Menakar Posisi Kuasa Wajib Pajak Sejak Berlakunya UU HPP

Oleh: Dadang Basuni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan salah satu sendi dalam sistem perekonomian. Sebagian besar negara di dunia menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan dalam menopang pembangunan dan jalannya roda pemerintahan. Tidak dapat dimungkiri lagi jika pajak memiliki posisi strategis dalam aktifitas ekonomi.
Pajak, sesuai dengan definisi formal, adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribad iatau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi tersebut dapat dipahami bahwa pajak merupakan tanggung jawab bersama, baik kedudukannya sebagai individu maupun sebagai kelompok yang terhimpun dalam suatu badan hukum. Setiap individu dan badan hukum memiliki kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara mandiri sesuai ketentuan.
Namun demikian, tingkat pemahaman dan kemampuan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan pasti berbeda. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan menjadi faktor yang berpengaruh. Selain itu, regulasi yang dinamis berubah-ubah belum secara merata diketahui oleh semua pihak sehingga masih menyisakan gap pengetahuan yang harus diatasi.
Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan yang dianggap rumit, sebagian wajib pajak memberikan kuasa kepada "tenaga ahli" yang berkompeten di bidang perpajakan seperti seorang praktisi pajak atau konsultan pajak agar penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak dilakukan secara benar. Seorang kuasa wajib pajak bukan sekadar melakukan pekerjaan administratif saja, tetapi juga harus mampu menjembatani kepentingan antara fiskus dan wajib pajak. Oleh sebab itu, seorang kuasa wajib pajak harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang luas di bidang perpajakan sehingga tugas yang dijalani dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur bahwa pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Apabila wajib pajak memberikan kuasa kepada kuasa pajak, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu telah berpindah dari wajib pajak kepada kuasa pajak. Sepanjang pemberian kuasa tersebut belum dicabut, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu tersebut masih melekat di penerima kuasa.
Mungkin selama ini banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi kuasa wajib pajak harus berprofesi sebagai konsultan pajak. Namun anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, apalagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini tentu menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai perubahan yang diatur dalam UU HPP, tersebut agar diperoleh pemahaman mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi seorang kuasa sesuai ketentuan perpajakan terkini.
Wakil, Kuasa, Kuasa Hukum, dan Konsultan Pajak
Istilah wakil, kuasa, dan konsultan pajak sudah lazim digunakan dalam praktik perpajakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP. Adapun istilah kuasa hukum, ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP). Keempat istilah tersebut --wakil, kuasa, kuasa hukum, dan konsultan pajak-- pada intinya sama-sama merupakan pihak eksternal yang ditunjuk untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak.
Ciri utama yang membedakan antara wakil dan kuasa terletak pada hubungan “kedekatan” dengan wajib pajak. Misalnya dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf a UU KUP jo. UU HPP, diatur bahwa wajib pajak badan dapat diwakili oleh pengurus, di mana pengurus merupakan unsur dalam organisasi yang memiliki hubungan paling dekat dengan badan hukum yang diwakili. Lebih lanjut dijelaskan mengenai pengertian pengurus dalam Pasal 32 ayat (4) UU KUP jo. UU HPP, adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan atau keputusan dalam menjalankan perusahaan, seperti menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya meskipun orang tersebut tidak tertera namanya dalam susunan pengurus yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya. Selain itu, seorang wakil dibebani tanggung jawab sebagai penanggung pajak baik secara pribadi atau renteng apabila terdapat pajak yang terutang.
Apabila wajib pajak atau wakilnya merasa belum cakap dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, maka sesuai ketentuan, wajib pajak atau wakilnya tersebut dapat meminta bantuan pihak lain sebagai kuasa. Pada titik ini, seorang kuasa dianggap pihak independen yang tidak memiliki hubungan kedekatan dengan wajib pajak. Agar wajib pajak mendapat perlindungan dan jaminan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya secara benar, wajar jika seorang kuasa harus memiliki kompetensi tertentu. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jo. UU HPP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi tertentu meliputi jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.
Praktik yang sering dijumpai, seorang kuasa Wajib Pajak berprofesi sebagai konsultan pajak. Selanjutnya, seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak Kewajiban Dan Kewajiban Seorang Kuasa (PMK-229), yaitu menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak yang memberi kuasa, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak terakhir, kecuali terhadap terhadap seorang kuasa yang tahun pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Mengenai kuasa hukum pajak, pengertiannya dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-01/PP/2018 tentang Tata Cara Permohonan Izin Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak yang merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (2) huruf c UU Nomor 14 Tahun 2002, mengatur bahwa kuasa hukum adalah orang perseorangan yang dapat mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak. Dengan demikian, kuasa hukum merupakan sebutan lain dari kuasa Wajib Pajak yang bertugas untuk mewakili Wajib Pajak dalam persidangan di Pengadilan Pajak.
Ketentuan dalam UU HPP
Sejak diberlakukan UU HPP, ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang mengatur persyaratan menjadi kuasa wajib pajak mengalami sedikit perubahan. Sebelumnya, kuasa wajib pajak hanya boleh dilakukan oleh pengurus atau konsultan pajak.
Dalam aturan yang baru ini, kuasa wajib pajak dapat dilakukan oleh siapa pun sepanjang memenuhi persyaratan kompetensi di bidang perpajakan. Pengecualian syarat diberikan jika kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. Menariknya, meskipun bunyi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jo. UU HPP menyatakan secara eksplisit mengenai pengecualian syarat kompentensi, di dalam penjelasannya lebih menegaskan kembali mengenai syarat kompentensi yang harus dimiliki oleh seorang kuasa. Jadi, meskipun seorang suami, istri, anggota keluarga sedarah atau semenda dapat ditunjuk sebagai kuasa, syarat kompetensi tidak secara mutlak dapat diabaikan. Para penerima kuasa tersebut tetap harus memiliki pengetahuan perpajakan agar wajib pajak tidak dirugikan serta hak dan kewajibannya dapat terlaksana secara benar.
Memikul tanggung jawab sebagai kuasa wajib pajak bukanlah hal yang sederhana. Pengaturan tentang syarat kompetensi dimaksudkan untuk menjamin kualitas dan kepastian layanan agar wajib pajak tidak dirugikan dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Oleh sebab itu, penting juga bagi seorang suami, istri, anggota keluarga sedarah atau semenda yang ditunjuk sebagai kuasa untuk memiliki kompetensi di bidang perpajakan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 579 views