Oleh: Adi Wiyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Upaya menarik investasi asing yang bersifat langsung dari luar negeri saat ini masih menjadi agenda penting pemerintah. Undangan pemerintah kepada investor asing untuk terus menanamkan modalnya di Indonesia pun tak pernah henti diserukan. Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut salah satunya adalah dengan memberikan beberapa insentif di bidang perpajakan kepada investor asing yang bersifat langsung, antara lain fasilitas perpajakan atas penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu baik yang melakukan penanaman modal baru ataupun perluasan.

Upaya-upaya untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia pun telah membuahkan hasil, berupa masuknya investor asing Foreign Direct Investment (FDI) atau Penanaman Modal Asing (PMA) dalam jumlah yang cukup besar. Menurut laporan UNCTAD yang bertajuk World Investment Report 2023, total nilai investasi asing langsung atau FDI di Asia Tenggara mencapai US$222,56 miliar pada tahun 2022. Adapun Indonesia menarik investasi asing terbesar ke-2 di Asia Tenggara pada tahun 2022, dengan nilai FDI yang diterima mencapai US$21,96 miliar.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, di Indonesia terjadi fenomena yang bersifat paradoksal. Di satu sisi pemerintah sangat gencar melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan realisasi FDI dengan menawarkan berbagai fasilitas, namun di sisi lain ternyata meskipun banyak fasilitas yang diberikan pemerintah ternyata cukup banyak perusahaan asing, khususnya korporasi PMA yang tidak membayar pajak dalam jangka waktu yang cukup lama karena selalu melaporkan rugi dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badannya. Anehnya, meskipun perusahaan selalu melaporkan rugi berturut-turut dalam jangka waktu yang cukup lama, perusahaan tersebut tidak kunjung bangkrut (collaps).

Fenomena banyaknya perusahaan PMA yang melaporkan rugi pada laporan keuangannya dan tidak membayar pajak berturut-turut selama lima tahun atau lebih, antara lain ditengarai karena praktik penghindaran pajak yang seharusnya menuntut perhatian lebih dari pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penghindaran pajak adalah salah satu upaya untuk meminimalkan pajak perusahaan, yang mana upaya tersebut masih dalam ranah peraturan perpajakan. Penghindaran pajak dilakukan melalui celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Akan tetapi, menurut Purwanto (2016), meskipun bukan merupakan tindakan yang melanggar aturan, semakin banyak celah yang digunakan dan penghematan pajak yang dilakukan, maka perusahaan dapat dianggap agresif terhadap pajaknya.

Dari beberapa literatur perpajakan internasional, diketahui bahwa ada beberapa skema penghindaran pajak yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional, di antaranya:

Transfer Pricing

Transfer pricing adalah kesepakatan untuk menentukan jumlah harga atas penyerahan (transfer) barang atau imbalan atas penyerahan jasa oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis maupun finansial. Praktik yang biasa dilakukan diantaranya dengan merekayasa pembebanan harga suatu transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas grup perusahaan.

Hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:

a. kepemilikan atau penyertaan modal;

b. penguasaan; atau

c. hubungan keluarga sedarah atau semenda,

yang mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Thin Capitalization

Thin Capitalization adalah praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih besar dengan utang berbunga daripada dengan modal saham. Dalam skema ini induk perusahaan luar negeri akan memberikan sumber pendanaan dalam bentuk pemberian pinjaman secara terus-menerus bahkan dalam kondisi anak perusahaan dalam kondisi merugi.

Karena kondisi tersebut, PMA sebagai anak perusahaan diwajibkan membayar bunga kepada induk perusahaan di luar negeri. Bunga tersebut selanjutnya dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto PMA. Pemberian pinjaman yang dilakukan terus menerus tersebut mengakibatkan perbandingan antara hutang dengan modal PMA menjadi tidak wajar.

Treaty Shopping

Skema ini dilakukan untuk memanfaatkan treaty benefit. Praktik treaty shopping dilakukan untuk dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam tax treaty tersebut. Dalam hal ini, fasilitas-fasilitas yang tercantum dalam tax treaty (treaty benefit) hanya boleh dinikmati oleh residen (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang mengikat perjanjian. Praktik treaty shopping yang sering dilakukan oleh PMA antara lain melalui pendirian Special Purpose Vehicle (SPV) di negara-negara suaka pajak (tax haven).

Controlled Foreign Corporation (CFC)

Skema ini dilakukan denga cara mendirikan entitas di luar negeri di mana wajib pajak dalam negeri (WPDN) memiliki pengendalian. Upaya yang dilakukan biasanya adalah WPDN akan meminimalkan jumlah pajak yang dibayarnya atas investasi yang dilakukan di luar negeri dengan menahan laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang sahamnya. Dengan cara tersebut WPDN dapat menunda pengakuan penghasilan dari modal yang bersumber dari luar negeri (khususnya di negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri.

Tax Haven Country

Negara suaka pajak merupakan yurisdiksi di mana tidak adanya pajak, pajak hanya dikenakan atas transaksi-transaksi tertentu dan pengenaan tarif yang rendah atas laba yang bersumber dari luar negeri atau adanya perlakuan khusus tipe-tipe transaksi yang terutang pajak.

Pada umumnya Tax Haven Country memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak,maka tarifnya adalah tarif pajak yang rendah;
  2. Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan/atau rahasia bisnis dan tidak akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada siapapun atau negara manapun;
  3. Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito yang berasal dari negara asing, baik perorangan maupun badan;
  4. Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven merupakan pusat keuangan yang baik dan terjamin.

Praktik-praktik penghindaran pajak tersebut diatas dilakukan para oknum PMA dengan memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. Hal tersebut juga diperkuat dengan karakteristik hubungan antara anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia dengan induk perusahaan (parent company) di luar negeri yang menurut kacamata pajak dianggap sebagai entitas terpisah (separate entity).

Dengan demikian, antara anak perusahaan dan induk perusahaan tersebut dapat melakukan transaksi (inter-company transaction) yang diatur sedemikian rupa agar anak perusahaan di Indonesia mengalami kerugian, sedangkan secara keseluruhan bisnisnya selain di Indonesia masih menikmati keuntungan.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.