Antara Kuda Unicorn dan Ayam di Lumbung Padi

Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di era serba digital yang masif saat ini, transaksi dalam jaringan seperti sebuah kelaziman yang tak bisa terelakkan. Generasi tekhnologi 4.0 telah memunculkan sebuah tranding topic yaitu “unicorn”. Unicorn sendiri memiliki makna kurang lebih adalah sebuah perusahaan rintisan (startup) yang memiliki valuasi nilai hingga US$ 1 miliar atau setara Rp14 triliun.
Kedua calon presiden memiliki pemikiran berbeda menyangkut isu unicorn. Capres 01 lebih bersikap pragmatis dan optimis tentang masa depan unicorn dengan segala turunan dan kebanggaannya pada revolusi industri 4.0. Sikap berbeda ditunjukkan capres 02 yang memberikan pandangan lebih konservatif terhadap masa depan unicorn dan ekonomi digital terkait kapitalisme dan permodalan asing. Capres 02 berpandangan bahwa kepemilikan modal asing yang dominan hingga 90% akan menjadikan Indonesia hanya sebagai “medan perang” yang tidak turut menikmati hasilnya. Tidak ada yang salah dari kedua pendapat tersebut, karena masing masing gagasan bertujuan untuk melindungi hajat hidup dan kepentingan bangsa.
Perkembangan unicorn di Indonesia tak lepas dari masifnya ekonomi digital di Indonesia. Mengutip proyeksi Google dalam laporannya bersama Temasek di Jakarta beberapa waktu lalu, bahwa 2019 di Asia Tenggara, ada 7 perusahaan unicorn, 4 di antaranya berada di Indonesia. Pengamat memprediksi ecommerce Indonesia akan tumbuh empat kali lipat pada tahun 2025 yakni mencapai angka 100 miliar dollar AS. Indonesia saat ini setidaknya memiliki empat unicorn antara lain Gojek, Tokopedia, Bukalapak dan Traveloka. Berdasarkan informasi dari Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, tahun ini Indonesia berpotensi memiliki dua decacorn, yaitu startup yang memiliki valuasi nilai US$ 10 miliar.
Indonesia dengan bonus demografi merupakan pangsa pasar yang gemuk di era ekonomi digital. Selain itu, regulasi yang masih longgar menjadikan para unicorn bebas berkrasi semaksimal mungkin dan menjelma menjadi gurita konglomerasi. Manakala startup tumbuh menjadi unicorn, banyak pihak asing yang mengambil alih (take over). Berubah menjadi raksasa atau meningkat ke level berikutnya tentu membutuhkan injeksi modal besar. Masuknya pemodal asing sebenarnya adalah sebuah paradoks biasa, dimana hukum ekonomi (demand & supplay) berjalan sebagai mana mestinya. Tantangannya adalah sejauh manakah kita dapat berpartisipasi dan mengambil keuntungan dari ceruk unicorn tersebut.
Terciptanya lapangan kerja yang lebih luas dan sebagai motor penggerak sektor UMKM merupakan sebagian manfaat dari munculnya unicorn. Sektor perpajakan seharusnya menangguk untung dari meroketnya unicorn sebagai kerangka penegak ekonomi digital. Kemajuan unicorn seharusnya linear dengan penerimaan negara di sektor pajak.
Akhir tahun 2018, pemerintah menerbitkan PMK nomor : 210/PMK.010/2018 sebagai batu pijakan regulasi perpajakan ecommerce. Regulasi tersebut baru akan berlaku efektif per tanggal 1 April 2019, namun telah mendapatkan resistensi dari berbagai kalangan karena dianggap sebagai batu sandungan terhadap kemajuan UMKM. Padahal, PMK tersebut sama sekali tidak menyebut adanya jenis pajak baru yang akan diterapkan kepada sektor ecommerce. PMK tersebut tak lebih hanya sekedar upaya menyetarakan kewajiban perpajakan antara pedagang online dan offline.
Ketakutan pedagang online untuk memiliki NPWP atau menyerahkan NIK merupakan reaksi yang berlebihan. Asas legalitas dan kewajiban sebagai pengusaha adalah sebuah keniscayaan apapun itu media dan habitatnya. Ekonomi digital saat ini memang telah berkembang menjadi sebuah lahan usaha yang maha luas. Setiap regulasi yang akan diterapkan akan mendapat perlawanan dan belum tentu bisa mengakomodasi semua kepentingan secara komprehensif. PMK tersebut adalah trigger untuk mengatur ecommerce lebih lanjut, tentu saja sebelum berlaku efektif akan diikuti dengan aturan petunjuk pelaksanaanya yang lebih detail dan spesifik. Membiarkan suatu kegiatan ekonomi tanpa regulasi bukalah sebuah pilihan yang bijak. Kewajiban pemerintah adalah mengelola kegaduhan implementasi pajak ecommerce secara elegan.
DJP dapat membangun sistem sedemikan rupa yang dapat menjadikan para stakeholder ecommerce menjadi Wajib Pajak secara sistemik dan sukarela tanpa disadari Wajib Pajak itu sendiri. Solusi terbaik yang bisa ditempuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemegang otoritas perpajakan di Indonesia adalah dengan mereformasi Tehnologi Informasi (TI) yang dipakai saat ini. Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 “Tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Mencermati regulasi yang akan diterapkan pada ecommerce dan telah menimbulkan kegaduhan, terlihat DJP belum sepenuhnya mampu untuk membentuk basis data yang ramah namun efektif menjaring potensi pajak di area digital ekonomi. Para penggiat ekonomi kreatif seperti content creator, influencer, youtuber, endorser, dll masih banyak yang belum tersentuh pajak secara proporsional. TI di DJP seharusnya dapat mengembangkan big data, artificial intelligent, cloud system dalam skala nasional maupun internasional dalam rangka membentuk basis data perpajakan yang handal dan reliable.
Perdagangan ecommerce antar negara (cross border) juga merupakan ceruk potensi perpajakan yang belum dikelola dengan regulasi yang memadahi. Pengelolaan pajak lintas negara dapat berkaca dan mengadopsi sistem terbaik di dunia. India menerapkan skema Equalization Levy Rules (EQL) di mana subjek pajak dalam negeri atau Badan Usaha Tetap (BUT) subjek pajak luar negeri di India dikenakan tarif pajak 6 persen dari nilai bruto yang dibayarkan atas transaksi antar bisnis (business-to-business) yang melebihi batas tertentu. Selain itu, India juga telah menerapkan pungutan bagi jasa periklanan daring yang dapat ditentukan di kemudian hari. Berbeda dengan Indonesia yang menerapkan destination principle, di Uni Eropa PPN dipungut berdasarkan prinsip origin principle. Skema origin principle mengatur negara tempat pengiriman barang berhak memungut PPN, dan pajak tersebut kemudian dibagi dua antara negara pengirim dan penerima.
Di era disrupsi seperti saat ini, startup dapat melakukan lompatan besar yang mencengangkan. Tak sedikit perusahaan raksasa yang berguguran karena terlambat membekali diri dengan teknologi informasi terkini. Kejadian tersebut tidak hanya pada korporasi, negara pun bisa mengalami nasip serupa. Jangan sampai fenomena unicorn yang telah membukukan prestasi gemilang di Indonesia, penduduknya hanya berperan sebagai penonton. Jangan pula pemerintah terlambat menerbitkan regulasi sehingga warganya mati tidak kebagian rejeki. Seperti pepatah, ayam mati di lumbung padi.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 443 views