Ini Konsekuensi jika Wajib Pajak UMKM Bikin Surat Pernyataan Omzet Rp500juta Tidak Benar

Oleh: Adifa Ekananda, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMK 164/2023). Ketentuan ini memperbarui tata cara pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan tarif 0,5% bagi wajib pajak UMKM yang beromzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Beleid ini menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. PMK 164/2023 sudah mulai berlaku sejak diundangankan pada 29 Desember 2023.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022), wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta tidak dikenakan PPh dan baru akan dikenai PPh final apabila omzet atau peredaran brutonya sudah melebihi Rp500 juta. Itu pun hanya dikenai tarif 0,5% dari setiap peredaran bruto di atas Rp500 juta saja.
PPh final tersebut harus disetorakan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir sementara Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh unifikasi harus dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. Namun dalam PMK 164/2023, kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi tidak perlu dilakukan apabila:
- wajib pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha;
- wajib pajak hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemungutan/pemotongan PPh;
- jumlah peredaran bruto dari usaha secara kumulatif sejak masa pajak pertama tahun pajak yang bersangkutan belum melebihi Rp500 juta.
Dengan demikian, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp500 juta tidak perlu lagi lapor SPT Masa Unifikasi namun tetap wajib lapor SPT Tahunan.
Selain itu, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp500 juta juga tidak dikenai pemungutan/pemotongan PPh apabila bertransaksi dengan pemungut/pemotong. Syaratnya adalah harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa omzet selama setahun tidak lebih dari Rp500 juta. Surat pernyataan tersebut dibuat sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dengan mencantumkan nama, nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat. Jika menggunakan wakil/kuasa, surat pernyataan juga harus mencantumkan nama, NPWP/NIK, dan alamat dari wakil/kuasa.
Surat pernyataan ini harus dibuat sesuai dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Masalahnya, bagaimana jika surat pernyataan ini dibuat secara tidak benar atau disalahgunakan oleh wajib pajak?
Contoh format surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto atas penghasilan dari usaha wajib pajak orang pribadi pada saat dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan tidak melebihi Rp500 juta ada pada lampiran PMK 164/2023 huruf C. Dalam surat pernyataan tersebut terdapat kalimat yang berbunyi, “Saya bersedia menerima akibat hukum apabila ternyata di kemudian hari Surat Pernyataan ini terbukti tidak benar, termasuk penerapan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku”.
Maksud "tidak benar" dalam pernyataan tersebut adalah:
- wajib pajak tetap menyampaikan surat pernyataan tersebut padahal omzet atau peredaran bruto setahun atas penghasilan usaha yang sebenarnya telah melebihi Rp500 juta; atau
- mencantumkan nama, NPWP/NIK, dan alamat wajib pajak atau pun wakil/kuasa tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Dari mana petugas bisa tahu kalau surat pernyataan tidak benar? Berdasarkan PMK Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan, Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam definisinya yang diatur dalam UU HPP, kegiatan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan.
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan terbukti bahwa surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto atas penghasilan dari usaha wajib pajak orang pribadi tidak melebihi Rp500 juta itu tidak sesuai kenyataan, wajib pajak yang bersangkutan bisa dikenai sanksi perpajakan sesuai Pasal 39 (1) huruf f UU HPP klaster Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pasal 39 (1) huruf f UU HPP klaster KUP sendiri berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi di bawah ini.
Tuan Mamat --tentu saja bukan nama sebenarnya-- adalah salah satu wajib pajak usahawan yang terdaftar di sebuah kantor pelayanan pajak (KPP). Pada bulan Januari 2024, Tuan Mamat menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto atas penghasilan dari usahanya tidak melebihi Rp500 juta ke KPP di mana ia terdaftar. Karena sudah menyampaikan surat pernyataan tersebut, selama bulan Januari sampai Desember 2024, Tuan Mamat tidak dikenai pemotongan/pemungutan PPh Final UMKM 0,5%. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan, omzet dari usaha Tuan Mamat yang sebenarnya selama tahun 2024 adalah Rp600 juta dan selama tahun berjalan Tuan Mamat tidak mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan padahal sudah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang dikenai PPh final 0,5% berdasarkan PP 55/2022.
Dari ilustrasi tersebut, PPh final UMKM yang seharusnya terutang selama tahun 2024 adalah: (Rp600-Rp500)juta x 0,5% = Rp500 ribu. Dengan demikian, Tuan Mamat berpotensi dikenai sanksi sesuai Pasal 39 (1) huruf f UU HPP klaster KUP.
Penutup
Pemerintah telah menghadirkan sejumlah insentif dan kemudahan perpajakan bagi wajib pajak UMKM. Fasilitas tersebut berupa penurunan tarif PPh final, penerapan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp500 juta, pengecualian kewajiban melaporkan SPT Masa Unifikasi, hingga pembebasan dari pemungutan/pemotongan PPh final untuk wajib pajak orang pribadi UMKM yang peredaran bruto setahun tidak lebih dari Rp500 juta. Jangan sampai kemudahan-kemudahan tersebut disalahgunakan yang dapat berakibat pada kerugian negara. Justru sebaliknya, berbagai kemudahan itu harusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh wajib pajak UMKM dengan benar.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1928 views