Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam risetnya yang berjudul "Tracking Covid-19 and real time indicators" Morgan Stanley mengkategorikan empat grup negara di Asia di luar Jepang yang tercepat mengalami pemulihan ekonomi. Indonesia bersama Filipina dan India masuk di grup kedua. Grup pertama dihuni oleh Cina. Negara tersebut diperkirakan akan kembali menuju tahap PDB pra-Covid-19 pada kuartal III 2020. Sementara itu dengan catatan jika Covid-19 tidak memuncak pada kuartal II 2020, negara-negara pada grup dua akan kembali ke level pra-Covid-19 setelah Cina.

Meski riset Morgan Stanley memberi angin segar beberapa kondisi yang terangkum pada triwulan I 2020 harus diwaspadai. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan secara nilai penerimaan perpajakan hingga akhir April 2020 tercatat senilai Rp434,3 triliun. Padahal periode yang sama tahun lalu penerimaan dari pajak serta kepabeanan dan cukai mencapai Rp438,1 triliun. Untuk penerimaan pajak sendiri baru terkumpul Rp376,7 triliun atau minus 3,1% yoy.

Strategi yang telah dilakukan Pemerintah untuk membatasi ruang gerak penyebaran Corona Virus sejatinya mesti juga selaras dengan upaya untuk mendorong terus bergeraknya roda perekonomian. Terbaru adalah penerapan beberapa insentif pajak selama masa pandemi Covid-19. Tanpa menafikkan kondisi-kondisi tersebut menurunnya penerimaan pajak perlu diwaspadai dan diupayakan agar tidak semakin tajam. Hal ini mesti tetap dilakukan mengingat penerimaan perpajakan menyokong lebih dari 80% pendapatan negara dalam struktur APBN.

Dalam sistem perpajakan self assessment seperti yang diterapkan di Indonesia, fungsi pelayanan (tax service) termasuk di dalamnya penyuluhan (dissemination) pajak kepada masyarakat memegang peranan penting disamping fungsi pengawasan (supervision) dan penegakan hukum (law enforcement). Tarjo dan Kusumawati (2006) mengatakan bahwa jika ketiga fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka hasilnya meningkatkan tax coverage ratio dan sekaligus penerimaan pajak.

Menurut Gunadi yang dikutip oleh Abdul Rahman (2010), "Pajak ini mengikuti fenomena kehidupan ekonomi sosial masyarakat. Di setiap perubahan kehidupan sosial perekonomian masyarakat maka sudah sepantasnyalah pajak harus mengadakan reformasi." Dalam kondisi saat ini di mana seluruh masyarakat diimbau untuk melakukan pembatasan sosial (social distancing) dan pembatasan fisik (phisical distancing) yang berakibat pada dihentikannya layanan tatap muka di seluruh unit sejak 16 Maret 2020 ditambah banyaknya insentif pajak yang diluncurkan Pemerintah “memaksa” DJP untuk bergegas melakukan banyak terobosan. Penulis berpendapat terobosan terkait fungsi pelayanan (tax service) yang paling mendesak untuk dilakukan.

Pertama, otomasi administrasi pajak. Administrasi pajak menurut Djoned Gunadi (2005) yaitu meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dan melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk mendapatkan penerimaan maksimal dengan biaya optimal. Administrasi perpajakan dituntut bersifat dinamik sebagai upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak sebagai bagian kebijakan pajak. Jadi, adanya administrasi perpajakan yang baik dan mudah dipahami mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kepatuhan wajib pajak.

Otomasi adalah salah satu penyederhanaan administrasi pajak. Selama masa pandemi administrasi pajak mengalami perkembangan sangat pesat. Salah satu contohnya pembaharuan terjadi pada aplikasi iKSWP. Pada peluncuran pertama di pertengahan Februari 2019, layanan daring yang menginduk pada djponline.pajak.id hanya mencakup tiga layanan yaitu Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Surat Keterangan Fiskal (SKF) dan SKD SPDN. Kini, aplikasi tersebut juga memberi layanan lain, yaitu Surat Keterangan (PP 23), Pemberitahuan Memilih Berdasarkan ketentuan umum PPh (PP 23), Surat Keterangan Jasa Luar Negeri (SKJLN), Fasilitas PPh Pasal 21 DTP (PMK 44 2020), Fasilitas Pengurangan PPh Pasal 25 (PMK 44 2020), SKB PPh Pasal 22 (PMK 28 2020), SKB PPh Pasal 23 (PMK 28 2020) dan Pemberitahuan Peyampaian SPT Tahunan 2019 dengan Lampiran yang Disederhanakan (PER-06 2020). Tujuh dari sembilan layanan otomasi lahir pada masa pandemi sebagai respon dari pemberian insentif pajak dan juga sebagai implementasi menyongsong era kenormalan baru pelayanan pajak.

