Heart of Spora (HoS), Lilin dari Desa yang Peduli Pajak

Oleh: Suyani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Salah satu hal yang membuat saya begitu menyukai pekerjaan saya adalah adanya kesempatan saya untuk bertemu dengan orang-orang hebat. Orang-orang hebat yang memberi inspirasi baik karena karya, kiprah, semangat, maupun kisah perjalanan hidupnya. Tiara Deysha Rianti adalah salah satunya. Tiara adalah gadis desa pendiri Yayasan Heart Of Spora (HoS). Yayasan yang peduli dengan pemberdayaan ibu-ibu pengrajin complong (anyaman daun pandan setengah jadi).
Tak ada hambatan berarti saat saya dan tim ingin berkunjung menemui Mbak Tiara. Berbekal alamat yang tertera pada sistem informasi dan janji via telepon sebelumnya, meluncurlah saya dan tim ke tempat kediamannya. Kami menunggu beberapa saat karena Mbak Tiara sedang mengurus pengiriman produk kerajinan dari daun pandan ke Bali.
Sosok pendiri Heart of Spora ini memang seorang gadis muda. Umurnya baru menginjak 25 tahun pada bulan Desember tahun lalu. Tapi, semangatnya sungguh luar biasa. Gadis lulusan sarjana Arsitektur Interior Universitas Indonesia ini rela meninggalkan pekerjaan mapan dan bergaji besar di Jakarta demi memenuhi panggilan jiwanya. Kepeduliannya akan nasib ibu-ibu pengrajin complong di desa kelahirannya, Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Kebumen, membuat ia dan kelima temannya mendirikan Yayasan Heart Of Spora.
Desa Grenggeng selama ini dikenal sebagai pemasok terbesar produk anyaman pandan setengah jadi (complong). Namun, potensi tersebut belum membuahkan kesejahteraan bagi para pengrajinnya. Berdasarkan pengamatannya, para pengrajin complong di Desa Grenggeng mengalami kesulitan memasarkan produknya dengan harga bersaing karena harga complong dikendalikan oleh para tengkulak. Dengan mengusung "Membuat produk yang berkualitas untukkualitas kehidupan yang lebih baik" sebagai visinya, Heart Of Spora hadir menawarkan solusi untuk ibu-ibu pengrajin di Desa Grenggeng.
Berbincang dengannya, saya bisa merasakan kehadiran semangatnya. Walaupun tutur katanya halus dan tidak menggebu-gebu tetapi sarat dengan misi-misinya dalam pemberdayaan masyarakat khususnya kaum perempuan pengrajin di desanya. Misinya antara lain (1) Menggerakkan pemuda, terutama para pemuda daerah untuk turut mengembangkan daerahnya dengan memaksimalkan kearifan lokalnya, (2) Membuat masyarakat mandiri secara finansial serta mudahnya akses pendidikan dan kesehatan, serta (3) Mengkampanyekan kepada semua orang untuk berkontribusi dengan donasi, kesukarelaan (Volunteering), berbagi, dan/atau membeli produk.
Sejak duduk di bangku sekolah, Tiara memang senang berorganisasi. Saat masih kuliah pun, beberapa kompetisi lomba desain diikutinya. Tak terhitung berapa kali dia harus kalah. Tapi Tiara tak mengenal kata menyerah. Banyak pembelajaran didapatnya dari berbagai ajang kompetisi yang ia ikuti, bukan hanya semata-mata keluar sebagai pemenang. Salah satunya adalah kesadaran bahwa tidak perlu minder untuk bersaing dengan orang yang lebih berpengalaman atau yang usianya jauh lebih tua.
Pucuk dicinta ulam tiba. Pada sebuah kesempatan, Tiara terpilih untuk mengikuti sebuah pameran di London, Inggris. Pameran tersebut adalah pameran produk kreatif berkelas internasional. Melalui seleksi oleh lima belas kurator internasional dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Indonesia, ia berhasil keluar sebagai pemenang. Produk yang ia desain terpilih sebagai satu dari tiga puluh produk yang dipamerkan di Bargehouse, OXO Tower Wharf London, salah satu landmark ibukota Inggris. Dari situlah jalan untuk mengembangkan diri mulai terbuka lebar. Tiara beberapa kali berkesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan memulai bisnis rintisan dan menjalin relasi. Saat ini ia menjalin kerja sama atau relasi dengan sesama pengusaha berbasis social preneur lainnya seperti DUANYAM. Berkat kerja kerasnya yang tak kenal lelah, pada tahun 2015 Heart of Spora terpilih dalam 16 besar peserta DBS Social Entrepreneur Bootcamp dengan mengusung Desa Kreatif Grenggeng.
