Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kata-kata seperti judul di atas boleh dibilang merupakan salah satu kata-kata paling romantis yang bisa digunakan seorang pria untuk melamar seorang wanita. Mengapa? Kata-kata tersebut bisa membuat seorang pria terlihat sangat patriotis dan ksatria. Bagaimana tidak, di momen istimewa dalam hubungan percintaannya saja, ia masih memikirkan kewajibannya kepada negara.

Ya, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan simbol pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan seseorang kepada negara. Seiring berjalannya waktu dan perubahan kondisi seseorang, hak dan kewajiban perpajakannya pun bisa berubah. Perkawinan adalah salah satu kondisi yang bisa menyebabkan hak dan kewajiban perpajakan seseorang berubah. Bagaimana itu bisa terjadi?

Keluarga sebagai Satu Kesatuan Ekonomis

Sistem perpajakan negara kita menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Artinya, secara perpajakan keluarga dipandang bukan sebagai individu-individu terpisah, melainkan sebagai satu entitas. Dengan demikian, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suatu keluarga tidak dilakukan oleh masing-masing anggota keluarga, tetapi hanya dilakukan oleh kepala keluarga.

Sebagai tanda pengenal wajib pajak dalam pelaksaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, NPWP punya kaitan erat dengan penempatan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Sebab, ketika pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suatu keluarga hanya dilakukan oleh kepala keluarga, tanda pengenal untuk menjalankan hal itu pun cukup diberikan kepada kepala keluarga. Dengan kata lain, dalam konsidi normal yang wajib memiliki NPWP hanya kepala keluarga. Anggota keluarga yang lain tidak wajib memiliki nomor berdigit 15 tersebut.

Tidak hanya berimplikasi pada kewajiban kepemilikan NPWP, penempatan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis juga berimplikasi pada pengenaan pajak penghasilan (PPh). Sebagai satu entitas, keluarga harus menempatkan penghasilan pada level entitas, bukan pada level individu masing-masing anggota keluarga. Artinya, penghasilan seluruh anggota keluarga harus digabung menjadi penghasilan keluarga. Nah, penghasilan keluarga inilah yang dikenai PPh.

Gabung NPWP atau Masing-masing?

Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam kondisi normal yang wajib memiliki NPWP hanyalah kepala keluarga (suami) dan PPh dikenai atas penghasilan keluarga. Namun, dalam kondisi tertentu seorang istri dapat memiliki NPWP bagi dirinya sendiri dan dikenai PPh secara terpisah. Kondisi tertentu tersebut bisa terjadi antara lain apabila dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Meskipun dalam kondisi tertentu penghasilan suami-istri dikatakan dikenai PPh secara terpisah, sebenarnya PPh tetap dikenakan atas penghasilan gabungan suami-istri. Pasalnya, penghasilan neto suami dan penghasilan neto istri harus dijumlahkan terlebih dahulu untuk menghitung PPh terutang. Baru kemudian PPh terutang tersebut ‘dipisah’ sebagian untuk suami dan sebagian lagi untuk istri secara proporsional berdasarkan perbandingan penghasilan neto masing-masing. Lalu, PPh terutang ‘terpisah’ tersebut diperhitungkan dengan kredit pajak masing-masing sehingga didapatlah PPh kurang (lebih) bayar. Terakhir, suami dan istri masing-masing melaporkan hasil perhitungan tersebut dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi secara ‘terpisah’ dengan menggunakan NPWP masing-masing. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya bukan penghasilannya yang dikenai PPh secara terpisah, melainkan perhitungan PPh kurang (lebih) bayar dan pelaporan SPT-nya-lah yang dilakukan secara ‘terpisah’.

NPWP Terpisah Dikenai PPh Lebih Tinggi?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumya, baik gabung maupun pisah NPWP, sebenarnya PPh tetap dikenakan atas penghasilan gabungan suami-istri. Meski demikian, ada satu kondisi yang memungkinkan penghasilan suami-istri tidak perlu digabung untuk dikenai PPh. Kondisi tersebut terjadi ketika istri bekerja sebagai pegawai hanya pada satu pemberi kerja dan ia tidak mempunyai NPWP bagi dirinya sendiri (NPWP gabung suami). Kalau kondisi ini terpenuhi, suami tidak perlu menggabungkan penghasilannya dengan penghasilan istrinya. Ia hanya perlu melaporkan penghasilan istrinya dalam SPT Tahunan pada pos Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final di kolom Penghasilan Isteri dari Satu Pemberi Kerja.

Perlu diingat, kondisi di atas bersifat kumulatif. Artinya, ketika istri punya NPWP bagi dirinya sendiri, penghasilan suami-istri tetap harus digabung untuk menghitung PPh-nya. Pasalnya, apabila istri memiliki NPWP bagi dirinya sendiri, ia dianggap memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Di sinilah letak pengenaan PPh yang lebih tinggi. Sebab, ketika penghasilan suami-istri digabung, otomatis akan terkena lapisan tarif PPh yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh.

