Dapat Klaim Asuransi atas Aset Perusahaan, Begini Perlakuan Perpajakannya

Oleh: Ester Ro Uli Siahaan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam rangka menjaga keberlangsungan dan kelancaran produksi barang dan/atau jasa, perusahaan dan pelaku usaha umumnya akan meminimalisir kerugian tak terduga akibat berbagai risiko atas aset tetap atau harta berwujud yang dimiliki. Risiko yang dimaksud dapat timbul karena adanya bencana alam, kecelakaan, kebakaran dan lain sebagainya. Tak pelak, perusahaan akan memberikan proteksi berupa asuransi atas harta berwujud sebagai mitigasi risiko, sehingga perusahaan dapat melakukan klaim penggantian atas kerugian yang mungkin terjadi. Lalu, bagaimana perlakuan perpajakan atas klaim asuransi atas aset tetap yang diterima?
Pengaturan terbaru yang tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud (selanjutnya disebut PMK 72/2023) menyebutkan bahwa “Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi berlaku ketentuan sebagai berikut:
- Jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dialihkan atau ditarik dibebankan sebagai kerugian; dan
- Jumlah harga jual dan/atau penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh, dibukukan atau diakui sebagai penghasilan,
pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.”
Yang dimaksud nilai sisa buku fiskal sendiri adalah nilai sisa buku harta berwujud pada akhir bulan terjadinya peristiwa yang mendasari penggantian asuransi.
Misal, PT Lancar Terus memiliki aset tetap berupa gedung kantor dengan nilai sisa buku sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Gedung tersebut terbakar pada tanggal 12 Februari 2023, sehingga PT Lancar Terus mengajukan klaim asuransi. Perusahaan Asuransi membayarkan klaim sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada tanggal 14 Februari 2023. Besaran biaya yang dapat dibebankan sebagai kerugian oleh PT Lancar Terus sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan penggantian asuransi sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dibukukan sebagai penghasilan.
Lebih lanjut, apabila harta yang dimintakan klaim asuransi telah dijual atau dialihkan sebelum diterimanya klaim asuransi, maka jumlah nilai sisa buku fiskal aset yang dibebankan sebagai kerugian diperhitungkan terlebih dahulu dengan harga jual atas pengalihan aset tersebut. Dalam hal ini, perusahaan harus meng-offset nilai sisa buku fiskal aset tetap dengan harga penjualan scrape, kemudian mengakuinya sebagai kerugian.
Misal, PT Jingga Terang memiliki mobil kantor dengan nilai sisa buku fiskal sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) yang mengalami kecelakan pada tanggal 3 Agustus 2023. Setelah mengajukan klaim asuransi, klaim dibayarkan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) pada tanggal 9 Oktober 2023. Pada tanggal 12 Oktober 2023, mobil tersebut masih bisa dijual dengan harga Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dengan demikian, pada Tahun Pajak 2023, PT Jingga Terang membukukan nilai sisa buku fiskal mobil dikurangi nilai penjualan mobil sebagai kerugian dan mengakui klaim asuransi sebesar Rp100.000.000,00 sebagai penghasilan.
Nilai kerugian yang dibukukan: Nilai sisa buku fiskal aset tetap – Nilai hasil penjualan aset tetap
Nilai Kerugian yang dibukukan: Rp300.000.000,00 – Rp50.000.000,00 = Rp250.000.000,00
Penundaan Pembebanan Kerugian
Seringkali penggantian asuransi tidak langsung diterima perusahaan sesaat setelah klaim diajukan. Perusahaan asuransi lazimnya akan melakukan pemeriksaan atau investigasi atas klaim asuransi dan perusahaan mungkin akan menerima klaim asuransi pada tahun yang berbeda dari tahun terjadinya penarikan aset tetap.
Dalam hal ini, Pasal 8 ayat (3) PMK 72/2023 mengatur bahwa apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dibebankan sebagai kerugian dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Untuk lebih mudah memahami pengaturan di atas, mari kita lihat contoh berikut ini:
Misal, gedung PT Hijau Laut dengan nilai sisa buku fiskal sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) terbakar pada tanggal 14 Februari 2023. PT Hijau Laut kemudian mengajukan klaim asuransi atas gedung tersebut dan pihak asuransi akan melakukan investasi atas klaim tersebut. Klaim asuransi disetujui pada tanggal 12 Januari 2024 dan dibayarkan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). PT Hijau Laut mengajukan permohonan persetujuan untuk penundaan pembebanan kerugian atas gedung yang terbakar tersebut pada saat Tahun Pajak penggantian asuransi diterima. Setelah mendapatkan izin dari Direktur Jenderal Pajak, PT Hijau Laut dapat membukukan nilai sisa buku fiskal gedung sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagai kerugian dan penggantian asuransi sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagai penghasilan pada tahun pajak 2024.
Lantaran adanya perbedaan waktu mulai saat wajib pajak mengajukan klaim di tahun 2023 sampai dengan klaim asuransi diterima dari pihak asuransi di tahun 2024, penundaan pengakuan atas nilai sisa buku fiskal aset tersebut harus mendapatkan persetujuan penundaan dari Direktur Jenderal Pajak.
Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan wajib pajak dalam pengajuan penundaan?
Wajib pajak dapat melakukan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan aset dengan terlebih dahulu mendapatkan izin dari Direktorat Jenderal Pajak melalui pengajuan permohonan. Ada beberapa syarat administratif yang harus dipenuhi wajib pajak dalam pengajuan penundaan pengakuan kerugian asuransi.
Pertama, wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir. Kedua, permohonan diajukan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak berstatus pusat terdaftar. Format permohonan dapat merujuk pada Lampiran G PMK 72/2023. Ketiga, wajib pajak perlu melampirkan polis asuransi, berita acara peristiwa yang mendasari klaim asuransi, dan surat keterangan penggantian asuransi atau bukti pembayaran dari perusahaan asuransi. Keempat, dalam hal Kepala KPP memintakan kelengkapan dokumen, wajib pajak perlu memenuhi permintaan tersebut paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak dikirimnya surat permintaan kelengkapan. Terakhir, permohonan pengajuan penundaan diajukan paling lama 1 (satu) bulan setelah akhir tahun pajak diterimanya penggantian asuransi.
PMK 72/2023 merupakan wujud dari simplifikasi regulasi yang menjalankan amanat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa pengaturan dalam PMK 72/2023 sangat rinci dan mengakomodir kebutuhan bisnis, sehingga memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam perlakuan pengakuan nilai sisa buku atas aset tetap yang mendapatkan penggantian asuransi.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 2198 views