Peraturan Dirjen Pajak
PER-11/PJ/2025
Tanggal Peraturan
 
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
 
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-11/PJ/2025
 
TENTANG
KETENTUAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI, PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, DAN BEA METERAI
DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
 
Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, meningkatkan pelayanan dan melaksanakan pembaruan  sistem inti administrasi perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan teknis mengenai pelaporan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea meterai;
    b. bahwa ketentuan teknis mengenai pelaporan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea meterai yang saat ini berlaku, belum cukup menampung kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti;
    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta melaksanakan ketentuan Pasal 465 huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf t, dan huruf x Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, dan ketentuan Pasal 25 ayat (6) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi  UndangUndang, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6066);
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6904);
    7. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 304, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6172) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Partisipasi Interes pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6717); 
    8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6830); 
    9. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
    10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6904);
    11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 601) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1112);
    12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
    13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1112);
    14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78 Tahun 2024 tentang Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 768);
    15 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 771);
    16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);
    17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1065);
    18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 78);

MEMUTUSKAN:
 
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KETENTUAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, DAN BEA METERAI DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     
    Pasal 1
    Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
    1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang
    2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang.
    3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
    4. Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    5. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    7. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai.
    8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
    9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    10. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
    11. Wajib Pajak Nonaktif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
    12. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender
    13. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
    14. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    15. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    16. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
    17. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
    18. Surat Pemberitahuan Pembetulan adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebelumnya.
    19. Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
    20. Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha adalah nomor identitas yang diberikan untuk setiap tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
    21. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
    22. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya
    23. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
    24. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    25. Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
    26. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UndangUndang Pajak Penghasilan.
    27. Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, pensiun, dan pembayaran berkala lainnya, serta pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    28. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang selanjutnya disebut dengan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak Badan, termasuk bentuk usaha tetap dan Instansi Pemerintah, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    29. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang selanjutnya disebut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk melaporkan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi, serta penyetoran atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dalam 1 (satu) masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    30. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 adalah dokumen yang dibuat Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagai bukti atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang telah dipotong.
    31. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    32. Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut.
    33. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan yang diwajibkan membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, yang selanjutnya disebut Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi, adalah Wajib Pajak, termasuk instansi pemerintah, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selain atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    34. Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar adalah Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi berbentuk Dokumen Elektronik dalam format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
    35. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
    36. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
    37. Subunit Organisasi Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Subunit Organisasi adalah unit pelaksana di bawah Instansi Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Instansi Pemerintah untuk melakukan tindakan dan pertanggungjawaban penerimaan pendapatan pemerintah dan/atau pengeluaran atas beban anggaran belanja serta tidak menyelenggarakan akuntansi dan tidak menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
    38. Surat Keterangan adalah surat yang menerangkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    39. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    40. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    41. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
    42. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
    43. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    44. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah tersebut.
    45. Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    46. Pembeli Barang Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
    47. Penerima Jasa Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
    48. Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana Diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Turis Asing adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain.
    49. Pengusaha Kena Pajak Toko Retail adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak melalui toko retail kepada Turis Asing.
    50. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
    51. Nomor Seri Faktur Pajak adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
    52. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
    53. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak
    54. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
    55. Kode Otorisasi adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
    56. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
    57. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
    58. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    59. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
    60. Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi yang tersedia untuk dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
    61. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
    62. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Badan Pengelola Migas Aceh.
    63. Operator adalah Kontraktor, atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang partisipasi interes, salah satu pemegang partisipasi interes yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang partisipasi interes lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
    64. Partner adalah Kontraktor yang memiliki partisipasi interes dalam suatu Wilayah Kerja dan tidak bertindak sebagai Operator.
    65. First Tranche Petroleum adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Badan Pengelola Migas Aceh dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
    66. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
    67. Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
    68. Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    69. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    70. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
    71. Pemungut Bea Meterai adalah pihak yang wajib memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari pihak yang terutang, menyetorkan Bea Meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke Direktorat Jenderal Pajak.
    72. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
    73 Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu.
    74. Meterai Percetakan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
    75. Meterai Teraan Digital adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan pencetak (printer) Meterai Teraan Digital.
    76. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dari pihak yang terutang dan penyetoran Bea Meterai ke kas negara untuk suatu Masa Pajak.
    77. Tempat Pelayanan Terpadu adalah tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi pada Kantor Pelayanan Pajak termasuk kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan
    78. Layanan Pajak di Luar Kantor adalah tempat pelaksanaan sebagian tugas pelayanan perpajakan berupa penyuluhan, pelayanan, dan konsultasi perpajakan bagi masyarakat atau Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang bertempat di lokasi atau daerah tertentu dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak atau kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan yang dilaksanakan di luar kantor baik secara manual maupun menggunakan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
    79. Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman Surat Pemberitahuan ke Direktorat Jenderal Pajak.
    80. Penelitian Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiranlampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.
    81. Pengolahan Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi validasi data, perekaman, dan pengemasan Surat Pemberitahuan.
    82. Perekaman Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur Surat Pemberitahuan ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara lain merekam, mengunggah (upload), dan/atau memindai (scan).
    83. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui collecting agent
    84. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai.
     
