Oleh: Devie Koerniawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perguruan Tinggi Berbadan Hukum atau PTN-BH sepatutnya tidak dikenai pajak penghasilan. Pernyataan Menristek Dikti itu dimuat di harian Kompas tanggal 4 Januari 2019 dengan judul “Menteri Nasir: PTN-BH Tak Pantas Dipajaki”. Menristek Dikti berpendapat bahwa pengenaan pajak penghasilan terhadap PTN-BH akan memberatkan kampus. Apabila dikenakan PPh Pasal 25 kampus harus mengalokasikan sebagian dananya untuk pajak, dan ini akan membawa dampak kepada mahasiswa.

Beliau menambahkan rendahnya anggaran pendidikan akan menambah sulitnya pengelolaan dana oleh PTN-BH. Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum ditugaskan pemerintah untuk mengelola dana secara mandiri dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga pengenaan PPh Pasal 25 terhadap PTN-BH hanya akan membuat dana yang diterima dari masyarakat akan menjadi masalah, pola pengeluaran kurang sehat, kualitas laboratorium yang rendah dan semakin menyulitkan perguruan tinggi.

Menurut Menteri Nasir, pembebasan PPh Pasal 25 menjadi hal yang penting untuk diperjuangkan demi berjalannya program perguruan tinggi yang lebih baik karena tidak terhambat urusan pajak. Untuk itu dirinya telah menyampaikan wacana pembebasan PPh Pasal 25 tersebut kepada Presiden. Beliau juga menyatakan telah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan secepatnya akan bersurat kepada Kementerian Keuangan untuk meminta pembebasan.

Sebegitu mengganggukah pengenaan pajak, khususnya PPh Pasal 25, terhadap dunia pendidikan tinggi? Mari kita bedah bersama.

Pertama, tentang anggaran pendidikan. Situs Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencantumkan alokasi anggaran pendidikan untuk Tahun 2019 sebesar Rp492,5 triliun atau 20% dari total anggaran belanja negara. Jumlah ini meningkat Rp4,6 triliun dari alokasi Tahun 2018, dan menjadi alokasi tertinggi jika dibandingkan pos-pos yang lain.

Alokasi anggaran infrastuktur yang menjadi primadona pemerintah “hanya” mendapat jatah sebesar Rp415 triliun atau setara dengan 17% dari total rencana belanja pemerintah. Sedangkan alokasi untuk sektor kesehatan hanya mendapat Rp123,1 triliun atau 5% saja. Dari fakta ini bisa kita lihat bahwa anggaran pendidikan sudah menjadi prioritas pemerintah, dan menilik dari nilainya anggaran pendidikan tak lagi bisa di bilang rendah.

Rencana penerimaan pemerintah dalam APBN Tahun 2019 sebesar Rp2.165,1 triliun. Dari angka tersebut, Rp1.577,6 triliunnya berasal dari penerimaan pajak. Persentase angka penerimaan pajak ini telah mendekati 75% atau tiga perempat dari keseluruhan sumber penerimaan dalam APBN. Dengan perhitungan sederhana dapat dianalogikan dari total Rp492,5 triliun anggaran pendidikan, Rp370 triliunnya berasal dari pajak. Salah satu sumber utama penerimaan pajak berasal dari PPh Pasal 25. Tentu akan menjadi sebuah ironi jika sumber penerimaan terbesar untuk dana pendidikan justru ingin dihilangkan dari lingkungan kampus.

Kedua, tentang wacana permintaan penghapusan pengenaan PPh Pasal 25 terhadap PTN-BH yang mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 34/PJ/2017. Dari redaksinya sudah bisa dibaca bahwa surat edaran Dirjen Pajak ini hanya bersifat menegaskan atas peraturan yang telah berjalan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 jo Peraturan Dirjen Pajak Nomor 44/PJ/2009. Kedua aturan yang telah berusia sepuluh tahun ini mengatur tentang sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.

Pasal 1 ayat (1) PMK-80/PMK.03/2009 memuat klausul pengecualian sebagai objek Pajak Penghasilan, atas sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan pendidikan. Jangka waktu yang ditetapkan untuk investasi ditetapkan paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Di ayat berikutnya disebutkan sarana dan prasarana apa saja yang dapat menjadikan sisa lebih bisa dikecualikan dari objek pajak. Pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian, pengembangan, laboratorium dan pengadaan perpustakaan menjadi beberapa saluran investasi bagi lembaga pendidikan nirlaba agar terhindar dari PPh Pasal 25. Pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan dapat menggugurkan kewajiban PPh Pasal 25 atas dana kampus dengan syarat dibangun dilingkungan lembaga pendidikan.

Lantas dana apakah yang dimaksud oleh Menteri Nasir? Bila mengacu pada Pasal 2 ayat (1) peraturan Menteri Keuangan di atas, maka kemungkinan dana PTN-BH tersebut merupakan dana yang setelah empat tahun tidak ditanamkan kembali untuk peningkatan mutu kampus. Sehingga sisa lebih tersebut harus diakui sebagai penghasilan dan wajib dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Pengenaan ini adalah sebuah kewajaran, dengan pertimbangan bahwa lembaga nirlaba memang tidak ditugaskan untuk mencari laba. Jika lembaga tersebut mengambil untung maka atas keuntungan tersebut dianggap sebagai penghasilan. Undang-Undang PPh telah mengatur bahwa penghasilan dalam bentuk apapun akan terutang pajak penghasilan kecuali diatur lebih lanjut.

Dengan dasar aturan di atas, agaknya kurang tepat jika Menteri Nasir menyebut pengenaan pajak mengakibatkan pola pengeluaran perguruan tinggi menjadi kurang sehat, kemampuan membangun endowmentfunds berkurang, dan kualitas infrastruktur seperti laboratorium rendah. Keberadaan PPh Pasal 25 justru memacu kampus untuk mengoptimalkan penggunaan dananya sampai tak bersisa untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan melalui investasi dalam bentuk sarana dan prasana. Karena pengenaan PPh Pasal 25 hanya akan terjadi jika setelah empat tahun terdapat sisa lebih yang tidak bisa dimanfaatkan oleh kampus.

Ketiga, mengenai pernyataan Menristek Dikti tentang pembebasan PPh Pasal 25 demi berjalannya program perguruan tinggi dengan lebih baik karena tidak terhambat urusan pajak. Sudah menjadi hal yang lumrah di negara kita, urusan pajak dianggap sebagai urusan yang menghambat. Urusan pajak seringkali hanya dianggap urusan sampingan dan dikerjakan oleh pegawai yang merangkap bendahara, pegawai keuangan atau staf bagian administrasi. Bila hambatan yang dimaksud Menristek Dikti adalah kewajiban untuk melakukan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pengadaan sarana dan prasarana sesuai Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 44 Tahun 2009, maka hal ini bukanlah alasan yang tepat untuk meminta penghapusan PPh Pasal 25.

Pembebasan PPh Pasal 25 atas dana pendidikan yang dikelola PTN-BH akan menjadi preseden buruk bagi lembaga-lembaga nirlaba lainnya (termasuk Perguruan Tinggi Swasta) untuk menghindar pajak dengan dalih lembaga nirlaba tak patut dikenakan pajak. Bagaimanapun juga kampus telah menjadi salah satu mitra Ditjen Pajak dalam menggulirkan kesadaran pajak sejak dini. Membangun kesadaran generasi muda akan pentingnya pajak sudah menjadi komitmen Ditjen Pajak untuk  menyiapkan Indonesia yang lebih mandiri di masa yang akan datang. Jika dibiarkan, opini tentang bagaimana PPh Pasal 25 memberatkan kampus dan mahasiswa serta menghambat dunia pendidikan akan kontraproduktif dengan inklusi kesadaran pajak yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah.

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Pajak Nomor 34/PJ/2017 tersebut? Solusinya sudah tertera dengan jelas di semua ketentuan di atas. Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, Perguruan Tinggi Swasta dan lembaga pendidikan nirlaba lainnya harus bisa memanfaatkan anggaran pendidikan dan dana mandiri yang dimilikinya dalam bentuk penanaman kembali menjadi sarana dan prasarana untuk meningkatkan mutu pendidikan sampai tidak bersisa. Jika tak ada sisa, maka secara otomatis tidak akan ada dana pendidikan yang menjadi objek PPh Pasal 25.

Jika dunia pendidikan merasa kerepotan dengan urusan administrasi, rekrutlah tenaga khusus pajak, berikan pendidikan perpajakan yang mumpuni dan berkolaborasilah dengan Ditjen Pajak, maka urusan pajak bukan lagi menjadi sebuah hambatan yang berarti. Apabila dirasa masih ada bentuk investasi peningkatan mutu pendidikan yang tidak terakomodasi oleh aturan yang berlaku, komunikasikan jenis investasi tersebut bersama Ditjen Pajak agar dilakukan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan terkait.

Benjamin Franklin pernah berkelakar, "Di dalam hidup tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak." Maka seperti kematian, pajak adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Bukan untuk dihindari, atau dihapuskan.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.