Kulepas “Kacamata”, Melihat Pajak dengan Lebih Nyata
Oleh: (Dinni Syalsabila Safira), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kulepas kacamata
Apa kau lebih suka
Ku yang tak mau kalah
Tapi untukmu ku mengalah
Kutelan sajalah
Itukan yang kau mau
Jika kita renungkan, lirik lagu berjudul “Kacamata” yang dibawakan oleh Afgan ini menggambarkan tentang pengorbanan diri dan kehilangan jati diri demi cinta. Lirik itu menceritakan seseorang yang mengubah cara pandangnya (memakai "kacamata") agar bisa diterima, tetapi akhirnya menyadari pengorbanan itu sia-sia karena ditujukan pada orang yang salah. "Kacamata" bukan hanya benda, melainkan metafora dari cara pandang dan sudut pandang seseorang dalam melihat sesuatu.
Lalu Apa Hubungannya dengan Pajak?
Mungkin selama ini kita melihat pajak dengan “kacamata” prasangka yang berbeda-beda: merasa dipaksa, merasa dirugikan, atau merasa tidak melihat hasilnya secara langsung. Namun, ketika kita mulai menanggalkan kacamata itu dan melihat pajak secara lebih dalam lagi, kita akan menyadari satu hal penting: membayar pajak bukan soal terpaksa atau mengalah, melainkan tentang ikut bergotong royong membangun negeri.
Bayangkan sejenak: ketika mendengar kata “pajak”. Apa yang muncul pertama kali di benak kita? Sebagian orang mungkin akan spontan mengernyit, “Ah, pajak lagi... ribet, berat, dan tak jelas manfaatnya.” Sebagian lain menghela napas panjang, teringat tumpukan laporan dan angka-angka yang harus disiapkan setiap tahun.
Padahal, di balik segala kesan itu, pajak sesungguhnya adalah denyut nadi kehidupan berbangsa. Ia membiayai sekolah-sekolah yang kita masuki, jalan yang kita lintasi, rumah sakit tempat kita berobat, hingga gaji aparatur negara yang melayani kita setiap hari. Sayangnya, persepsi negatif yang melekat sering membuat pajak seolah menjadi beban, bukan kontribusi.
Inilah saatnya kita, sebagai warga negara, mencoba melepas “kacamata” prasangka yang selama ini mengaburkan pandangan kita tentang pajak. Apabila ketika kita melihat pajak dengan kacamata yang lebih jernih, kita akan menemukan cara pandang yang berbeda—tentang gotong royong, tanggung jawab, dan cinta kepada negeri.
Akar Prasangka: Mengapa Pajak Sering Disalahpahami
Prasangka terhadap pajak tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari pengalaman, informasi yang keliru, hingga warisan cara pandang masa lalu.
- Pengalaman birokratis di masa lalu
Dahulu, membayar pajak identik dengan antrean panjang, berkas tebal, dan sistem yang rumit karena terlalu banyak platform. Tak sedikit yang menganggap pajak sebagai urusan yang menyita waktu dan energi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan reformasi perpajakan berupa transformasi digital yang dinamakan Coretax.
Dengan adanya Coretax, semua layanan bisa diakses dalam satu platform dengan satu login di mana pun dan kapan pun. Bayangkan betapa praktisnya karena Anda tidak perlu datang mengantre ke kantor pajak dan tidak lagi harus berpindah-pindah aplikasi atau situs web untuk menyelesaikan berbagai tugas perpajakan Anda. DJP memahami bahwa pelayanan publik modern harus cepat, transparan, dan berorientasi pada pengguna. Oleh karena itu, setiap inovasi lahir dari kebutuhan wajib pajak yang nyata.
- Minimnya pemahaman tentang manfaat pajak
Banyak wajib pajak yang belum benar-benar melihat “wajah” nyata dari uang pajak mereka. Padahal, hampir semua fasilitas publik yang kita nikmati hari ini berdiri dari dana pajak: jembatan, listrik desa, bantuan sosial, vaksinasi, hingga subsidi pendidikan. Melalui berbagai program edukasi, sosialisasi, dan kolaborasi dengan masyarakat, DJP terus berupaya meratakan pemahaman wajib pajak mengenai peran vital pajak bagi pembangunan nasional.
Upaya ini mencakup peningkatan literasi pajak di berbagai lapisan masyarakat agar setiap rupiah pajak yang dibayarkan dapat dipahami manfaat dan dampaknya secara nyata. DJP kini gencar menjalankan program Inklusi Kesadaran Pajak. DJP tidak hanya menyasar wajib pajak melainkan juga calon-calon wajib pajak.
Melalui kegiatan seperti Tax Goes to School, Tax Goes to Campus, dan sebagainya, DJP bekerja sama dengan sekolah dan universitas di seluruh Indonesia. Melalui program ini, siswa diajak mengenal peran pajak dalam kehidupan sehari-hari—dengan bahasa yang ringan dan menarik.
