sudah pasti memiliki smartphone dan tentu berasal dari kalangan masyarakat menengah yang masih memiliki kemampuan ekonomi dalam membeli buku. Padahal dampak pandemi yang turut dirasakan penulis dan penerbit adalah terjadinya penurunan omzet penjualan buku sehingga mengakibatkan pengurangan karyawan dalam tim penerbitan seperti editor, ilustrator, desainer, percetakan, distributor serta terhambatnya pemberian royalti pada penulis. Dengan adanya penyebaran ebook ilegal ini, alih-alih membantu literasi membaca Indonesia malah membuat semakin terpuruk karena mematikan semangat berkarya oleh penulis dan berkurangnya buku yang dicetak penerbit.
Hal yang dapat kita lakukan dalam membantu penulis dan penerbit selama pandemi yaitu dengan menanamkan kesadaran akan urgensi membaca buku secara legal karena masih banyak masyarakat yang tidak paham akan urgensi tersebut. Misalnya tindakan membaca ebook gratis dari hasil unduhan melalui blog maupun tautan drive yang menggandakan tanpa izin hak cipta dianggap tindakan yang lumrah. Padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan dengan pembajakan sama halnya seperti membeli buku bajakan. Walaupun banyak kasus pembajakan buku yang tidak ditindaklanjuti secara tegas melalui jalur hukum hingga mengakibatkan kian maraknya pembajakan buku.
Untuk membaca buku secara legal itu sendiri dapat dilakukan dengan membeli buku cetak yang orisinal dari penerbit atau toko buku distributor resmi. Hal ini dikarenakan keuntungan penulis dan penerbit berasal penjualan buku orisinal tersebut. Untuk pembaca buku digital pun tak perlu khawatir karena sekarang tersedia aplikasi penjualan ebook seperti google play book dan gramedia digital. Di gramedia digital selain membeli ebook juga dapat meminjam ebook dengan cara berlangganan setiap bulannya seperti layanan digital pada aplikasi streaming musik atau film. Jika tidak ada kemampun untuk membeli buku dapat meminjam ebook pada aplikasi iPusnas. Aplikasi yang diusung oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini memungkinkan akses peminjaman ebook bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Tak perlu khawatir, walaupun gratis namun ebook yang ada pada iPusnas tersebut legal sama dengan aplikasi berbayar lain karena telah membeli hak cipta atas buku yang ada dalam koleksinya. Sehingga penulis tetap mendapat keuntungan melalui hak cipta tersebut.
Seperti yang kita ketahui, dalam penghitungan pajak pekerjaan penulis dipersamakan dengan pekerjaan bebas sehingga penghitungannya berdasarkan pada Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dari penghasilan bruto. Penghasilan bruto sebagai penulis meliputi semua penghasilan yang terkait dengan profesi penulis, termasuk penghasilan royalti yang diterima dari penerbit dan hak cipta di bidang kesusastraan yang dimiliki oleh penulis. Adapun besarnya NPPN bagi penulis berdasarkan PER17/PJ/2015 (Kegiatan Pekerja Seni KLU: 90002) adalah sebesar 50% dari penghasilan bruto. Sehingga dapat dikatakan selama ini sumbangsih para pegiat literasi (dalam hal ini penulis serta penerbit yang membantu pencetakan buku) pada penerimaan negara terbilang cukup besar mengingat besaran pajak yang mencapai 50% dari royalti atas penjualan buku serta hak cipta di bidang kesustraan. Selain membantu menyelamatkan literasi membaca di Indonesia, membeli dan membaca buku secara legal bisa dikatakan sebagai bentuk penghargaan kepada penulis atas karyanya serta kontribusi yang diberikan baik pada literasi maupun terhadap penerimaan negara.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1402 views