Meski demikian, penting untuk menjadi catatan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar administrasi pajak dapat mendorong voluntary compliance. Administrasi pajak harus dibuat sesederhana mungkin agar wajib pajak dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya secara mandiri. Penyederhanaan formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan sebagai sarana pelaporan pajak, kelancaran akses pelaporan pajak daring dan pelaporan pajak secara daring e-Filing untuk seluruhnya melalui jenis SPT Masa (saat ini SPT Masa PPh Pasal 15/22/23/26 hanya dapat dilaporkan melalui e-SPT kecuali bagi wajib pajak yang telah mengaplikasikan e-Bukpot) adalah beberapa masukan yang diharapkan segera dapat terwujud.  

Usul tersebut didasari oleh fakta  bahwa meski batas waktu pelaporan SPT PPh Orang Pribadi diperpanjang  hingga sama dengan batas akhir waktu pelaporan SPT PPh Badan di 30 April 2020, jumlah pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2019 tercatat hanya sebanyak 10,98 juta SPT atau turun 9,4% dibanding tahun lalu yang mencapai 12,19 juta SPT.

Kedua, meningkatkan kualitas dan kuantitas penyuluhan pajak daring. Sejak dilakukannya Reformasi Perpajakan Jilid I yang ditandai dengan lahirnya UU Nomo 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti  yang terjadi pada waktu yang lampau. Menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat wajib pajak dapat dilakukan melalui upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.

Sejak 16 Maret 2020 berberapa layanan penyuluhan call center DJP (Kring Pajak) mengalihkan sementara layanan konsultasi melalui nomor telepon `1500200 ke kanal-kanal berikut: akun twitter @kring_pajak, email informasi@pajak.go.id untuk informasi perpajakan, email pengaduan@pajak.go.id untuk layanan pengaduan dan  live chat pada situs web www.pajak.go.id. Baru mulai 2 Juni 2020, layanan informasi dan pengaduan Kring Pajak 1500200 akan beroperasi seperti sedia kala.

Yang menarik dicermati adalah sejak dihentikannya layanan tatap muka di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), konsultasi dilakukan melalui telepon maupun email resmi KPP. KPP bahkan menyediakan minimal 10 saluran komunikasi daring baru yaitu melalui chat. Sebagai pengganti layanan penyuluhan tatap muka, unit kerja DJP baik KPP maupun Kanwil juga penyelenggaraan kelas pajak daring. Zoom menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak diaplikasikan. Sayangnya aplikasi besutan Eric Yuan belum terlalu populer di kalangan masyarakat wajib pajak, sehingga belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 

Penulis memprediksi kelas pajak daring akan menjadi salah satu kenormalan baru dalam penyuluhan pajak pada masa pandemi Covid-19 maupun setelahnya. Karenanya agar berjalan efektif pemilihan aplikasi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat perlu menjadi pertimbangan utama.

Laporan terbaru We Are Social seperti dikutip detik.com, pada tahun 2020 disebutkan bahwa terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan total populasi Indonesia berjumlah 272,1 juta jiwa, maka berarti 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya. Untuk media sosial yang paling banyak diakses Youtube menempati urutan pertama. Selanjutnya Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit dan terakhir Sina Weibo.

Berdasarkan data di atas, agar jangkauan semakin luas perlu dipertimbangkan untuk memperkaya konten Youtube channel DJP misalkan dengan siniar (podcast) yang berisi obrolan ringan dengan bahasa yang mudah dipahami dan suasana yang lebih akrab tentang topik-topik perpajakan yang sedang hangat. Topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan bisa menjadi pilihan, contoh tentang insentif pajak PPh Final Ditanggung Pemerintah bagi UMKM.

Akhirnya penulis tutup tulisan ini dengan satu kalimat, ”Selamat data kenormalan baru pelayanan pajak Indonesia." Jaya selalu Indonesia!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.