PMK 51/2025 dan PMK 52/2025: Atur Ulang Pajak Emas, Masyarakat Tak Perlu Cemas

Oleh: Gede Suarnaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*Artikel ini diperbarui pada 4 Agustus 2025
Di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, harga emas yang terus terkerek tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Emas tetap menjadi pilihan utama karena sifatnya sebagai logam mulia yang dipercaya mampu menjaga nilai kekayaan dari inflasi dan risiko situasi darurat.
Pilihan investasi emas kini semakin beragam. Tidak hanya dalam bentuk fisik, emas juga telah diperdagangkan secara digital. Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), nilai perdagangan emas fisik secara digital pada periode Januari–September 2024 mencapai Rp 41,3 triliun, meningkat tajam sebesar 1.181 persen dibandingkan dengan Rp 3,22 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya (Kompas.id, 29 Desember 2024).
Sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2024 mengenai Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bulion. Peraturan ini memberikan landasan hukum bagi lembaga jasa keuangan (LJK) untuk menyelenggarakan kegiatan usaha bulion. Kegiatan usaha bulion meliputi kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan emas, pembiayaan emas, perdagangan emas, penitipan emas, dan atau kegiatan lainnya.
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha bullion, pemerintah menetapkan pengaturan khusus dalam bidang perpajakan guna memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi dalam pengenaan pajak penghasilan atas kegiatan tersebut, termasuk impor emas batangan. Penyederhanaan aturan perpajakan ini dituangkan dalam dua peraturan menteri keuangan (PMK).
Pertama, PMK Nomor 51 Tahun 2025 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Kedua, PMK Nomor 52 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pajak Penghasilan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, serta Jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, yang Dilakukan oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan.
Penyesuaian melalui PMK 52/2025 yang mengubah PMK 48/2023 dilakukan terhadap pengenaan pajak penghasilan PPh dan PPN atas penjualan/penyerahan emas dan jasa yang terkait. Yang dimaksud dengan Penjualan/penyerahan emas dan jasa yang terkait adalah penjualan/penyerahan atas emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan emas, batu permata dan/atau batu lainnya yang sejenis, serta jasa yang terkait dengan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan emas, dan/atau batu permata dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh Pabrikan dan Pedagang Emas Perhiasan serta Pengusaha Emas Batangan.
PMK ini sejatinya tidak mengatur perubahan tarif pajak, melainkan berfokus pada penyesuaian ketentuan terkait pengecualian pemungutan PPh Pasal 22. PMK ini terdiri atas dua pasal, di mana: Pasal I secara khusus mengubah ayat (2) Pasal 5 dalam PMK 48 Tahun 2023. Pasal II menetapkan bahwa ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2025.
Perubahan yang dimuat dalam PMK ini menambahkan ketentuan pengecualian atas pemungutan PPh Pasal 22 terhadap penjualan emas batangan yang dilakukan oleh pengusaha emas perhiasan dan/atau pengusaha emas batangan kepada lembaga jasa keuangan penyelenggara kegiatan usaha jasa bulion yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 tetap berlaku untuk penyerahan emas batangan kepada Bank Indonesia serta melalui pasar fisik emas digital, sesuai dengan ketentuan dalam perdagangan berjangka komoditi.
Beli Emas Tidak Kena Pajak
Pasal 5 PMK 52/2025 juga menegaskan kembali bahwa pemungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan atas penjualan emas batangan oleh oleh pengusaha emas perhiasan dan/atau pengusaha emas Batangan kepada beberapa pihak tertentu. Pihak-pihak yang dikecualikan dari pemungutan pajak tersebut meliputi: pertama, Konsumen akhir. Kedua, Wajib Pajak yang dikenai PPh final, yaitu mereka yang memiliki peredaran bruto tertentu dan telah menyerahkan fotokopi Surat Keterangan yang telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak. Ketiga, Wajib Pajak yang memiliki surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
Sebagai bentuk kemudahan administrasi, pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 tersebut diberikan tanpa perlu menyertakan Surat Keterangan Bebas. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir saat melakukan pembelian emas batangan, karena transaksi tersebut tidak dikenai pemungutan PPh Pasal 22.
PMK Nomor 51 Tahun 2025 mengatur mengenai Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor maupun kegiatan usaha lainnya. PMK ini merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya yang diatur dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024, dengan fokus utama pada pengaturan aspek PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha bulion dalam bentuk perdagangan (bullion trading).
