agunan

Oleh: Kelik Widiatmoko (PPNS DJP)

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (PPNS DJP) diberi kewenangan untuk melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka (Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP). Penambahan kewenangan tersebut sejalan dengan ketentuan tentang pengenaan pidana denda terhadap tersangka yang tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44C UU KUP. Berikut disampaikan penjelasan dasar hukum kewenangan dan tujuan ditambahkannya kewenangan tersebut.

  1. Kewenangan pemblokiran dan/atau penyitaan

Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP :

Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

  1. melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat.

Penjelasan Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP :

Penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:

  1. harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat;
  2. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak berwenang seperti bank, kantor pertanahan, kantor samsat dan lain-lain.

  1. Pidana denda tidak dapat disubsider

Pasal 44C UU KUP :

  1. Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.
  2. Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari unsur-unsur pasal dan penjelasan sebagaimana diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan kewenangan kepada PPNS DJP dimaksudkan agar denda yang diatur dalam Pasal 38 UU KUP sebesar paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau Pasal 39 UU KUP sebesar paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau Pasal 39A UU KUP sebesar paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan (subsidair).

Pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan dalam rangka jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara hanya dibatasi atas harta kekayaan milik tersangka dan pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 UU KUP. Penyitaan harta kekayaan milik tersangka dan pihak lain tersebut pada dasarnya bukan digunakan sebagai pembuktian dugaan tindak pidana tetapi dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran denda pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39A UU KUP.

Selain pemblokiran dan/atau penyitaan dalam rangka jaminan pembayaran denda pidana dalam tindak pidana di bidang perpajakan, PPNS DJP juga diberikan kewenangan melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana (proceed of crime), apabila PPNS DJP selain melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Yang membedakan antara penyitaan harta kekayaan dalam penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dengan penyitaan harta kekayaan dalam rangka penyidikan TPPU adalah :

  1. penyitaan harta kekayaan dalam penyidikan TPPU dimaksudkan untuk pembuktian dugaan tindak pidana, sedangkan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan bertujuan untuk pemulihan kerugian pada pendapatan negara;
  2. hanya harta kekayaan milik tersangka dan pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka saja yang dapat dilakukan penyitaan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sedangkan dalam pembuktian TPPU, harta kekayaan yang dapat disita tidak terbatas pada harta kekayaan milik tersangka saja, melainkan juga harta kekayaan yang diatasnamakan orang/pihak lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;
  3. harta kekayaan milik tersangka dan pihak lain yang dapat disita dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan tidak harus sesuai dengan tempus, sedangkan harta kekayaan yang dapat disita dalam penyidikan TPPU terbatas sesuai tempusnya, kecuali penyidik dapat membuktikan adanya unsur pencampuran (mingle/mingling) atas harta kekayaan tersebut.

Tidak terdapat ketentuan khusus dalam UU TPPU yang mengatur terkait tindakan penyitaan harta kekayaan dalam penanganan perkara TPPU, dengan demikian atas pelaksanaan penyitaan sesuai dengan yang diatur dalam hukum acara pidana. Berikut disampaikan ketentuan dalam UU TPPU terkait pelaksanaan penyidikan.

Pasal 74 UU TPPU :

Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.

Penjelasan Pasal 74 UU TPPU :

Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Sama halnya dengan pelaksanaan penyitaan harta kekayaan dalam rangka penyidikan TPPU, penyitaan harta kekayaan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai tindak pidana asal juga sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait penyitaan tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 yang isinya sebagai berikut :

  1. Pasal 38 ayat (1) KUHAP :

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.

  1. Pasal 39 KUHAP :
  1. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
    1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
    2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
    3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
    4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
    5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
  2. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dengan dipahaminya persamaan dan perbedaan mengenai penyitaan harta kekayaan dalam rangka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai tindak pidana asal dengan penyitaan harta kekayaan dalam rangka penyidikan TPPU, maka para PPNS DJP dapat melakukan tindakan penyitaan sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan hukum yang berlaku.

Isu yang muncul dan banyak dipertanyakan oleh PPNS DJP terkait dengan penyitaan harta kekayaan baik terkait penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan maupun terkait penyidikan TPPU adalah sebagai berikut:

Apakah atas harta kekayaan yang dijadikan jaminan atau agunan kredit atau pinjaman bank dapat dilakukan penyitaan dalam rangka penyidikan?

Untuk menjawab isu terkait penyitaan harta kekayaan yang dijadikan jaminan atau agunan tersebut, maka kita harus memahami status harta kekayaan yang dijaminkan sebagai pelunasan hutang dan ketentuan yang mengatur tentang penyitaannya.

 

Sudah merupakan suatu kelaziman bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan dana dalam rangka usaha maupun untuk keperluan pribadinya mengajukan pinjaman kepada pihak bank. Biasanya pihak bank selaku kreditur akan memberikan syarat tambahan berupa harta kekayaan milik debitur yang akan dijadikan jeminan pengembalian utang ketika debitur mengalami gagal bayar.

