Knowledge Management: Investasi dengan Imbal Hasil Terbaik
Oleh: Muhammad Mustakim, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pernahkah kita mengalami suatu kondisi “kosong” dimana ketika menjadi pegawai baru (baik karena pengangkatan baru maupun karena mutasi/rotasi) tidak/belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, bagaimana menyesuaikan pekerjaan tersebut dengan kearifan lokal, dan/atau apa tips dan trik melakukan pekerjaan tersebut?. Untuk beradaptasi dan mengetahui pekerjaan baru tersebut pada umumnya ada tiga hal yang dilakukan: membaca buku manual pekerjaan (apabila ada), mencari tahu melalui literatur atau melalui internet, dan yang paling umum dilakukan adalah bertanya kepada teman sejawat. Berdasarkan beberapa literatur, waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja dan pekerjaan baru adalah 3 s.d 6 bulan. Waktu adaptasi tersebut dapat dikatakan cukup lama. Apakah ada suatu sistem yang dapat mempersingkat proses adaptasi tersebut? Apakah ada metode yang dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran, pengembangan, dan berbagi pengetahuan yang tidak hanya membantu pengembangan pegawai tetapi juga dapat menjadi keunggulan kompetitif organisasi?
Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan permasalahan umum yang dihadapi oleh pegawai maupun organisasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh individu maupun organisasi di antaranya melalui penerapan knowledge management (pengelolaan pengetahuan). Pengelolaan pengetahuan pada dasarnya adalah upaya untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengembangkan, menyimpan, dan berbagi semua pengetahuan serta menjadikannya sebagai aset organisasi. Pengelolaan pengetahuan banyak mendapat perhatian karena para pakar ekonomi dan akademisi meyakini bahwa era ekonomi baru akan mengacu pada era ekonomi pengetahuan dimana daya saing organisasi lebih ditentukan oleh tingkat pengetahuan yang dapat diintegrasikan menjadi disiplin organisasi. Sebagai pembanding, dengan pengelolaan pengetahuan yang dimilikinya, National Tax Agency (NTA) of Japan dapat memangkas waktu pembelajaran dan pengembangan pengetahuan pegawai barunya menjadi hanya selama seminggu yang mereka sebut sebagai succeeding phase.
Pada dasarnya, ada tiga alasan utama mengapa setiap organisasi memerlukan pengelolaan pengetahuan, yaitu:
1. Ketika banyak terjadi reinventing the wheel
Keadaan ini terjadi apabila pengetahuan yang dikembangkan sebenarnya telah dikemukakan/digagas sebelumnya oleh pegawai terdahulu yang telah meninggalkan unit kerja tersebut, namun karena tidak terdokumentasikan dengan baik maka pengetahuan tersebut dianggap sesuatu yang baru. Efek dari keadaan ini adalah berulangnya pengetahuan yang sama dari waktu ke waktu dibandingkan kemungkinan berkembangnya pengetahuan dimaksud karena sudah lama diketahui dan digunakan dalam organisasi.
2. Ketika banyak terjadi knowledge walkout
Tiap organisasi bisa jadi menghadapi masalah banyaknya turnover pegawai baik karena resign, pensiun, atau meninggal dunia. Sayangnya, banyak organisasi yang tidak memiliki sistem pengelolaan pengetahuan yang baik untuk dapat mengumpulkan pengetahuan yang umumnya adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan berisi tips dan trik dalam melakukan pekerjaan dari para pegawai turnover dimaksud. Akibatnya, pengetahuan yang berguna akan hilang seiring dengan keluarnya pegawai dari organisasi tersebut.
3. Ketika inovasi menjadi prioritas
Salah satu faktor pembeda antara organisasi satu dengan organisasi lainnya adalah inovasi, terutama yang mampu menjadikan organisasi tersebut mempunyai keunggulan kompetitif. Steve Jobs, pendiri dan mantan CEO Apple Inc. mengatakan bahwa perbedaan antara pemimpin dan pengikut adalah inovasi. Karena itu, inovasi menjadi salah satu prioritas utama organisasi untuk mampu survive, bersaing, atau sejajar dengan organisasi lainnya.
