Integritas dalam Reformasi Perpajakan (oleh Primandita Fitriandi)

Oleh: Primandita Fitriandi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tidak mudah untuk institusi sebesar DJP ini untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk patuh pajak, apalagi menumbuhkan kebanggaan untuk membayar pajak. Berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan masyarakat sudah dijelaskan dalam berbagai literatur, antara lain kompleksitas aturan pajak, tarif pajak, probabilitas diaudit, sanksi, dan sebagainya. Untuk mengurangi ketidakpatuhan, meningkatkan penerimaan pajak, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain melakukan perbaikan administrasi perpajakan. Selain itu, arus globalisasi yang begitu pesat diiringi dengan “tax competition” yang dilakukan banyak negara jelas menuntut adanya reformasi di sistem perpajakan kita. Kunci sukses dari reformasi perpajakan adalah integritas dari sistem administrasi perpajakan.

Integritas secara sederhana bisa diartikan sebagai kejujuran, kebenaran moral, kehormatan, keadilan, perlakuan yang setara, dan perilaku etis di berbagai aspek operasional dan manajemen. Integritas tidak semata-mata membicarakan pencegahan korupsi dalam arti sempit, melainkan tentang mengamankan dan memelihara kepercayaan masyarakat.

Integritas bagi petugas pajak adalah harga mati. Korupsi adalah hal yang tidak boleh ada dalam kamus seorang fiskus. Selain menghancurkan pilar ekonomi bangsa, korupsi juga menyudutkan DJP ke tubir ketidakpercayaan masyarakat. Tidak mudah untuk membangun citra baik di masyarakat, tetapi amatlah mudah bagi korupsi untuk memukul mundur pondasi positif yang telah dibangun. Sampai sekarang pun tak lekang dalam ingatan masyarakat akan kasus Gayus yang menghentak publik tanah air sekitar lima tahun lalu. Belum berlanjut dengan kasus lain yang semakin memojokkan DJP. Berbagai kasus ini mengisyaratkan bahwa integritas adalah pion penting yang perlu terus dimainkan dalam bingkai reformasi sistem perpajakan Indonesia.

Meski begitu, di lain pihak wajib pajak pun harus memiliki integritas. Pengelakan pajak (tax evasion) yang dilakukan dengan melanggar peraturan, misal penggelapan omzet, pengakuan biaya yang tidak sah, faktur fiktif, dan sebagainya, yang mengakibatkan pajak yang dibayar kurang dari yang seharusnya harus dihindari. Wajib pajak yang patuh dan tidak bermain mata dengan petugas pajaklah yang dibutuhkan negeri ini. Momen amnesti pajak yang baru saja lewat membuktikan bahwa ternyata masih banyak wajib pajak dan konsultan pajak yang berintegritas dan mempunyai jiwa patriotisme.

Secara ringkas, menurut OECD integritas bisa terwujud dengan menjunjung tiga aspek utama yaitu keadilan (fairness), kesederhanaan (simplicity), dan transparansi (transparency). Keadilan berarti dalam kondisi yang sama wajib pajak satu dengan yang lain dikenakan pajak yang sama. Di lain sisi, petugas pajak juga tidak boleh berlaku sewenang-wenang kepada pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya ke negara. Selanjutnya, kesederhanaan mengandung arti membayar pajak itu mudah. Tidak semata peraturan pajak itu mudah dipahami, tapi masyarakat pun mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Terakhir, transparansi mensyaratkan bahwa pelaksanaan administrasi perpajakan dipahami dengan baik oleh masyarakat dan memberikan kepastian untuk investasi dan usaha.  Ketiga unsur ini berperan penting dalam membangun sistem yang berintegritas.

Bagaimana untuk meraih integritas di DJP? Tidak lain reformasi perpajakan adalah kuncinya. Keadilan, kesederhanaan, dan transparansi bisa diwujudkan dengan reformasi perpajakan di bidang sumber daya manusia, organisasi, perundang-undangan, informasi teknologi, dan proses bisnis. Reformasi yang dilaksanakan secara terukur, terencana, konsisten, dan komprehensif akan membuka jalan ke DJP yang lebih kuat dan bersih. Tidak mudah untuk melaksanakannya, tetapi dengan adanya reformis-reformis yang berintegritas di DJP disertai dukungan sepenuh hati dari masyarakat, maka integritas di DJP bukan suatu hal yang mustahil untuk diraih. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja