
Catatan Redaksi: Rubrik Feature atau Karangan Khas merupakan jenis konten yang disediakan untuk liputan berita atau peristiwa ihwal tugas dan fungsi layanan administrasi perpajakan, dengan menitikberatkan tema human interest, yang dikemas dengan gaya bahasa yang lebih ringan, renyah, dan luwes, yang berbeda dari gaya bahasa berita lempang (straight news). Feature dapat berupa kisah yang inspiratif, menyentuh hati, lucu, dan menggelitik.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap para pegawai Direktorat Jenderal Pajak peserta lomba esai integritas dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 di lingkungan Kementerian Keuangan, kami telah menyeleksi sejumlah esai yang layak dimuat di situs pajak.go.id. Secara berkala, kami akan menayangkan tulisan terpilih dimaksud, di rubrik Feature. Kami mengedit seperlunya tanpa mengubah substansi naskah asli. Dengan berbagai pertimbangan, nama penulis, tokoh, dan tempat kejadian tidak kami cantumkan. Semoga bermanfaat.
---
Sejujurnya saya tidak pernah bermimpi menjadi PNS, apalagi bekerja di “Kemensultan”. Tahu kan yang dimaksud “Kemensultan”? Yups, sebutan warganet untuk pegawai Kementerian Keuangan yang katanya diganjar tunjangan paling besar.
Singkat cerita, saya masuk Kemenkeu melalui jalur sekolah kedinasan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Alasan saya mendaftar STAN karena kuliahnya gratis dan dijanjikan menjadi PNS. Alhamdulillah, saya lulus seleksi. Lika-liku perkuliahan juga dapat dilalui dengan lancar. Setelah lulus kuliah, saya menjalani OJT (On The Job Training) di Kota Bandung dan ditempatkan di Kantor Pelayanan Pajak.
Setahun setelah CPNS, status saya berubah menjadi PNS. Kondisi ekonomi mulai membaik sebab penghasilan berubah dari kurang dari 1 Juta rupiah menjadi jutaan rupiah. Saya girang bukan main karena inilah kali pertama saya mendapat uang sebesar itu. Meski begitu, ada sedikit kegamangan terkait citra negatif DJP. Saat itu, isu miring tentang DJP menghangat akibat kasus korupsi salah seorang PNS-nya. Sampai-sampai Bu Menteri (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) meradang dan mewanti-wanti setiap pegawai Kemenkeu untuk bekerja dengan penuh integritas.
“Jika ingin menjadi kaya, jangan menjadi PNS. Pemerintah hanya membayar Anda sesuai dengan standar jabatan dan kemampuan. Jadi pebisnis jika ingin menjadi miliuner. Tapi di Kemenkeu kami ingin menjamin bahwa tingkat gaji dan tunjungannya cukup. Jadi orang yang hidup menengah karena birokrat itu yang punya skill,” tutur Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam suatu kesempatan.
Ujian Integritasku: Map Hijau yang Membuat Galau
Empat tahun berlalu. Setelah beberapa bulan diangkat sebagai Account Representative, saya diberi tugas untuk menyelesaikan permohonan restitusi pajak. Tugas saya adalah meneliti berkas kelebihan pembayaran PPN salah satu Wajib Pajak Badan.
Awalnya tidak ada yang aneh, semua berjalan normal dan syarat-syarat sudah dilengkapi. Selang beberapa hari, pegawai dari perusahaan tersebut datang ke kantor untuk menanyakan sejauh mana progres penyelesaian permohonannya. Tentu saja saya jelaskan sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku. Saya sampaikan bahwa proses transfer restitusi pajak melibatkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sehingga menyesuaikan dengan ketentuan di sana.
Cukup lama sejak kali terakhir perwakilan wajib pajak tersebut datang ke kantor, tiba-tiba pegawai tersebut datang kembali. Sambil menerka maksud kedatangannya, saya keluar dari meja help desk, menghampiri orang tersebut di ruang front office. Seingat saya, permohonan wajib pajak itu sudah selesai. Masih posisi berdiri, kami pun bertemu. Orang itu lalu berkata kalau restitusi pajaknya sudah masuk ke rekening perusahaannya.
Sembari menyodorkan map berwarna hijau, ia lalu mengucapkan terima kasih. Saya kaget campur bingung karena baru kali ini disodorkan sesuatu yang mencurigakan. Kalau boleh jujur, saya juga penasaran apa isi map hijau tersebut, apakah kertas bertuliskan “anda belum beruntung” atau berisi uang. Dengan sopan, saya tolak pemberian tersebut. Setelah adegan dorong-dorongan map, orang itu pun izin pamit tanpa berhasil memberikan “Si Map Hijau”.
