Kopi Hangat Reformasi Pajak

Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“If nothing ever changed, there would be no butterflies”
(a quote)
Kata seorang penikmat kopi, cara meminum kopi tak boleh sembarangan. Tak boleh langsung minum, habis tandas tak tersisa. Tapi nikmatilah pelan-pelan, sambil mengobrol dengan kawan akrab, maka kopimu akan terasa nikmat. Kalau kamu meminumnya terburu-buru, maka kamu akan kehilangan esensi menikmati kopi. Menikmatinya adalah menikmati proses.
Syahdan, di negeri yang kita cintai ini dulu ada sebuah institusi yang terperangkap dalam godaan duniawi. Di institusi itu, mayoritas orang mau berubah. Namun mereka hanya mampu bergerak perlahan. Di sana yang biasa sudah dianggap benar, hingga untuk membiasakan kebenaran sangat sulit dilakukan. Yang bersikap jujur perlahan terbuang, sehingga mereka menepi dalam doa. Dalam penantian. Mereka tak berhenti berdoa, dalam sujud-sujud mereka, dalam tangis mereka, dalam harapan mereka.
Gerak mereka perlahan, namun terstruktur. Di beberapa sudut masjid di sebuah kampus kedinasan di Jurangmangu, beberapa lelaki muda merangkai masa depan. Mengajarkan kepada adik-adik kelas yang belum masuk dalam sungai yang kotor, bersiap-siap membersihkan sampah dalam sungai itu. Mereka memberi pesan bahwa kejujuran memang tak selalu memberimu hidup yang kamu inginkan, namun hidup yang sungguh diinginkan banyak orang muaranya berasal dari kejujuran.
Mereka mengajarkan bahwa sesungguhnya perubahan itu harus terstruktur, terproses, tak memotong pohon, tapi membersihkan parasitnya. Mereka ingin pohon itu tetap hidup, tumbuh, berbuah dan memberi manfaat bagi banyak orang. Bila pohon itu dipotong, maka hancurlah manfaatnya. Perlu proses, namun Tuhan selalu berada di dekat orang yang berdoa dan berusaha.
Di tahun 2002, angin berubah. Hembusannya menyejukkan para silent majority yang selama ini terperangkap dalam sistem. Seorang pemimpin melihat bahwa pohon itu harus memberi manfaat semaksimal mungkin. Buahnya tidak boleh diambil oleh orang yang tak berhak. Begitulah, di tangan seorang pemimpin, perubahan akan cepat bergulir. Namun ini perlu dukungan. Diam-diam mereka yang ingin berubah ini mulai bergenggaman tangan.
Dimulai dari kantor percontohan pada tahun 2002, dan akhirnya pada tahun 2008, perubahan dilakukan secara menyeluruh. Sistem mulai membiasakan kebenaran. Semangat untuk melakukan perubahan benar-benar menghangatkan kalbu, karena ini adalah kerinduan yang selama ini terpendam. Mayoritas komponen di organisasi itu mendukung, karena sebenarnya itu adalah harapan mereka sejak dahulu.
Institusi itu bernama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan perubahan itu dinamakan reformasi perpajakan tahap 1 atau biasa dikenal sebagai modernisasi perpajakan. Masyarakat mulai merasakan perubahan. Penerimaan meningkat. Negara mulai mendapatkan manfaat dari pohon yang terus menghijau itu.
Pada tahun 2002, jumlah penerimaan pajak yang berhasil dihimpun adalah sebesar Rp210,087 triliun. Pada tahun 2011, jumlah tersebut sudah naik empat kali lipatnya yaitu sebesar Rp872,6 triliun. Ini membuktikan bahwa perubahan itu memberi dampak bagi negara kita.
Berdasarkan hasil survei integritas sektor publik tahun 2011 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DJP memperoleh nilai tinggi dalam pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dari semua variabel yang disurvei, DJP memperoleh nilai total integritas sebesar 7,65, yang mana nilai ini jauh lebih tinggi dari standar minimal integritas yang ditetapkan KPK yaitu sebesar 6,0. Nilai ini juga lebih tinggi dari nilai rata-rata total integritas 15 unit layanan yang disurvei yaitu 6,4 (skala nol sampai 10). Survei KPK kepada DJP berkaitan dengan penilaian inisiatif anti korupsi pada tahun 2010 yang menunjukkan hasil 9,73 dengan skala 10 untuk kode etik dan 9,82 untuk promosi anti korupsi.
Berdasarkan survei IPB di tahun 2010 mengenai indeks kepuasan layanan wajib pajak, menunjukkan DJP memperoleh skor 3,79 dari skala 4. Hal ini membuktikan bahwa pohon itu bisa menjadi tempat berteduh yang memberi kenyamanan. Masyarakat merasakan dampak dari perubahan itu.
Perubahan Menjadi Manis
Saya bukan penggemar kopi pahit. Karenanya saya senang menambahkan susu manis dalam segelas kopi. Tapi seperti kata seseorang itu, kopi akan terasa lebih nikmat bila diseruput bersama kawan-kawan yang mempunyai rasa jiwa yang sama. Saya setuju. Bersama kita bisa membuat hidup ini menjadi lebih bermakna.
Seperti kopi yang pahit yang bisa berubah manis, hidup pun tak selamanya pahit bila kita ingin berubah. Caranya dengan tak berhenti berusaha dan berdoa. Melangkahlah, walau pun dalam langkah yang belum terarah, namun bila kita menuju jalan yang benar, kita akan akan belajar dari kesalahan itu. Tuangkanlah susu manis dalam kopimu, maka dia akan berubah menjadi manis.
Reformasi di DJP memang belum sempurna, namun prosesnya selalu dengan upaya sepenuh hati. Kini, di DJP, reformasi mulai dihangatkan kembali hingga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Reformasi perpajakan kali ini dikenal dengan penguatan pondasi lima pilar. Lima pilar reformasi perpajakan tersebut adalah perundang-undangan, organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, serta proses bisnis.
Seperti menikmati kopi, akan terasa nikmat bila menikmatinya bersama-sama. Untuk itu, DJP membutuhkan dukungan seluruh bangsa Indonesia. Karena reformasi perpajakannya akhirnya adalah untuk kepentingan bersama-sama, bukan hanya untuk kepentingan DJP semata. Kita ingin menikmati rasa manis dari reformasi perpajakan untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
Bung Hatta pernah mengatakan "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta." Indonesia sebagai rumah kita bersama, membutuhkan kepedulian dari kita semua. Kepedulian itu bisa dimulai dengan peduli pada reformasi perpajakan.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 264 views