Peran Sektor Pajak dalam Mendukung Target EODB Indonesia

Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di akhir bulan Oktober 2018 , World Bank mengumumkan laporan Ease of Doing Business (EODB) 2019 di mana dalam laporan ini Indonesia mengalami penurunan satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara. Meskipun jika dilihat dari perolehan indeks Indonesia mengalami kenaikan sebesar 1.42 poin namun hal ini tidak mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam sisi peringkat.
Apabila melihat hasil EODB negara lain seperti India dan China yang memiliki populasi besar dan persoalan sosial yang kompleks, perkembangan reformasi di Indonesia terasa seperti kurang maksimal. Kedua negara tersebut mampu melakukan reformasi yang memberikan pengaruh signifikan terhadap indeks EODB di tahun ini. Cina naik 32 tingkat ke posisi 46 sedangkan India naik 23 tingkat ke posisi 77, India sendiri dua tahun lalu masih berada diperingkat 130 dari 190 negara dalam EODB Ranking. Keberhasilan negara-negara tersebut tidak lain karena berhasilnya reformasi yang mereka lakukan berkaitan dengan kemudahan berusaha.
Indonesia dalam lingkup ASEAN dapat dikatakan cukup tertinggal dalam indeks EODB di tahun ini. Indonesia berada di posisi ke enam dari sepuluh negara anggota ASEAN di belakang Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam, dan Vietnam. Penilaian dan pemeringkatan EODB yang dilakukan World Bank meliputi 10 pokok masalah, yaitu Starting A Business, Dealing with Construction Permits, Getting Electricity, Registering Property, Getting Kredit, Protecting Minority Investors, Paying Taxes, Trading across Borders, Enforcing Contracts, dan Resolving Insolvency.
Menurut data World Bank tahun ini, reformasi berusaha yang dilakukan Indonesia meliputi pada 3 sektor yaitu Starting a Business, Registering Property dan Getting kredit yang berdampak pada kenaikan indeks sektor tersebut berturut turut sebesar 3.29 poin, 2.66 poin, dan 5.00 poin. Sedangkan pada sektor Paying Taxes atau Pembayaran Pajak, Indonesia mengalami penurunan nilai sebesar 0.01 poin. Meskipun penurunan di sektor pembayaran pajak tidak signifikan namun dapat dipahami bahwa diperlukan effort lebih untuk memperbaiki sektor ini.
Penilaian di sektor Paying Taxes atau Pembayaran Pajak terdiri dari empat indikator utama, yaitu prosedur pembayaran pajak, waktu untuk memenuhi kewajiban pajak, persentase beban pajak terhadap profit perusahaan dan postfilling indeks. Indonesia dalam sektor ini berada di peringkat 112 dengan poin sebesar 68.03. Apabila dibandingkan dengan emerging market ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand serta Vietnam, Indonesia hanya lebih baik dibanding Vietnam yang memiliki nilai 62.87 poin. Indonesia bahkan masih berada di bawah rata-rata negara Asia-Pasifik (APEC) dalam kemudahan pembayaran pajak dengan rata-rata sebesar 77.96 poin. Tentunya kita berharap bahwa Reformasi Pajak yang sedang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak mampu mendongkrak secara signifikan nilai Indonesia dalam kemudahan pembayaran pajak nantinya.
Data yang digunakan World Bank dalam melakukan penilaian di sektor pembayaran pajak menggunakan data kewajiban pajak dalam tahun kalender 2017 dari perusahaan menengah (medium company) yang harus dibayar atau dipungut (withhold) beserta beban administrasi dalam pembayaran pajak/kontribusi wajib dan waktu untuk menyelesaikan prosedur postfilling (aktivitas setelah pelaporan SPT) seperti restitusi, pembetulan SPT, dan sebagianya.
Apabila dilihat dari empat indikator yang ada, Indonesia memiliki nilai yang cukup baik dalam hal postfilling indeks dengan 68.82 poin dan persentase beban pajak terhadap profit dengan 30.1%. Indonesia dalam kedua indikator ini mendapatkan hasil diatas rata-rata dalam wilayah negara Asia-Pasifik (APEC) yang memiliki rata-rata sebesar 66.6 poin untuk postfilling indeks dan 36.5% untuk persentase beban pajak terhadap profit.
