Produsen Atribut Panen Profit di Masa Kampanye, Bagaimana Pajaknya?

Oleh: Ika Hapsari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sederet usaha diproyeksikan meraup keuntungan berlipat di musim kampanye jelang Pemilihan Umum (Pemilu). Bagai kejatuhan durian runtuh, omzet yang meroket itu tak lepas dari tingginya permintaan akan sarana penunjang kampanye.
Pesta demokrasi lima tahunan ini memang identik dengan hajatan kampanye politik. Ajang krusial ini digunakan oleh para kandidat untuk menyampaikan visi dan misi masing-masing. Bagai telah menjadi tradisi, di musim kampanye, para kandidat akan berlomba-lomba menaikkan eksposurenya di mata calon pemilih. Salah satu sarana yang jamak digunakan adalah pemasangan alat peraga kampanye.
Kendati zaman semakin modern didukung kemajuan dunia digital, penggunaan media konvensional sebagai alat peraga kampanye masih sangat diminati. Tak heran, berbagai jenis baliho, umbul-umbul, spanduk, bendera, pamflet dan poster marak terpasang di berbagai sudut jalanan. Selebaran, leaflet, hingga stiker juga acap dibagikan tim sukses bakal calon ke masyarakat. Tentu fenomena ini membawa berkah tersendiri bagi para pelaku usaha percetakan.
Atribut kampanye lain yang lazim digunakan adalah aneka suvenir seperti tas, topi, hingga kaus yang dikenakan para simpatisan dan relawan. Praktis, para pengusaha sablon dan konvenksi pun kebanjiran order.
Tak ketinggalan, sejumlah bisnis lain juga diprediksikan membukukan keuntungan signifikan selama gelaran kampanye berlangsung. Sebut saja jasa pengelolaan acara (event organizer), jasa pengelolaan sosial media, jasa penyewaan media iklan digital seperti billboard atau videotron, jasa desain grafis, produsen aksesoris dan merchandise, jasa persewaan gedung, tenda, hingga sound system, jasa boga atau katering, hingga jasa pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer).
Baca juga:
Berapa Pajak Pendengung dan Pemengaruh
Rayakan Pesta Demokrasi 2024, Cermati Aspek Perpajakannya
Modal Calon Presiden Halau Tantangan Pajak
Aspek Perpajakan
Dikutip dari prosedur layanan izin pemasangan alat peraga kampanye pemilu pada laman sippn.menpan.go.id, atas permohonan izin tersebut tidak dipungut biaya. Lantas, bagaimana dengan pengenaan retribusi atau pajak daerah lainnya?
Berdasarkan Pasal 60 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), diatur bahwa yang dikecualikan dari objek pajak reklame adalah reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial. Dengan demikian, atribut kampanye yang terpasang tidak dikenakan pajak reklame. Sebagai catatan, pajak reklame merupakan pajak daerah dan tidak diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kendati demikian, ditilik dari sisi pelaku usaha yang meraup profit atas peningkatan pemesanan, terdapat sejumlah potensi pajak lainnya. Optimalisasi pajak pusat berkaitan dengan aktivitas kampanye antara lain Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29, PPh Final Pasal 4 ayat (2), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pertama, pemungutan PPN dalam hal penyedia jasa atau vendor merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan Faktur Pajak Keluaran.
PPN dikenakan pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP). Besaran PPN dihitung dengan mengalikan tarif 11 persen dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa harga jual. Apabila pemesan merupakan konsumen akhir dan bukan PKP, maka unsur PPN akan tetap disematkan sebagai bagian dari harga jual. Akan tetapi, apabila lawan transaksi merupakan PKP, maka PPN akan diperlakukan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lawan transaksi.
Lonjakan peredaran bruto PKP produsen atribut kampanye, sontak akan berkorelasi dengan kenaikan pembayaran PPh Pasal 25/29 dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Wajib Pajak di tahun pajak bersangkutan.
