Oleh: (Santi), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM, 2024), jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada tahun 2023 mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07 persen atau senilai Rp8.573,89 triliun. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia bukan hanya kontribusinya yang besar terhadap PDB, tetapi juga kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja sebesar lebih kurang 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja yang ada. Di samping itu, sektor UMKM juga dapat menghimpun sampai dengan 60,4 persen dari total investasi (Kemenkop UKM, I-2021).

Dengan menyadari peran UMKM yang begitu besar untuk perekonomian, dari segi Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, pemerintah menggelontorkan beberapa fasilitas atau kemudahan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM. Pertama, WP OP UMKM diberikan fasilitas berupa tarif PPh final yang rendah, yaitu sebesar 0,5% atas peredaran bruto setiap bulan. Kedua, pengenaan PPh atas WP OP UMKM tersebut hanya diberlakukan apabila total peredaran bruto secara kumulatif pada tahun yang bersangkutan telah melebihi Rp500 juta. Hal tersebut merupakan amanat dari Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ketiga, WP OP UMKM diberi waktu yang cukup lama untuk memanfaatkan tarif 0,5% ini, yaitu selama maksimal tujuh tahun, dengan cukup melakukan pencatatan (tidak wajib pembukuan). Jangka waktu ini sesuai dengan bunyi Pasal 59 ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).

Sungguh beragam fasilitas yang diberikan pemerintah, bukan? Terlebih lagi, masih terdapat tambahan fasilitas yang diberikan. Khusus mengenai jangka waktu tujuh tahun tersebut, di tengah santernya polemik tahun 2025 yang dirasa semakin berat bagi UMKM, pemerintah tetap menaruh perhatian lebih pada sektor andalan PDB ini. Melalui konferensi pers dengan topik “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” yang baru saja digelar pada hari ini, pemerintah mengumumkan kabar baik berupa perpanjangan waktu bagi WP OP UMKM agar tetap bisa memanfaatkan fasilitas tarif PPh Final 0,5% tersebut sampai dengan tahun 2025. Dengan kata lain, WP OP UMKM yang terdaftar sebagai wajib pajak sejak tahun 2018 dan sebelumnya masih tetap dapat menggunakan tarif 0,5% untuk menghitung PPh Final atas peredaran bruto setiap bulannya sampai dengan akhir tahun 2025. Di sisi lain, WP OP UMKM yang terdaftar sejak tahun 2019 dan setelahnya masih bisa bernapas lebih lega, karena masih tersisa dua tahun atau lebih untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini.

Namun, WP OP UMKM diharapkan tetap perlu bersiap-siap apabila fasilitas tarif PPh Final 0,5% sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Lantas, apa yang perlu WP OP UMKM ketahui?

WP OP UMKM yang sudah tidak dapat memanfaatkan fasilitas tersebut wajib mengikuti ketentuan pengenaan PPh secara umum dengan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh jo. UU HPP. Bagaimanakah caranya? Tenang saja, masih terdapat kemudahan yang diberikan bagi WP OP UMKM dalam menghitung PPh-nya.

Pertama-tama, kita perlu mengetahui ketentuan umumnya terlebih dahulu. Aslinya, wajib pajak yang menjalankan usaha diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Penghasilan neto akan dihitung dengan dengan cara mengurangkan penghasilan yang diperoleh dari usaha dengan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usahanya. Tentunya, penghitungan tersebut harus berpedoman pada ketentuan dalam UU PPh jo. UU HPP mengenai penghasilan dan biaya apa saja yang dapat diakui secara fiskal untuk menghitung PPh. Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku apabila peredaran bruto wajib pajak sudah mencapai Rp4,8 miliar ke atas dalam setahun.

WP OP UMKM yang peredaran brutonya masih kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun diperbolehkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, melainkan hanya melakukan pencatatan. Penghasilan neto wajib pajak tersebut akan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto atau NPPN (Pasal 14 UU PPh jo. UU HPP). Wajib pajak hanya tinggal mengalikan penghasilan bruto (peredaran bruto) yang diperoleh dari usahanya dengan persentase tertentu tanpa harus mengurangkan biaya yang telah dikeluarkan untuk menjalankan usahanya lagi. Masih tetap sederhana bukan?

Namun, untuk dapat menggunakan NPPN tersebut, WP OP UMKM wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai penggunaan NPPN ini paling lambat tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh jo. UU HPP). Pemberitahuan tersebut biasanya disampaikan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh sebelum tahun pajak berjalan. Misalnya, saat menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 nanti, wajib pajak dapat sekaligus menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN untuk tahun pajak 2026. Jika wajib pajak tidak menyampaikan pemberitahuan tersebut, wajib pajak akan dianggap memilih untuk menyelenggarakan pembukuan (Pasal 14 ayat (4) UU PPh jo. UU HPP).

Jadi Kawan Pajak, walaupun misalnya fasilitas tarif PPh Final 0,5% sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, Kawan Pajak tidak perlu khawatir. Penghitungan PPh bagi WP OP UMKM yang peredaran brutonya masih belum mencapai Rp4,8 miliar masih tetap sederhana kok. Namun, jangan lupa untuk menyampaikan pemberitahuan menggunakan NPPN ini paling lambat akhir Maret tahun yang bersangkutan ya. Selain itu, tidak ada salahnya juga untuk mulai belajar menyelenggarakan pembukuan, hi hi hi.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.