Pasal-pasal dalam beberapa ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang hak atas barang dan kaitannya dengan perjanjian utang piutang, sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria).
  1. Pasal 25 UU Agraria :

Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

  1. Pasal 33 UU Agraria :

Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

  1. Pasal 39 UU Agraria :

Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) yang mengatur mengenai agunan tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut:
  1. Pasal 1 angka 23 UU Perbankan :

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

  1. Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan :

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Penjelasan Pasal 8 ayat (1):

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur.

Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang 39 kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.

Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.

  1. Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan :

Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

Penjelasan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan :

Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya.

Bank dimungkinkan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya.

Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.

Dari uraian pasal-pasal beserta penjelasannya dalam UU Agraria dan UU Perbankan terkait hak atas tanah dan/atau bangunan, dapat dilihat bahwa penguasaan tanah dan/atau bangunan oleh pihak bank atau kreditur adalah sebatas sebagai agunan/jaminan dalam rangka perjanjian utang piutang antara nasabah/debitur dengan bank/kreditur. Jika dicermati lagi, dalam penjelasan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan diterangkan bahwa bank dapat memiliki agunan berupa hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut melalui proses pelelangan, sehingga hak atas tanah tersebut masih berada pada pemberi agunan/jaminan, dalam hal ini adalah debitur/nasabah.

Dengan dipahaminya dasar hukum terkait hak atas tanah dan/atau bangunan dihubungkan dengan perjanjian utang piutang, diharapkan tidak ada lagi keraguan bagi PPNS DJP untuk dapat melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan terhadap harta kekayaan milik tersangka dalam rangka pemulihan kerugian pada pendapatan negara dalam perkara tindak pidana di bidang perpajakan, atau pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan dalam rangka pembuktian tindak pidana pencucian uang.

Pada praktiknya, tidak semua Kantor Pertanahan menindaklanjuti usulan pencatatan pemblokiran dan/atau pencatatan sita atas tanah dan/atau bangunan yang diajukan oleh PPNS DJP dengan alasan bahwa atas tanah dan/atau bangunan tersebut telah dibebani dengan Hak Tanggungan. Untuk memahami mengenai pencatatan sita atas tanah dan/atau bangunan yang dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan), berikut disampaikan dasar hukum terkait hak tanggungan dan pencatatan sita sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  1. Definisi Hak Tanggungan :
  1. Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan :

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

  1. Pasal 1 angka 5 UU Hak Tanggungan :

Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.

  1. Obyek Hak Tanggungan :
  1. Pasal 4 UU Hak Tanggungan :

Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah :

  1. Hak Milik;
  2. Hak Guna Usaha;
  3. Hak Guna Bangunan.
  1. Pasal 8 UU Hak Tanggungan :

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Inti dari Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembebanan hak tanggungan terhadap obyek berupa hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan dalam rangka perjanjian utang piutang antara kreditur dengan debitur sebagai jaminan pelunasan utang.

Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan sita dalam hal atas objek sita berupa tanah dan/atau bangunan sudah dibebani hak tanggungan dalam rangka pelunasan utang yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita.

  1. Definisi
  1. Pasal 1 angka 1 :

Pencatatan blokir adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan keadaan status quo (pembekuan) pada hak atas tanah yang bersifat sementara terhadap perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut.

  1. Pasal 1 angka 5 :

Sita Pidana adalah penyitaan terhadap Buku Tanah, Surat Ukur atau data lainnya yang diajukan oleh penyidik yang dipergunakan sebagai alat bukti dalam peradilan dengan Berita Acara Penyitaan dan tanda terima barang yang disita.

  1. Blokir
  1. Pasal 3 ayat (1) :

Pencatatan blokir dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan.

  1. Pasal 4 ayat (1) :

Permohonan pencatatan blokir dapat diajukan oleh:

  1. perorangan;
  2. badan hukum; atau
  3. penegak hukum.
  1. Pasal 7 ayat (1) :

Penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dapat mengajukan pencatatan blokir untuk penyidikan dan penuntutan kasus pidana.

  1. Pasal 7 ayat (2) :

Persyaratan pengajuan blokir oleh penegak hukum, meliputi:

  1. formulir permohonan;
  2. Surat Perintah Penyidikan;
  3. Surat Permintaan Pemblokiran dari instansi penegak hukum disertai alasan diajukannya pemblokiran dengan memuat keterangan yang jelas mengenai:
    1. nama pemegang hak;
    2. jenis dan nomor hak; dan
    3. luas dan letak tanah, atau
  4. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

  1. Sita
  1. Pasal 25 ayat (1) :

Pencatatan Sita dilakukan terhadap hak atas tanah dalam rangka kepentingan penyelesaian perkara di pengadilan atau penyidikan.