    Pasal 2
    (1) Lingkup Peraturan Direktur Jenderal ini terdiri atas:
      a. bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan:
        1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
        2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
        3. laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi;
      b. bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai:
        1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak;
        2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan; dan
        3. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak;
      c. bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai;
      d. bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan:
        1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi; dan
        2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan:
          a) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah;
          b) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat;
          c) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah; dan
          d) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar Amerika Serikat;
      e. bentuk, isi, tata cara pengisian, dan penyampaian laporan penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, serta Wajib Pajak Lainnya;
      f. keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan serta format dan sarana penyampaian keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
      g. tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.
    (2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d paling sedikit berisi:
      a. jenis pajak;
      b. nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      c. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
      d. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
     
  BAB II
  BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SURAT
  PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN
     
  Bagian Kesatu
  Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26
     
  Paragraf 1
  Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Masa
  Pajak Penghasilan Pasal 21/26
   
    Pasal 3
    (1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan:
      a. penghitungan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang sebenarnya terutang;
      b. pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan
      c. penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang telah dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26,
      dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pajak, yaitu:
      a. Pajak Penghasilan Pasal 21; dan
      b. Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi.
     
    Pasal 4
    (1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi harus:
      a. membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
      b. menyerahkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 kepada pihak yang dipotong; dan
      c. melaporkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
    (2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
      a. melakukan pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan/atau
      b. membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan.
    (3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah disampaikan.
       
    Pasal 5
    (1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c.
    (2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha untuk membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
    (3) Dalam hal Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 memiliki tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukannya, pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan mencantumkan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha masing-masing tempat kegiatan usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan.
    (4) Administrasi yang terkait pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain:
      a. tempat penerima penghasilan melaksanakan kegiatan;
      b. tempat status kepegawaian terdaftar; atau
      c. tempat kontrak ditandatangani.
    (5) Dalam hal Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 merupakan Instansi Pemerintah yang memiliki Subunit Organisasi, pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Subunit Organisasi.
    (6) Penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 huruf a merupakan penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Paragraf 2
    Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak
    Penghasilan Pasal 21/26
     
    Pasal 6
    (1) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas:
      a. Formulir BPA1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala;
      b. Formulir BPA2 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya;
      c. Formulir BP21 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Bersifat Final; dan
      d. Formulir BP26 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax
    (2) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik yang dibuat melalui modul eBupot dan dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (3) Modul eBupot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat, membetulkan, dan/atau membatalkan bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
     
    Pasal 7
    (1) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dibuat dengan ketentuan:
      a. terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada pegawai tetap dan pensiunan yang menerima uang terkait pensiun secara berkala, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala;
      b. terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, pejabat negara, dan pensiunannya, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2 - Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya;
      c. terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final;
      d. terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan selain sebagaimana dimaksud ka a dan huruf b, yang merupakan Wajib Pajak luar negeri, dibuatkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax;
      e. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dibuat untuk setiap Masa Pajak terakhir;
      f. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d dapat dibuat untuk setiap transaksi atau untuk 1 (satu) Masa Pajak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      g. Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf e adalah masa Desember, Masa Pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak tertentu di mana pensiunan berhenti menerima uang terkait pensiun.
    (2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penerima penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah Masa Pajak terakhir berakhir.
    (3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d kepada penerima penghasilan untuk setiap kali pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
    (4) Satu Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala dan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BPA2 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b digunakan untuk:
      a. 1 (satu) penerima penghasilan;
      b. 1 (satu) kode objek pajak; dan
      c. 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
    (5) Satu Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP21 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final dan/atau Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir BP26 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau Withholding Slip Article 26 Income Tax sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan huruf d digunakan untuk:
      a. 1 (satu) penerima penghasilan;
      b. 1 (satu) kode objek pajak; dan
      c. 1 (satu) Masa Pajak
    (6) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1):
      a. dibuat sesuai contoh format; dan
      b. diisi sesuai petunjuk pengisian,
      sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
    (7) Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b diisi berdasarkan kode objek pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
    (8) Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
    (9) Tata cara pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
    Pasal 8
    (1) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pembayaran penghasilan.
    (2) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tetap dibuat dalam hal:
      a. tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak;
      b. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong nihil karena:
        1. adanya surat keterangan bebas; atau
        2. dikenakan tarif 0% (nol persen);
      c. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      d. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
      e. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda yang ditunjukkan dengan adanya surat keterangan domisili dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
    Pasal 9
    (1) Dalam pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, penerima penghasilan harus memberikan informasi identitas berupa:
      a. bagi Wajib Pajak dalam negeri, yaitu:
        1. Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
        2. Nomor Induk Kependudukan;
      b. bagi Wajib Pajak luar negeri, yaitu tax identification number atau identitas perpajakan lainnya,
      kepada Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
    (2) Dalam hal Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ingin menerapkan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda, Wajib Pajak luar negeri dimaksud harus memberikan surat keterangan domisili dan/atau tanda terima surat keterangan domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan kepada Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
       