Kedua, penyetoran dan/atau pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, Perseroan Terbatas (PT), perseroan perorangan atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan BUMDes bersama yang memperoleh peredaran bruto tidak melebihi 4,8 miliar rupiah setahun berhak memanfaatkan fasilitas ini.
Artinya, para pelaku usaha yang masih bertaraf pengusaha mikro, kecil, dan menengah dapat menggunakan skema PPh Final yang cukup sederhana. Perhitungannya adalah tarif 0,5 persen dikalikan omzet bruto setiap bulan.
Mekanisme pelunasan PPh Final ini diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yaitu melalui penyetoran sendiri atau pemotongan oleh pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong PPh. PPh Final terutang yang disetor sendiri wajib dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada masa pajak berikutnya. Dengan terdapatnya Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada dokumen Bukti Penerimaan Negara (BPN), Wajib Pajak dianggap telah melaporkan SPT Masa PPh.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto setahun sampai dengan 500 juta rupiah, tidak dikenakan PPh Final. Meskipun demikian, wajib pajak orang pribadi harus menyampaikan surat pernyataan dan wajib melaporkan SPT Tahunan PPh dengan melampirkan daftar pencatatan omzet setiap bulannya. Surat pernyataan ini juga berfungsi agar wajib pajak orang pribadi tidak dilakukan pemotongan oleh pemotong PPh atau nihil.
Baca juga:
Ini Konsekuensi jika Wajib Pajak UMKM Bikin Surat Pernyataan Omzet Rp500 Juta Tidak Benar
Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu selain orang pribadi, dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan (Suket) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018, tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu). Suket ini juga sebagai dokumen sah yang diserahkan kepada pemotong PPh Final agar memperoleh pemotongan dengan tarif 0,5 persen.
Penegasan mengenai hal ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMK 164/2023).
Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika wajib pajak memperoleh kenaikan omzet siginifikan dalam tahun pajak berjalan hingga melampaui 4,8 miliar rupiah. Apakah status wajib pajak berubah otomatis menjadi PKP? Dalam PMK 164/2023, diatur bahwa Wajib Pajak dapat melaporkan usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP paling lambat akhir tahun buku yang bersangkutan. Apabila tidak dilaporkan, DJP dapat melakukan pengukuhan PKP secara jabatan.
Ketiga, kewajiban penyetoran dan/atau pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa dan jasa sehubungan dengan kampanye.
Bagi wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, selain harta yang telah dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2), akan dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari harga sewa. Dalam hal penerima penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pemotongan lebih tinggi 100 persen dari tarif yang ditetapkan.
Jasa katering, jasa pengelolaan acara, jasa desain grafis, dan jasa terkait kampanye lainnya yang diserahkan oleh Wajib Pajak Badan akan dipotong PPh Pasal 23 oleh pengguna jasa dengan tarif 2 persen. Jasa-jasa tersebut tergolong dalam jenis jasa lain sesuai Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker).
Keempat, pemotongan PPh Pasal 21 atas imbalan sehubungan dengan penyerahan jasa oleh wajib pajak orang pribadi.
Imbalan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berupa honorarium, komisi, fee, dan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk natura atau kenikmatan, dipotong PPh Pasal 21. Adapun skema perhitungannya adalah DPP berupa 50 persen dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif progresif sesuai Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pemotong PPh wajib menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26.
Kunjungi juga:
Kalkulator Pajak
Unduh juga:
Buku Elektronik Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26
Demikian jenis-jenis pajak yang tidak boleh luput untuk disetorkan dan/atau dilakukan pemotongan di tengah arena kontestasi pemilu ini, baik oleh pengguna jasa maupun rekanan. Hal ini lantaran kontribusi tersebut berperan penting dalam rangka mendukung penerimaan pajak demi menyokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Sehubungan dengan kewajiban netralitas ASN dalam Pemilu, artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendukung/mendiskreditkan kandidat siapa pun.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 185 views