Beberapa kali Yayasan Heart of Spora juga bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat dan beberapa yayasan yang peduli dengan pemberdayaan perempuan dengan mengadakan berbagai pelatihan bagi ibu-ibu pengrajin. Sebut saja pelatihan desain, pelatihan pemasaran dan pelatihan manajemen. Saat ini ibu-ibu pengrajin di Desa Grenggeng tak hanya membuat complong, tetapi juga sudah membuat variasi produk jadi kerajinan dari pandan yang mempunyai nilai jual lebih tinggi dibanding hanya dijual dalam bentuk complong. Tiara bersama Heart Of Spora-nya bahkan sedang menjajaki pasar ekspor.
Puas mendengar kisahnya, sampailah saya pada suatu kesempatan untuk bertanya kepadanya mengenai kewajiban perpajakannya. Siapakah yang membantu pembukuan dan pelaporan pajak Yayasan Heart Of Spora. Tiara memang telah mendaftarkan Yayasan Heart Of Spora ber-NPWP, tak lama setelah ia mendirikan Yayasan Heart Of Spora. Untuk diketahui, Yayasan termasuk dalam salah satu jenis badan hukum yang wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP apabila telah memenuhi syarat subyektif dan objektif. Hal tersebut diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
Cukupkah hanya sampai mendaftarkan diri ber-NPWP? Lagi-lagi saya penasaran dengan kisah Heart of Spora. Kewajiban pelaporan bulanan maupun tahunan atau sering disebut Surat Pemberitahunan (SPT) dengan tertib dilakukannya. Bahkan, pelaporannya sudah dilakukan secara online dengan memanfaatkan e-filling DJP. Sadar soal akuntansi dan pajak bukan menjadi keahliannya, rupanya Tiara mempercayakan urusan pajaknya ditangani oleh salah satu temannya yang menguasai pajak. Hal tersebut sah-sah saja mengingat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tanggal 18 Desember 2014 tentang Pemberian Kuasa dari Wajib Pajak telah dianulir oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi no 63/PUU-XV/2017. Dengan putusan Mahkamah Konstititusi tersebut, kesempatan menjadi kuasa wajib pajak memang terbuka bagi siapa saja yang memahami masalah perpajakan.
Mempercayakan urusan pajaknya kepada kuasa, bukan berarti Tiara tidak tertarik dengan pengetahuan perpajakan. Tiara sangat antusias dengan penjelasan saya tentang untuk apa saja uang dari pajak. Untuk membiayai pembangunan dan operasional fasilitas kesehatan agar harga terjangkau oleh seluruh masyarakat, operasional dan pengadaan sarana serta prasarana pendidikan, subsidi, pembangunan intrastruktur dan masih banyak lainnya.
Tiara juga merasa tercerahkan dengan penjelasan mengenai mekanisme pelunasan pajak penghasilan yaitu dengan cara membayar sendiri atau melalui pemotongan oleh pihak lain. Mengenai mekanisme pemotongan, ia menjadi tahu bahwa walaupun Yayasan yang dipimpinnya merupakan yayasan sosial, tetapi tetap berkewajiban melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan jika melakukan pembayaran jasa sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Mengenal dan berbagi kisah dengan Tiara dan Heart Of Spora-nya, membuat saya tercerahkan. Bahwa, masih banyak di luar sana pemuda yang peduli dan mempunyai semangat untuk negerinya. Sosok Tiara hadir memberikan secercah harapan untuk ibu-ibu pengrajin complong di desanya. Tak berlebihan jika Bung Hatta, Sang Proklamator dan pendiri bangsa pernah berkata, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta. Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.” Semoga semakin banyak Tiara-Tiara lain hadir dengan lilin di tangannya. Semoga makin banyak warga negara yang sadar dan peduli dengan pajak untuk Indonesia yang bercahaya.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 109 views