  1. Pasal 25 ayat (2) :

Pencatatan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.

  1. Pasal 25 ayat (3) :

Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita tidak dapat dialihkan dan/atau dibebani hak tanggungan.

  1. Pasal 26 ayat (1) :

Pencatatan Sita meliputi:

  1. pencatatan Sita Perkara;
  2. pencatatan Sita Pidana; dan
  3. pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa.
  1. Pasal 26 ayat (3) :

Pencatatan Sita Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam rangka penyidikan.

  1. Pasal 28 ayat (1) :

Permohonan pencatatan Sita Pidana diajukan oleh penyidik/penegak hukum.

  1. Pasal 28 ayat (2) :

Permohonan pencatatan sita pidana oleh penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan melampirkan:

  1. Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sesuai dengan tempat terjadinya tindak pidana;
  2. surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik;
  3. penetapan pengadilan; dan/atau
  4. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Pasal 34 ayat (1) :

Sita tidak dapat dilakukan terhadap hak atas tanah yang:

  1. merupakan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. dibebani hak tanggungan; atau
  3. telah terpasang sita atas suatu perkara atau obyek perkara yang sedang dipasang hak tanggungan.
  1. Pasal 34 ayat (2) :

Dalam hal hak atas tanah dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka dapat dilakukan pencatatan Sita Persamaan.

  1. Pasal 34 ayat (3) :

Dalam hal hak atas tanah telah terpasang sita atas suatu perkara atau obyek perkara yang sedang dipasang hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, maka dapat diletakkan Sita Persamaan dari Pengadilan Negeri untuk dicatatkan sita atas perkara lain.

  1. Pasal 34 ayat (4) :

Sita Persamaan dari Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan baik dalam berperkara maupun pemegang hak tanggungan.

Dalam ketentuan tentang pemblokiran di Peraturan Menteri Agraria tersebut tidak terdapat pembatasan untuk diusulkannya pencatatan pemblokiran di Kantor Pertanahan dalam rangka penyidikan atau penuntutan sepanjang usul pencatatan tersebut dilakukan oleh penyidik dan disertai dengan alasan yang jelas. Artinya, penyidik dapat mengusulkan kepada Kantor Pertanahan untuk pencatatan blokir terhadap harta kekayaan berupa tanah dan/atau bangunan yang terkait dengan pennganan tindak pidana, baik dalam rangka pemulihan kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP atau dalam rangka pembuktian tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana di bidang perpajakan.  

Berbeda dengan aturan mengenai pemblokiran, atas pencatatan sita terdapat pembatasan dalam Peraturan Menteri Agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang berbunyi: “sita tidak dapat dilakukan terhadap hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan”, dan Pasal 34 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “sita tidak dapat dilakukan terhadap hak atas tanah yang telah terpasang sita atas suatu perkara atau obyek perkara yang sedang dipasang hak tanggungan’.

Di samping itu, ketentuan pada Pasal 39 ayat (2) KUHAP sudah menegaskan bahwa atas benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Peraturan Menteri Agraria tersebut juga mengatur mengenai pencatatan sita terhadap hak atas tanah yang telah dibebani hak tangguhan yaitu di Pasal 34 ayat (2) yang dimungkinkan dilakukan penyitaan dan pencatatannya dengan menggunakan sita persamaan dari Pengadilan Negeri.

Berdasarkan uraian pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita tersebut, kiranya dapat memberikan keyakinan kepada PPNS DJP untuk dapat melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan terhadap harta kekayaan berupa tanah dan/atau bangunan, meskipun atas harta kekayaan tersebut sudah dijadikan agunan/jaminan pelunasan utang kepada pihak bank atau yang sudah dibebani hak tanggungan.

Untuk pelaksanaan sita terhadap hak atas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh PPNS DJP dalam pengajuan ijin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri setempat. Pada saat pembuatan Surat Perintah Penyitaan dan Surat Ijin Khusus dari Pengadilan Negeri, selain dasar hukum pelaksanaannya berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, perlu ditambahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita.

Contoh pencantuman dasar hukum dalam Surat Perintah Penyitaan dan Surat Izin Khusus Penyitaan dari Pengadilan Negeri dalam hal atas tanah dan/atau bangunan yang akan disita telah dibebani dengan hak tanggungan, sebagai berikut:

  1. Pasal 7 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
  4. Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  5. Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
  6. Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, dan Pasal 34 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita;
  7. Laporan Kejadian;
  8. Surat Perintah Penyidikan;
  9. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.

Dengan dipahaminya ketentuan tentang penyitaan dan kedudukan harta kekayaan berupa hak atas tanah dan/atau bangunan yang dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, diharapkan dapat mengurangi keraguan dari para PPNS DJP untuk melaksanakan kewenangannya sehingga visi dari Direktorat Jenderal Pajak sebagai penghimpun penerimaan negara dapat terwujud.

Tags