Indikator yang kurang memberikan kinerja cukup baik ada pada prosedur pembayaran pajak dan waktu untuk memenuhi kewajiban pajak. Indikator pertama tercatat dalam laporan EODB World Bank dengan jumlah 43 pembayaran pajak/kontribusi per tahun yang diukur dari kewajiban perpajakan perusahaan sektor manufaktur di tahun 2017 sedangkan waktu yang dibutuhkan sebesar 207.5 jam untuk melaksanakan kewajiban mulai dari penyusunan laporan hingga pembayaran pajak.
Hal lain yang perlu dicatat bahwa World Bank hanya mengalkulasikan jumlah waktu pada tiga jenis pajak/kontribusi yaitu CIT (Corporate Income Tax), VAT (Value Added Tax) dan jaminan sosial/keamanan yang dibayar perusahaan seperti BPJS, JKK dsb. Kedua indikator ini jauh dari rata-rata yang dihasilkan oleh negara-negara Asia-Pasifik (APEC) yang hanya mewajibkan 13 pembayaran pajak/kontribusi per tahun dan membutuhkan 183.5 jam bagi wajib pajak untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya.
Jumlah pembayaran pajak/kontribusi di Indonesia sebesar 43 pembayaran didominasi oleh kewajiban pembayaran PPh Badan Pasal 25/29 dengan total 13 pembayaran meliputi 12 kali pembayaran angsuran pajak PPh Pasal 25 dan satu kali pembayaran PPh Pasal 29 di saat pelaporan SPT Tahunan, selanjutnya kewajiban pembayaran untuk Masa PPN dan PPh Pasal 21 masing-masing sebanyak 12 kali dalam setahun. Jumlah pembayaran pajak di Indonesia merupakan yang terbanyak dalam wilayah ASEAN bahkan di negara-negara Asia-Pasifik. Keadaan ini tentu tidak dapat dihindari karena kewajiban pembayaran disetiap Masa Pajak untuk jenis pajak tertentu memang sesuai dengan amanat Undang-Undang Perpajakan di Indonesia.
Indikator berikutnya berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan wajib pajak untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan di Indonesia juga tidak dapat dikatakan memuaskan apabila melihat hasil pengukuran World Bank yaitu sebesar 207.5 jam, angka tersebut meliputi PPh Badan 73.5 jam, jaminan sosial/keamanan 56 jam dan PPN 78 jam. Angka yang didapat Indonesia setidaknya lebih baik dibanding negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Vietnam yang membutuhkan waktu sebesar 229 jam dan 498 jam.
Meskipun dalam hal waktu penyelesaian belum memberikan hasil yang memuaskan tetapi perlu digaris bawahi bahwa data yang dipakai oleh World Bank adalah data kewajiban pajak di tahun 2017 di mana per April 2018 telah diwajibkan bagi wajib pajak untuk melaporkan pajaknya melalui e-filling khususnya untuk Masa PPh Pasal 21 dan PPN yang berbentuk dokumen elektronik. Kebijakan ini tentu akan mempersingkat waktu penyelesaian kewajiban perpajakan wajib pajak karena prosedur pembayaran maupun pelaporan sudah tersedia dukungan melalui media online.
Kebijakan dalam penyederhanaan prosedur di sektor perpajakan haruslah tepat sasaran dengan melihat indikator penilaian World Bank apabila memang ingin memberikan hasil yang signifikan dalam laporan EODB. Dari keempat indikator utama yang digunakan World Bank dalam penilaian pembayaran pajak dapat diketahui bahwa penilaian lebih fokus pada jenis atau aktivitas pajak tertentu seperti PPh Badan, PPN, restitusi PPN, dsb. Upaya pemerintah yang memiliki target untuk mencapai peringkat 40 besar dalam daftar EODB bukannya tidak mungkin untuk tercapai jika melihat negara lain seperti India yang mampu naik 53 peringkat dalam 2 tahun terakhir.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
World Bank. 2018. Rankings & Ease of Doing Business Score 2019. doingbusiness.org/en/rankings
World Bank. 2018. Doing Business 2019 : Economy Profile of Indonesia
World Bank. 2018. Doing Business 2019 : Region Profile of Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)
nasional.kontan.co.id/news/ditjen-pajak-percepat-proses-restitusi
- 672 views