Disadari atau tidak setiap organisasi bisa dikatakan sudah menerapkan pengelolaan pengetahuan (meskipun dalam skala kecil) dengan banyaknya kegiatan luring yang dilakukan terkait dengan transfer pengetahuan misalnya diskusi, rapat, In House Training, Intenal Corporate Value, dan pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan daring misalnya penggunaan aplikasi atau web portal untuk berbagi pengetahuan. Namun, penerapan pengelolaan pengetahuan yang efektif tidak hanya menyangkut kegiatan-kegiatan tersebut, melainkan kombinasi antara tiga aspek yaitu manusia, proses, dan teknologi. Aspek utama pemicu pengelolaan pengetahuan adalah manusia di mana akan timbul tantangan bagaimana menggerakkan pegawai untuk mau dan aktif berpartisipasi dalam pengelolaan pengetahuan organisasi. Dua aspek berikutnya adalah aspek penunjang, di mana aspek proses terkait segala sesuatu yang menjadi penghubung dalam upaya pengidentifikasian, pengumpulan, pengembangan, penyimpanan, dan pembagian pengetahuanmisalnya proses bisnis, regulasi, dan standar operasional prosedur sementara aspek teknologi terkait dukungan teknologi komunikasi dan informasi sebagai media kolaborasi dalam pengelolaan pengetahuan. Idealnya, ketiga aspek tersebut saling terintegrasi dan menjadi program strategis organisasi untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penerapan pengelolaan pengetahuan organisasi.
Mungkin masih banyak yang skeptis dan meragukan efektivitas pengelolaan pengetahuan bagi organisasi. Untuk organisasi DJP, bisa jadi timbul pertanyaan, apa kontribusi pengelolaan pengetahuan bagi penerimaan pajak negara?. Pengelolaan pengetahuan dapat dikatakan hanya menjadi pemicu dan efeknya sulit untuk dijabarkan dalam angka-angka statistik. Sebagai ilustrasi, kita dapat mengambil contoh organisasi atau negara yang secara teori sulit untuk berkembang apalagi memimpin pasar dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, namun kenyataannya bertolak belakang. Pernahkah kita bertanya mengapa Singapura, sebuah negara kecil yang tidak memiliki sumber daya alam bisa sedemikian maju?; atau Nike, sebuah merk sepatu terkenal dari Amerika serikat yang tidak memiliki pabrik dan bahan baku, bisa menguasai pasar sepatu global?; atau dari dalam negeri, Gojek, sebuah layanan transportasi daring yang tidak memiliki satupun alat transportasi milik sendiri untuk melakukan layanannya, bisa mempunyai valuasi mencapai 53 trilyun rupiah?. Salah satu jawaban yang menjadi konsensus beberapa (bahkan Penulis yakin banyak) literatur adalah efektivitas penggunaan pengelolaan pengetahuan yang dilakukannya, meskipun tidak sepenuhnya didukung oleh-oleh angka statistik dan lebih kepada dukungan best practice, tips, dan trik dalam melakukan pekerjaan. Dengan demikian, argumentasi tersebut mendukung apa yang telah disampaikan pada awal tulisan ini (era ekonomi baru akan mengacu pada era ekonomi pengetahuan) sehingga penggunaan pengelolaan pengetahuan yang terstruktur, terintegrasi, dan dinamis oleh sebuah organisasi adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, beberapa organisasi besar global termasuk di Indonesia telah menaruh perhatian besar pada pengelolaan pengetahuan dengan membentuk unit pengelolaan pengetahuan tersendiri yang menjadi salah satu hirarki kepemimpinan tertinggi pada organisasi tersebut (Chief Knowledge Officer).
Sebagai penutup, Penulis ingin mengutip pernyataan dari salah satu sosok terkenal dunia yaitu Benjamin Franklin -an investment in knowledge pays the best interest-. Tren pemanfaatan pengetahuan sebagai aset berharga organisasi menunjukkan bahwa knowledge management adalah investasi terbaik yang melebihi investasi ekonomi yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Namun, tren ini umumnya masih dilakukan organisasi berbasis bisnis dan masih minim dilakukan oleh organisasi publik (organisasi pemerintah). Sudah saatnya organisasi publik besar seperti DJP memberi perhatian dan investasi pada pengembangan knowledge management-nya terutama integrasi antara tiga aspek yaitu manusia, proses, dan teknologi serta menjadikannya program strategis organisasi untuk mendapatkan imbal hasil terbaik bagi organisasi DJP. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Referensi:
Baker, K & Badamshina, G. 2002. Knowledge Management. Knowledge Management Research Library.
Buckman, R. 2004. Building a Knowledge Driven Organization. New York, NY: McGraw-Hill.
Direktorat Transformasi Proses Bisnis. 2016. Kajian Pengelolaan Pengetahuan Direktorat Jenderal Pajak.
Malacca E-Lab. 2011. Knowledge Management Blueprint and Implementation Roadmap Development. Malacca E-Lab Report for Directorate General of Taxes of Indonesia.
Munir, N.S. 2011. Penerapan Manajemen Pengetahuan di Perusahaan di Indonesia. PPM Manajemen. Jakarta.
Nonaka, I., Takeuchi, H. & Umemoto, K. 1996. A Theory of Organizational Knowledge Creation. International Journal of Technology Management, DOI: 10.1504/IJTM.1996.025472.
- 646 views