Sore menjelang pulang kerja, saya ceritakan semua kejadian tersebut kepada rekan Account Representative lain. Ternyata oh ternyata, wajib pajak itu memang sering mengajukan restitusi karena kerap menjadi rekanan proyek pemerintah. Berulang kali juga pegawainya sering memaksa memberikan sesuatu kepada petugas. Selepas cerita panjang lebar, saya diingatkan oleh senior untuk tidak terpancing menerima apa pun dari wajib pajak. “Biar bekah,” ujarnya.
FOMO Versus “Urip Prasojo lan Sak Madyo”
Pernah mendengar ungkapan “Gaya Hidup Elit Ekonomi Sulit” atau Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita (BPJS)? Istilah itu kurang lebih menggambarkan bagaimana gaya hidup sebagian orang zaman sekarang yang memaksakan keinginan daripada kebutuhan tanpa mengukur kemampuan. Ada juga istilah lain yaitu FOMO, kepanjangan dari Fear of Missing Out yang berarti takut ketinggalan tren dan selalu fokus pada apa yang orang lain miliki.
Gaya hidup “BPJS” dan FOMO biasanya muncul akibat pengaruh lingkungan, khususnya hal viral di media sosial. Pinjam uang sana-sini, terlilit pinjaman online, bahkan korupsi pun bisa dilakukan demi memenuhi hasrat hedonisme akibat gaya hidup “BPJS” dan FOMO.
Kalau dipikir-pikir, amplop hijau dari wajib pajak yang tadi diceritakan bisa saja berisi segepok uang yang bisa saya pakai untuk hura-hura, traveling atau sekadar memenuhi keinginan pribadi yang jelas tak akan pernah puas tercukupi. Makanya, tidak heran kalau fenomena “BPJS” dan FOMO sering menjadi gerbang pembuka dari praktik KKN.
Ada pepatah Jawa yang relevan dengan fenomena di atas yaitu “Urip Prasojo lan Sak Madyo”. Pepatah tersebut mengajarkan manusia untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Leluhur kita seolah ingin menasehati generasi sekarang untuk bergaya hidup sesuai kemampuan, menjaga diri dari “BPJS” dan FOMO yang saat ini merebak di kalangan muda.
Leiden is Lijden, Hidup Bersahaja Ala “The Old Grand Man”
Gaya hidup sederhana dicontohkan pula oleh tokoh kemerdekaan H. Agus Salim. Kegigihan beliau mempertahankan prinsip hidupnya di tengah dinamika politik dan kondisi ekonomi saat itu patut diteladani. Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda dalam bukunya berjudul “Het dagboek van Schermerhorn” menyebut H. Agus Salim sebagai penutur sembilan bahasa dan seorang diplomat andal. Namun, satu kelemahan yang beliau miliki, yaitu hidup melarat.
Beliau dikisahkan hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, meski pernah menjabat sebagai Menteri Muda dan tokoh partai besar kala itu. Lelaki bernama asli Mashudul Haq ini menjalankan pepatah kuno Belanda “Leiden is Lijden”, yang berarti memimpin adalah menderita. Dalam keadaan yang jauh dari kata nyaman, pria berjuluk “The old Grand Man” ini tetap berhasil menjadi pemimpin yang berpengaruh, khususnya ketika menggalang dukungan kemerdekaan Indonesia dari negara-negara di Timur Tengah.
Penutup
Jika dikaitkan dengan core values ASN dan nilai-nilai Kementerian Keuangan, maka integritas berhubungan dengan ucapan, perbuatan dan pikiran yang selaras dengan kode etik dan prinsip moral. Sederhananya, PNS yang berintegritas akan tercermin pada perkataan, perbuatan dan cara berpikir yang baik, loyal, kompeten, bertanggung jawab dan tidak menyalahgunakan kewenangan jabatannya. Nilai integritas diwujudkan salah satunya dengan bersikap jujur, bersyukur atas kondisi keuangan saat ini, dan bersahaja dalam menjalani hidup.
Hikmah dari kisah “The Old Grand Man” di atas bukan menuntut kita untuk hidup menderita atau berlebihan sebagai pelayan publik, tetapi justru mengajak untuk hidup dengan nilai integritas walaupun badai godaan datang menghadang. Dengan besaran kompensasi saat ini, hidup layak nan bahagia tanpa korupsi sangat mungkin bagi PNS Kemenkeu.
Ingat, berintegritas itu adalah pilihan hidup, layaknya memilih jalan di persimpangan. Ingat kembali dari mana kita berasal dan ke arah mana jalan yang kita tuju. Yuk perkuat integritas, buat perencanaan keuangan yang baik, bangun support system agar siap menghadapi realitas sosial dan terhindar dari tindakan fraud saat bekerja!
---
“Saya menyatakan esai ini merupakan hasil pengalaman atau pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri, dengan kontribusi, referensi, atau ide dari sumber lain dinyatakan secara implisit maupun eksplisit pada tubuh dan/atau lampiran esai. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia didiskualifikasi dari perlombaan ini.”
Pewarta:- |
Kontributor Foto:- |
Editor: Arif Miftahur Rozaq |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 206 views