PMK 51 Tahun 2025 terdiri atas 4 (empat) bab dan 15 (lima belas) pasal, yang secara komprehensif mengatur mekanisme pemungutan, pengecualian, serta tata cara pelaporan dan administrasi perpajakan terkait kegiatan usaha bulion. Salah satu bagian krusial dalam regulasi ini adalah Bab II, yang secara khusus mengatur mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 dalam konteks perdagangan emas batangan.
Pada Pasal 2 ayat (1) huruf i), PMK ini menetapkan bahwa Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menyelenggarakan kegiatan usaha bulion dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditambahkan sebagai pihak yang wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22. Penambahan ini mencerminkan peran strategis LJK dalam ekosistem perdagangan emas batangan, baik secara fisik maupun digital.
Selanjutnya, Pasal 3 ayat (1) huruf h) mengatur bahwa atas pembelian emas batangan oleh LJK bulion, dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan ini memberikan kepastian hukum mengenai besaran tarif yang berlaku dalam transaksi pembelian emas batangan oleh lembaga keuangan.
Namun demikian, terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e angka 8), yaitu pembayaran oleh LJK bulion dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak dikenai pemungutan PPh Pasal 22. Pengecualian ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong efisiensi administrasi perpajakan.
Adapun Pasal 5 ayat (8) menegaskan bahwa PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan oleh LJK bulion terutang dan dipungut pada saat pembelian dilakukan. Ketentuan ini memperjelas saat terutangnya pajak, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dan akurasi dalam pelaporan serta pemungutan pajak.
Kesetaraan Perlakuan Pajak
Ketentuan ini menetapkan bahwa atas impor emas batangan dikenakan tarif 0,25% (nol koma dua lima persen) dari nilai impor. Pengaturan tersebut tercantum dalam lampiran PMK, yang menambahkan daftar barang impor berupa emas batangan sebagai objek pemungutan PPh Pasal 22.
Sebelumnya, dalam Pasal 219 ayat (1) huruf f PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, disebutkan bahwa impor emas batangan yang akan diproses menjadi perhiasan emas untuk tujuan ekspor dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, dengan syarat memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) Impor PPh Pasal 22.
Sementara itu, mengacu pada PMK Nomor 48 Tahun 2023, pembelian emas batangan di dalam negeri dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 dengan tarif yang sama, yaitu 0,25% dari harga jual.
Dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesetaraan perlakuan (equal treatment) serta untuk memberikan kemudahan administrasi, PMK 51 Tahun 2025 menetapkan bahwa pembelian emas batangan melalui impor maupun pembelian di dalam negeri dikenakan tarif PPh Pasal 22 yang seragam, yaitu sebesar 0,25%.
Pengaturan Peralihan SKB Impor
Terakhir, untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang telah atau sedang mengajukan SKB sebelum berlakunya peraturan baru, maka pada Bab III Ketentuan Peralihan, diatur mengenai ketentuan peralihan SKB impor emas Batangan.
Pertama, SKB PPh impor emas Batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor yang telah diperoleh Wajib Pajak, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya SKB dimaksud. Kedua, atas permohonan SKB PPh atas impor emas batangan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diterbitkan SKB sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PMK-81 (PER-15/PJ/2011). Ketiga, atas SKB PPh impor emas Batangan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud pada angka 2, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya SKB dimaksud.
Hasil riset yang dilakukan oleh McKinsey sebagaimana dikutip Kompas.Id menunjukkan bahwa pendirian bullion bank berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Nilai tambah dari rantai pasok emas diperkirakan dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 245 triliun. Selain itu, inisiatif ini diproyeksikan mampu menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 800.000 orang, meningkatkan peredaran uang hingga Rp 156 triliun, serta mendorong kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,06 persen.
Sejalan dengan potensi tersebut, penyederhanaan aturan perpajakan atas kegiatan usaha bullion diharapkan dapat memberikan dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional. Kebijakan ini tidak hanya menguntungkan dari sisi pemerintah, tetapi juga memberikan kemudahan bagi masyarakat, pelaku usaha, dan Lembaga Jasa Keuangan dalam menjalankan aktivitas investasi dan perdagangan emas.
Lebih jauh, peningkatan partisipasi masyarakat dalam berinvestasi emas di dalam negeri diyakini akan memperkuat cadangan devisa negara, serta secara tidak langsung mendukung penerimaan negara melalui mekanisme perpajakan yang lebih efisien dan adil.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 3624 views