    Pasal 10
    (1) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dapat dilakukan:
      a. pembetulan, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26; atau
      b. pembatalan, dalam hal Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tidak seharusnya dibuat, termasuk terdapat pembatalan atas transaksi yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi.
    (2) Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
      a. Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk Masa Pajak yang bersangkutan; atau
      b. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26:
        1. belum diajukan keberatan;
        2. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan; atau
        3. diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut
        sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan
    (3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dapat membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah dilaporkan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (4) Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
    (5) Pembetulan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
    Paragraf 3
    Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Pemberitahuan
    Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26
     
    Pasal 11
    (1)  Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 terdiri atas:
      a. induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26; dan
      b. lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang terdiri atas:
        1. Formulir L-IA - Daftar Pemotongan Bulanan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya;
        2. Formulir L-IB - Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya untuk Masa Pajak terakhir;
        3. Formulir L-II - Daftar Pemotongan Satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Pensiunannya; dan
        4. Formulir L-III - Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Selain Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala.
    (2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26, selain berisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), juga memuat data mengenai:
      a. status Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26;
      b. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang dipotong;
      c. jumlah kelebihan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi dari Masa Pajak sebelumnya;
      d. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor;
      e. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor pada Surat Pemberitahuan yang dibetulkan;
      f. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi yang kurang atau lebih disetor karena pembetulan;
      g. jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi ditanggung pemerintah; dan
      h. tanggal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 disampaikan.
    (3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen Elektronik.
    (4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. dibuat sesuai contoh format; dan
      b. diisi sesuai petunjuk pengisian
      sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
    (5) Tata cara pembuatan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
    Pasal 12
    (1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 yang telah disampaikan dapat dilakukan pembetulan.
    (2) Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Masa Pajak yang bersangkutan.
    (3) Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
       
    Pasal 13
    Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang mengakibatkan adanya:
    a. pajak yang kurang disetor, maka Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 wajib melunasi jumlah pajak yang kurang disetor tersebut; atau
    b. pajak yang lebih disetor, maka atas kelebihan penyetoran pajak yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 dapat dikompensasikan oleh Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21/26 ke Masa Pajak berikutnya tanpa harus berurutan.
       
    Bagian Kedua
    Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi
       
    Paragraf 1
    Ketentuan Umum Surat Pemberitahuan Masa
    Pajak Penghasilan Unifikasi
     
    Pasal 14
    (1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 berfungsi sebagai sarana yang digunakan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi untuk melaporkan tentang:
      a. kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan;
      b. pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
      c. penyetoran Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan/atau dipungut,
      atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam suatu Masa Pajak.
    (2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat digunakan oleh Wajib Pajak yang diwajibkan melakukan pembayaran atau penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
    (3) Jenis Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
      b. Pajak Penghasilan Pasal 15;
      c. Pajak Penghasilan Pasal 22;
      d. Pajak Penghasilan Pasal 23; dan
      e. Pajak Penghasilan Pasal 26, selain yang sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi, 
      sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
     
    Pasal 15
    (1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), harus:
      a. membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi;
      b. menyerahkan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut; dan
      c. melaporkan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
    (2) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
      a. melakukan pembetulan atau pembatalan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi; dan/atau
      b. membuat Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi tambahan.
    (3) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang telah disampaikan, untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Pajak Penghasilan di dalamnya.
     
    Pasal 16
    (1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan untuk melaksanakan kewajiban pemotongan atas:
      a. Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa; dan/atau
      b. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
    (2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas; dan/atau
      b. orang pribadi yang menjalankan usaha, yang menyelenggarakan pembukuan.
    (3) Kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan untuk jenis Pajak Penghasilan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
    Paragraf 2
    Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan
    dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi
     
    Pasal 17 
    (1) Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari: 
      a. Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar; dan
      b. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar.
    (2)
Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat melalui modul eBupot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
    Pasal 18
    (1) Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a terdiri atas: 
      a. Formulir BPPU - Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Unifikasi, yang digunakan untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan 
      b. Formulir BPNR - Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Non Residen/Withholding Slip for NonResident, yang digunakan untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) bagi Wajib Pajak luar negeri. 
    (2) Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: 
      a. nomor Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi Berformat Standar; 
      b. Masa Pajak dan Tahun Pajak; 
      c. sifat pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3); 
      d. status Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi;
      e. identitas pihak yang dipotong dan/atau dipungut berupa: 
        1. bagi Wajib Pajak dalam negeri:
          a) Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan; dan 
          b) nama; 
          atau
        2. bagi Wajib Pajak luar negeri:
          a) tax identification number atau identitas perpajakan lainnya; 
          b) nama; 
          c) alamat; 
          d) negara; dan 
          e) nomor paspor; 
      f.  jenis fasilitas; 
      g.  kode objek pajak; 
      h. dasar pengenaan pajak; 
      i.  
         
         
         
     
     
     
     
    BAB V
KETENTUAN PENUTUP
     
    Pasal 12
    Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
    1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Sistem Pembayaran Pajak secara Elektronik;
    2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2020 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2020 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak; dan
    3. Lampiran huruf D dan huruf E Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga,
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
    Pasal 13
    Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
     
   
 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2024

 

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SURYO UTOMO

 
 

 

Status Peraturan
Aktif