Harga Keselamatan Bangsa

Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Genap sebulan sudah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menjangkiti bangsa ini. Itu terhitung sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus COVID-19 pertama di tanah air pada Senin (2/3). Sejak saat itu, angka kasus positif COVID-19 terus bertambah. Bahkan belakangan ini, tidak kurang dari 100 kasus positif COVID-19 baru bertambah setiap harinya.
Sampai dengan 2 April 2020, tercatat ada 1.790 pasien positif COVID-19, 112 di antaranya telah dinyatakan sembuh, dan 170 pasien meninggal dunia. Statistik tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan case fatality rate (CFR) atau rasio kematian COVID-19 tertinggi di dunia, yaitu 9,5 persen. Dengan kondisi demikian, pasti kita semua berharap COVID-19 cepat-cepat angkat kaki dari bangsa ini.
Virus dengan nama ilmiah SARS-Cov-2 ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat. Virus yang lebih dikenal dengan sebutan virus Corona ini juga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Kita dapat melihat sendiri bagaimana masyarakat kelas bawah dan para pekerja informal berpenghasilan harian menjadi kelompok masyarakat yang paling terdampak.
Menyikapi situasi yang terjadi, pemerintah bergerak cepat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan COVID-19. Salah satunya adalah pemberian insentif fiskal, khususnya insentif perpajakan.
Terbitnya PMK Nomor 23/PMK.03/2020
Setidaknya, ada empat insentif pajak yang diberikan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona (PMK Nomor 23/PMK.03/2020), antara lain:
1. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
Dalam beleid tersebut diatur bahwa pegawai yang penghasilan brutonya apabila disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta, pajak penghasilan (PPh) Pasal 21-nya ditanggung pemerintah. Hal ini berlaku selama bulan April s.d. September 2020. Artinya, selama bulan-bulan tersebut pegawai yang mendapat insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah akan menerima penghasilan tanpa potongan pajak.
Insentif ini bisa dinikmati apabila pegawai mempunyai NPWP dan pemberi kerjanya merupakan perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor (Perusahaan KITE) atau pemberi kerjanya mempunyai klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang termasuk dalam 440 KLU yang ditentukan dalam PMK Nomor 23/PMK.03/2020. Selain itu, insentif ini tetap dapat dinikmati oleh pegawai yang mendapat tunjangan PPh Pasal 21 dari pemberi kerja atau yang PPh Pasal 21-nya ditanggung oleh pemberi kerja. Akan tetapi, insentif ini tidak berlaku atas penghasilan berupa tunjangan hari raya (THR).
2. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor
Insentif ini ditujukan kepada Perusahaan KITE dan Wajib Pajak yang KLU-nya termasuk dalam 102 KLU yang ditentukan dalam PMK Nomor 23/PMK.03/2020. Insentif ini dapat dinikmati setelah Wajib Pajak mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 Impor yang diterbitkan oleh Kantor Pelayananan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Insentif ini juga berlaku selama bulan April s.d. September 2020.
3. Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25
Insentif ini juga ditujukan kepada Perusahaan KITE dan Wajib Pajak yang KLU-nya termasuk dalam 102 KLU yang ditentukan dalam PMK Nomor 23/PMK.03/2020. Dengan adanya insentif ini, Wajib Pajak mendapat pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% dari yang seharusnya. Sebagai contoh, apabila seharusnya angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak sebesar Rp1 miliar per bulan, dengan adanya insentif ini Wajib Pajak hanya perlu menyetor Rp700 juta setiap bulannya. Insentif ini juga berlaku selama bulan April s.d. September 2020.
4. Batasan Pengembalian Pendahuluan PPN Dinaikkan
Insentif ini ditujukan kepada Perusahaan KITE dan Wajib Pajak yang KLU-nya termasuk dalam 102 KLU yang ditentukan dalam PMK Nomor 23/PMK.03/2020 yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) restitusi dengan memilih opsi pengembalian pendahuluan pasal 9 ayat (4c) paling banyak Rp5 miliar. Batasan nilai lebih bayar ini naik dari sebelumnya Rp1 miliar. Insentif ini juga berlaku selama bulan April s.d. September 2020.
Perppu Mini-Omnibus Law
Teranyar, Presiden Joko Widodo menggunakan hak konstitusionalnya di tengah situasi kegentingan yang memaksa ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu tersebut diteken Jokowi pada Selasa (31/3) dan diundangkan serta mulai berlaku pada hari yang sama. Perppu yang dimaksud adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dapat disebut sebagai Perppu mini-omnibus law. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, Perpu ini berdampak (mengubah ketentuan) pada beberapa Undang-Undang (UU) sekaligus, di antaranya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU Kepabeanan, UU Bank Indonesia, dan UU Lembaga Penjamin Simpanan. Alasan kedua, beberapa materi yang rencananya akan diatur dalam omnibus law perpajakan dimasukkan ke dalam Perppu ini.
Salah satu insentif pajak yang paling menonjol dalam Perppu mini-omnibus law ini adalah penurunan tarif PPh Badan. Mulai tahun ini sampai dengan tahun 2021, tarif PPh Badan turun dari semula 25% menjadi 22%. Kemudian, mulai tahun 2022 dan seterusnya tarifnya turun lagi menjadi 20%. Bahkan, bagi perseroan terbuka (go public) yang minimal 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek dan memenuhi persyaratan tertentu diberikan tarif 3% lebih rendah. Sungguh insentif yang sangat fantastis.
Keuangan Negara Terancam?
Pemberian insentif pajak―yang pasti berdampak pada tergerusnya penerimaan negara―oleh pemerintah tentunya menghadirkan tanda tanya. Apakah ini tidak berbahaya bagi keuangan negara? Pasalnya, berbagai insentif pajak ini dikeluarkan ketika pemerintah sedang ‘jor-joran’ melakukan belanja untuk menangani COVID-19. Bahkan, kabar terbaru menyebutkan pemerintah telah mengalokasikan tambahan anggaran belanja dan pembiayaan dalam rangka penanganan COVID-19 sebesar Rp405,1 triliun. Di samping upaya ‘geser-geser’ (refocusing) anggaran tentunya. Tidakkah keuangan negara akan tekor karena lebih besar pasak daripada tiang?
Kekhawatiran tersebut tampaknya sudah diprediksi oleh pemerintah. Perppu mini-omnibus law mengakomodasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) boleh melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama tahun 2020 sampai dengan 2022. Hal ini mengubah ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebab, dalam UU tersebut, defisit APBN dipatok maksimal 3% dari PDB. Pemerintah tampaknya lebih memprioritaskan penanganan COVID-19 ketimbang defisit APBN.
Di tengah situasi yang tidak biasa (extraordinary) ini, diperlukan upaya-upaya yang tidak biasa pula. Kita juga perlu belajar untuk berpikir tidak biasa. Rasanya tidak relevan lagi berpikir penerimaan negara akan jebol atau keuangan negara akan tekor. Juga, lebih baik kita berprasangka baik kepada para pengemban tanggung jawab yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Semoga mereka semua orang yang amanah. Terakhir dan paling penting, prioritas kita adalah keselamatan bangsa, kita akan bayar berapa pun harganya!
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 718 views