Konser the Eras Tour dan Bergukirnya Roda Swiftonomics

Oleh: I Gede Suryantara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Baru-baru ini dunia pertunjukkan dihebohkan dengan gelaran konser yang sangat dahsyat. Taylor Swift, seorang penyanyi dan penulis lagu kondang berkebangsaan Amerika Serikat, menggelar konser besar di negara Singapura. Penggemar Taylor Swift berduyun-duyun menyaksikan atraksi Sang Diva.
Kehebohan yang disajikan tidak hanya pada sajian yang penuh gemerlap. Durasi konser yang berlangsung enam hari tentu merupakan salah satu konser yang panjang dalam satu negara. Dan yang paling menghebohkan adalah Singapura menjadi satu-satunya negara yang menggelar konser Taylor Swift di Asia Tenggara.
Untuk bisa mengikat gelaran konser Taylor Swift yang hanya diselenggarakan di Singapura, pihak AEG Presents Asia, pihak yang berkepentingan dengan hajatan tersebut, telah membayar AS$2-3 juta atau sekitar Rp31 miliar hingga Rp46 miliar ke Taylor Swift untuk tiap konsernya. Upaya ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah Singapura untuk membangkitkan perekonomian pascapandemi Covid-19 yang dampaknya sangat signifikan mengerem pertumbuhan ekonomi beberapa tahun belakangan ini.
Swiftonomics
Swiftonomics merupakan istilah yang sedang populer dari tumbuhnya ekonomi suatu negara karena dampak konser Taylor Swift. Konser Taylor Swift di Singapura memberikan gambaran betapa dahsyat perputaran eknomi hanya dari konser yang diselenggarakan dalam waktu enam hari. Dan hal tersebut membuat iri negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dalam enam hari penyelenggaraan konser, promotor acara berhasil menjual habis tiket sebanyak lebih dari 300 ribu. Harga tiket untuk kategori standar dijual mulai 108 dolar Singapura atau setara dengan Rp1,2 juta hingga 348 dolar Singapura (selanjutnya disebut S$) atau setara dengan Rp3,8 juta. Selain itu, pihak penyelenggara juga merilis daftar harga paket VIP tiket konser Taylor Swift di Singapura yang terdiri dari enam paket pilihan, mulai dari harga S$328 atau setara dengan Rp3,7 juta hingga yang termahal adalah seharga S$1.228 atau setara dengan Rp13,7 juta.
Selain perolehan dari penyelenggaraan konser, dampak ekonomi juga dirasakan pada sektor penunjang. Layanan penerbangan dan hotel melonjak drastis. Tercatat jalur udara menuju Singapura melonjak tinggi sebesar 186% dengan pemesanan kamar hotel juga melesat hampir 5 kali lipat. Dari konser enam hari tersebut, diperkirakan 70% penontonnya diisi oleh turis asing yang menghabiskan US$370 juta atau Rp5,8 triliun di Singapura.
Kondisi ini tentu mampu mengangkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura. Mengutip survei yang dilakukan oleh Bloomberg, diperkirakan bahwa PDB Singapura akan terkerek sebesar 2,9 persen pada kuartal pertama tahun 2024. Estimasi ini menunjukkan peningkatan dari perkiraan sebelumnya. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Singapura menjadi gambaran besarnya dampak ekonomi suatu konser dari bintang besar di suatu negara.
Efek Event Kelas Dunia
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengungkapkan bahwa Indonesia perlu membangun konsep menumbuhkan ekonomi lokal melalui gelaran internasional. Sandiaga Salahuddin Uno menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan seperti Swiftonomics yang dapat menunjang ekonomi yang nantinya berdampak pada pertumbuhan PDB.
Sarana dan prasarana perlu dikembangkan untuk mewujudkan gagasan tersebut. Melalui penyiapan sarana dan prasarana, pemerintah dapat menawarkan acara-acara terbaik seperti konser musik dan kegiatan olahraga yang diminati turis lokal dan mancanegara. Dampak ekonomi yang diperoleh dari acara kelas internasional tentunya sangat signifikan bagi Indonesia.
Sandiaga Salahuddin Uno mengungkap bahwa pada tahun 2023 saja, penyelenggaraan konser musik bisa memberikan sumbangan sekitar Rp167 triliun. Adanya berbagai kegiatan tersebut maka akan membuka banyak lapangan kerja. Selain itu, terjadi penghematan devisa karena jumlah warga negara Indonesia yang berbondong-bondong menonton konser ke luar negeri, bisa ditekan.
Kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga bisa didorong berkembang sejalan berbagai kegiatan yang diselenggarakan. Apalagi jika kegiatan tersebut tidak hanya berlangsung di satu kota tapi menyebar ke berbagai daerah lain di Indonesia. Pemerataan ekonomi bisa diwujdukan dan PDB juga akan semakin tumbuh merata.
Pertumbuhan PDB yang diharapkan terwujud dari berbagai kegiatan internasional akan memberikan dampak ikutan dari penerimaan negara. Salah satunya tentu penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang terealisasi tidak hanya dari pajak atas kegiatan konser, baik pajak pusat maupun pajak daerah, namun juga pajak dari tumbuhnya ekonomi ikutan dari acara tersebut. Pertumbuhan pesanan moda tranposrtasi udara dan darat, akomodasi, kebutuhan makan dan minum, dan tumbuhnya UMKM tentu akan menyumbang penerimaan pajak.
Tidak hanya Swiftonomics, nantinya Indonesia juga perlu mewujudkan kegiatan internasional lainnya. Masih ada konser-konser musik yang menunggu. Diharapkan akan muncul Beyoncenomics, Adelenomics, Blackpinknomics, atau BTSnomics di Indonesia. Selain itu, tentu kita juga punya gelaran olahraga kelas dunia seperti MotoGP, MXGP, Formula One (F1), atau Piala Dunia Kelompok Umur.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 113 views