Agar lebih mudah dipahami, mari simak contoh kasus berikut:

Rendy dan Raisa (K/0) adalah pasangan suami-istri yang menikah pada Desember 2018. Rendy adalah seorang pegawai swasta yang bekerja pada PT Mencari Cinta Sejati. Raisa juga seorang pegawai swasta yang bekerja pada PT Patah Hati Nasional. Selama tahun 2019, Rendy memperoleh penghasilan neto sebesar Rp250 juta dan telah dipotong PPh Pasal 21 oleh PT Mencari Cinta Sejati sebesar Rp23.725.000,00. Sementara Raisa, selama tahun 2019 memperoleh penghasilan neto sebesar Rp150 juta dan telah dipotong PPh Pasal 21 oleh PT Patah Hati Nasional sebesar Rp9.400.000,00.

Skenario 1: Sebelum menikah, Raisa telah memiliki NPWP bagi dirinya sendiri. Segera setelah menikah, Raisa mengajukan penghapusan NPWP miliknya sehingga menjadi gabung NPWP dengan Rendy.  

Perhitungan PPh Rendy dan Raisa di Akhir Tahun

Penghasilan Neto Rendy                                                            Rp250.000.000,00

PTKP (K/0)                                                                                (Rp58.500.000,00)

Penghasilan Kena Pajak                                                             Rp191.500.000,00

PPh Terutang: 5%   x Rp50.000.000,00   = Rp2.500.000,00

                        15% x Rp141.500.000,00 = Rp21.225.000,00  Rp23.725.000,00

Penghasilan Raisa hanya perlu dilaporkan oleh Rendy dalam SPT Tahunan-nya pada pos Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final di kolom Penghasilan Isteri dari Satu Pemberi Kerja. Jadi, jumlah PPh Rendy dan Raisa pada Skenario 1 adalah sebesar Rp33.125.000,00 (Rp23.725.000,00 + Rp9.400.000,00).

Skenario 2: Sebelum menikah, Raisa telah memiliki NPWP bagi dirinya sendiri. Hingga kini, NPWP tersebut tidak diajukan penghapusan oleh Raisa.

Perhitungan PPh Rendy dan Raisa di Akhir Tahun

Penghasilan Neto Rendy                                                            Rp250.000.000,00

Penghasilan Neto Raisa                                                              Rp150.000.000,00

Penghasilan Neto Gabungan                                                      Rp400.000.000,00

PTKP (K/I/0)                                                                             (Rp112.500.000,00)

Penghasilan Kena Pajak                                                             Rp287.500.000,00

PPh Terutang: 5%   x Rp50.000.000,00   = Rp2.500.000,00

                        15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00

                        25% x Rp37.500.000,00   = Rp9.375.000,00    Rp41.875.000,00

PPh Terutang bagian Rendy:

(Rp250.000.000,00 / Rp400.000.000,00) x Rp41.875.000,00 =  Rp26.171.875,00

Kredit Pajak                                                                                 (Rp23.725.000,00)

PPh Kurang (Lebih) Bayar Rendy                                            Rp2.446.875,00

PPh Terutang bagian Raisa:

(Rp150.000.000,00 / Rp400.000.000,00) x Rp41.875.000,00 =  Rp15.703.125,00

Kredit Pajak                                                                                 (Rp9.400.000,00)

PPh Kurang (Lebih) Bayar Raisa                                             Rp6.303.125,00

PPh kurang bayar di atas wajib disetor oleh Rendy dan Raisa ke kas negara paling lambat sebelum menyampaikan SPT Tahunan (umumnya paling lambat 31 Maret 2020), Namun, karena ada kebijakan relaksasi penyampaian SPT Tahunan untuk tahun pajak 2019, penyetoran tersebut dapat dilakukan paling lambat 30 April 2020. Kemudian, Rendy dan Raisa wajib melaporkan perhitungan dan penyetoran PPh di atas dalam SPT Tahunan mereka menggunakan NPWP masing-masing secara ‘terpisah’.

Terlihat jelas bahwa apabila Raisa memiliki NPWP bagi dirinya sendiri (NPWP terpisah), jumlah PPh yang dikenai menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah PPh apabila Raisa gabung NPWP dengan Rendy. Kedua skenario di atas menghasilkan selisih yang cukup lumayan, yaitu sebesar Rp8.750.000,00.

Segeralah Ajukan Penghapusan NPWP Istri

Agar tidak dikenai PPh yang lebih tinggi, pasangan suami-istri hendaknya segera mengajukan permohonan penghapusan NPWP istri. Caranya cukup mudah. Sang istri hanya perlu mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti fotokopi buku nikah/akta perkawinan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar.

Bagi yang sedang merencanakan pernikahan, ada baiknya untuk mulai membicarakan dan merencanakan penghapusan NPWP si calon istri setelah menikah nanti. Ini penting dilakukan agar setelah menikah nanti mereka tidak dikenai PPh yang lebih tinggi. Bagi yang sedang merencanakan untuk melamar sang pujaan hati, kata-kata yang romantis perlu dipilih untuk menyatakan maksud hati. Misalnya, “Maukah kau gabung NPWP denganku?”

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja