Merdeka, adalah Kita

Oleh: Dewi Susanti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Mbak, aku meh mbayar pajek," ujar seorang bapak berusia sekitar 50 tahunan. Udara yang cukup panas siang hari itu, semakin menyatakan buliran peluh yang menyusup keluar dari kulit wajahnya.
"Oya, silakan duduk dulu pak," saya menawarkan sembari tersenyum melihat semangatnya yang sangat.
Tak berapa lama berselang, beberapa orang semakin banyak yang datang hingga membentuk antrian. Beberapa di antara mereka terlihat berbincang satu sama lain, saling tertawa. Sebagian yang lain terlihat merubung membicarakan sesuatu. Mungkin mereka tetangga desa.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus memang memiliki program Mobile Tax Unit (MTU) sebagai sarana kemudahan bagi para wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Semacam "pajak masuk desa", yang menyediakan pelayanan mulai dari konsultasi, pelaporan SPT hingga pembuatan kode billing untuk pembayaran. Dan kali ini, kami mendapat kesempatan untuk memberikan layanan itu di Balai Desa Getassrabi, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Sebuah desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan buruh pabrik.
Mengapa harus jemput bola?
Sebab kami menginsyafi bahwa ternyata, tidak semua wajib pajak di pelosok desa bisa dengan sukarela dan berpayah untuk datang ke Kantor Pelayanan Pajak guna melaksanakan kewajibannya. Banyak faktor penyebab. Bisa jadi karena kendala transportasi, kesehatan fisik yang tidak memungkinkan, pekerjaan yang tidak bisa ditinggal terlalu lama, atau kerumitan lain yang membayang. Padahal mungkin, mereka sudah memiliki niat untuk itu.
"Nah, ngene lho ... petugase sing teko ning ndeso. Dadi cedhak, ora repot," kata seorang yang lain.
"Nggih Pak, nek teko ning kantor males yo?" jawab teman kami. Membuat para wajib pajak terbahak serentak. Mengamini.
Sungguh, saya melihat banyak wajah ketulusan di sini. Saat mereka berebut maju untuk melakukan pembayaran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang ditertawakan dan di-bully habis-habisan sebab jumlah pajak yang disetorkan "terdengar kecil" bagi telinga mereka.
"Pajekmu koq sithik thok? Koq malah akeh aku? Padahal wingi kowe bar tuku mobil anyar tho?" seloroh salah satu wajib pajak kepada teman di sebelahnya. Yang disenggol-senggol hanya bisa tertawa kecil.
"He eh, anakmu yo papat tho. Nek mangane akeh, pajeke kudune yo akeh," yang lain tidak mau ketinggalan menimpali. Sedang yang bersangkutan semakin terlihat tersipu. Sampai di sini, saya tak bisa menahan gelak.
Mereka, yang tinggal di pelosok desa itu. Yang datang dengan peluh dan kaos lusuh itu, yang menurut pengakuannya tidak "tahu" komputer dan teknologi itu, mungkin tidak sampai memikirkan bahwa uang pajak yang mereka bayarkan telah menopang lebih dari 70% kebutuhan APBN kita.
Bahwa, yang telah mereka lakukan adalah sebuah bentuk pertanggung jawaban terhadap arti kemerdekaan.
Bahwa, dengan kemandirian ekonomi maka kita bisa menentukan langkah sendiri. Bisa membangun Indonesia yang adil dan makmur dengan bersama-sama.
Bahwa, dengan uang pajak yang mereka bayar, diharapkan dapat membuat pembangunan terus berjalan. Mulai dari kesejahteraan yang membaik, kemiskinan yang menurun hingga konektivitas atau akses yang lebih baik.
Selayak kata mereka, "aku ki jane nek dikon mbayar yo gelem. Mung ora ngerti carane."
"Hiyo, aku yo pengen mbayar pajek. Sanajan sithik tapi iso mbantu negoro," timpal yang lain.
Mereka, mungkin benar adanya, hanya orang-orang sederhana. Namun ketulusan yang terpancar, tampak sekali menyata bahwa merekalah pahlawan yang sebenarnya.
Dan sungguh, ke-apatis-an saya akan kepatuhan membayar para wajib pajak seakan terpatahkan di sini. Di pelosok desa ini. Hingga kembali, memunculkan lagi semangat kemerdekaan yang sempat lekang.
Bahwa, ada cita-cita besar dan mulia yang bisa kita bawa :
"Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 145 kali dilihat