- Isu kepercayaan dan transparansi
Tidak bisa dipungkiri, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang mencuat di masa lalu pernah mencoreng citra institusi pajak. Namun, yang sering terlupakan adalah bagaimana sistem perpajakan Indonesia terus berbenah—lebih transparan, lebih digital, dan lebih akuntabel dari sebelumnya.
Kepercayaan adalah fondasi dalam hubungan antara negara dan warganya. DJP terus memperkuat transparansi melalui berbagai langkah nyata. Pelaporan kinerja dan penerimaan negara dilakukan secara terbuka dan diunggah melalui laman Instagram resmi Kementerian Keuangan @kemenkeuri. Publik kini bisa mengakses data penerimaan pajak dan penggunaannya melalui laporan resmi Kementerian Keuangan.
Selain itu, sistem integritas dan kode etik pegawai diperkuat agar setiap aparatur perpajakan bekerja profesional dan akuntabel. Semakin transparan sistem berjalan, semakin besar pula kepercayaan masyarakat tumbuh. Ketika kepercayaan itu tumbuh, kepatuhan pajak tidak lagi muncul karena kewajiban, melainkan karena kesadaran.
Pajak: Cermin Gotong Royong Membangun Negeri
Dalam budaya Indonesia, gotong royong adalah nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Dahulu, warga bergotong royong membangun lumbung desa, memperbaiki jalan, atau membantu tetangga yang kesulitan. Kini, semangat gotong royong itu hadir dalam bentuk yang lebih luas: pajak.
Ketika kita membayar pajak, kita sedang bergotong royong membiayai kebutuhan bersama. Seorang guru bisa mengajar karena ada dana pendidikan dari pajak. Petugas medis bisa menolong di daerah terpencil karena pajak menopang fasilitas kesehatan. Infrastruktur seperti tol, jembatan, dan bandara bisa berdiri karena kontribusi pajak kita semua. Dengan kata lain, pajak adalah bentuk cinta kolektif dari rakyat untuk negaranya.
Insentif Pajak: Bukti Negara Hadir dan Peduli
Sering kali kita berpikir bahwa pajak hanya tentang kewajiban. Padahal, negara juga memberikan banyak ruang bagi keringanan, dukungan, dan insentif untuk membantu masyarakat serta dunia usaha tumbuh bersama. Pemerintah melalui DJP terus menyiapkan berbagai insentif pajak yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan sektor-sektor tertentu.
Selama masa pemulihan ekonomi, pemerintah juga memberikan pembebasan atau penundaan pembayaran pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan sektor terdampak pandemi, agar roda ekonomi tetap berputar tanpa harus menambah beban pelaku usaha.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah dalam rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 (PMK 10/2025), pemerintah siap memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP).
Artinya, PPh yang biasanya dipotong dari gaji dibayar oleh pemerintah. Dengan kata lain, pegawai menerima gaji penuh tanpa potongan pajak dan perusahaan tetap lapor pajak tetapi tidak perlu memungut dari pegawai. Hal ini dilakukan pemerintah dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat, mempertahankan tenaga kerja, mendorong sektor pariwisata, dan meningkatkan perekonomian.
Pihak yang berhak mendapatkan insentif ini adalah perusahaan (pemberi kerja) yang bergerak pada salah satu sektor (alas kaki, tekstil & pakaian jadi, furnitur, kulit & produk kulit) dengan periode insentif sepanjang tahun 2025, dan sektor pariwisata dengan durasi insentif mulai Oktober sampai dengan Desember 2025. Sementara itu, untuk pegawai, yang berhak atas insentif tersebut adalah pegawai berpenghasilan tetap ≤Rp 10 juta/bulan, pegawai tetap atau tidak tetap yang berpenghasilan (≤Rp 500 ribu/hari, dan bekerja di sektor yang masuk daftar.
Kebijakan ini penting untuk dilakukan karena efeknya langsung terasa: gaji bersih pegawai naik karena tidak dipotong pajak, beban biaya tenaga kerja berkurang, konsumsi naik, dan daya saing industri tetap terjaga. Pajak menjadi instrumen kebijakan yang berpihak—membantu masyarakat ketika kesulitan, serta memberi dorongan bagi mereka yang ingin tumbuh dan berkontribusi lebih besar bagi negeri.
Menutup dengan Refleksi: Waktu untuk Melepas “Kacamata”
Mungkin dulu kita melihat pajak dari balik “kacamata” prasangka: rumit, berat, dan tidak jelas manfaatnya. Tapi kini, mari kita coba melihatnya dengan kacamata baru—kacamata yang lebih jernih, lebih optimistis, dan lebih sadar akan makna kontribusi. Pajak bukan tentang angka di laporan, melainkan tentang masa depan yang kita bangun bersama.
Mari kita lepaskan cara pandang lama. Lihatlah pajak sebagai bentuk gotong royong dan kepedulian kita terhadap negeri. Saat kita memahaminya demikian, akan muncul rasa bangga—karena kita ikut membangun masa depan Indonesia bersama-sama. Pajak kuat, Indonesia maju.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 42 views