Peraturan Menteri Keuangan
78 TAHUN 2024
Tanggal Peraturan


MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN
 
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2024

TENTANG
 
KETENTUAN PELAKSANAAN BEA METERAI
 
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
 
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai, serta untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan bea meterai sesuai dengan prinsip simplifikasi regulasi, perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan pelaksanaan bea meterai;
    b. bahwa pengaturan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2021 tentang Penetapan Pemungut Bea Meterai dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea Meterai, belum sepenuhnya mengatur simplifikasi regulasi dalam meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai, serta untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga perlu diganti;
    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (5), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, serta ketentuan Pasal 6, Pasal 7 ayat (4), Pasal 9 ayat (4), dan Pasal 11 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai;
Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
    4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6523);
    7. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6711);
    8. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
    9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
       

MEMUTUSKAN:
 
Menetapkan : PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN BEA METERAI.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     
    Pasal 1
    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
    2. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen.
    3. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
    4. Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik.
    5. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
    6. Meterai Tempel adalah Meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada Dokumen.
    7. Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu.
    8. Sistem Meterai Elektronik adalah sistem tertentu berupa serangkaian perangkat dan prosedur elektronik dalam sistem atau aplikasi terintegrasi yang berfungsi membuat, mendistribusikan, dan membubuhkan Meterai Elektronik.
    9. Meterai Dalam Bentuk Lain adalah Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan pencetak (printer) Meterai teraan digital.
    10. Meterai Teraan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital.
    11. Meterai Komputerisasi adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan sistem komputerisasi.
    12. Meterai Percetakan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
    13. Meterai Teraan Digital adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan pencetak (printer) meterai teraan Digital.
    14. Sistem Meterai Teraan Digital adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik dalam sistem atau aplikasi terintegrasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak dan berfungsi membuat, mendistribusikan, dan membubuhkan Meterai Teraan Digital.
    15. Pihak Yang Terutang adalah pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang.
    16. Distributor adalah badan usaha yang memiliki kemampuan dan kualifikasi dalam mendukung pendistribusian dan penjualan Meterai Elektronik melalui Sistem Meterai Elektronik.
    17. Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan/ atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
    18. Kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak yang mendapatkan penugasan dalam pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai.
    19. Rancangan Kontrak adalah rancangan perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak yang mendapatkan penugasan, yang disusun sesuai dengan standar Dokumen Kontrak dan ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
    20. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    21. Pemeteraian Kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
    22. Pejabat Pos adalah pejabat PT Pos Indonesia (Persero) yang diserahi tugas melayani permintaan Pemeteraian Kemudian.
    23. Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat DJP adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki jabatan pengawas dan diserahi tugas melayani permintaan Pemeteraian Kemudian.
    24. Pemungut Bea Meterai adalah pihak yang wajib memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang, menyetorkan Bea Meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke Direktorat Jenderal Pajak.
    25. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    26. Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
    27. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai yang selanjutnya disebut SPT Masa Bea Meterai adalah surat pemberitahuan yang digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dari Pihak Yang Terutang dan penyetoran Bea Meterai ke kas negara untuk suatu Masa Pajak.
    28. Bukti Penerimaan adalah bukti yang diterbitkan atas permohonan atau pelaporan yang telah diterima secara lengkap.
    29. Deposit adalah penyetoran di muka Bea Meterai.
    30. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang keuangan negara.
    31. Nomor Transaksi Penerimaan Negara adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke kas negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.
    32. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapa:h pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
    33. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
       
    Pasal 2
    Lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
    a. objek, saat terutang, dan Pihak Yang Terutang Bea Meterai;
    b. tata cara pembayaran Bea Meterai, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai, serta penentuan keabsahan Meterai;
    c. Pemeteraian Kemudian;
    d. pemungutan Bea Meterai; dan
    e. pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
         
    BAB II
    OBJEK, SAAT TERUTANG, DAN PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI
     
    Pasal 3
    (1) Bea Meterai dikenakan atas:
      a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan
      b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
    (2) Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a, meliputi:
      a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
      b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
      c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
      d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
      e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 
      f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
      g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
        1. menyebutkan penerimaan uang; atau
        2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
        dan
      h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
    (3) Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:
      a. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
        1. surat penyimpanan barang;
        2. konosemen;
        3. surat angkutan penumpang dan barang;
        4. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
        5. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
        6. surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5;
      b. segala bentuk ijazah;
      c. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
      d. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
      g. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
      h. surat gadai;
      i. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
      j. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
         
    Pasal 4
    Bea Meterai terutang pada saat:
    a. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:
      1. surat perjanjian beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;
      2. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b; dan
      3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c;
    b. Dokumen selesai dibuat, untuk:
      1. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d;dan
      2. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e;
    c. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:
      1. surat keterangan, surat pernyataan, lainnya yang sejenis, beserta sebagaimana dimaksud dalam Pas al huruf a;
      2. Dokumen lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f; dan
      3. Dokumen yang menyatakan jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g;
    d. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
    e. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dibuat di luar negeri.
       
    Pasal 5
    1. Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen.
    2. Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.
    3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dokumen berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.
    4. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen.
    5. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen.
    6. Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai.
           
    BAB III
    TATA CARA PEMBAYARAN BEA METERAI, PELAKSANAAN PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENJUALAN METERAI, SERTA PENENTUAN KEABSAHAN METERAI
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     
    Pasal 6
    (1) Pembayaran Bea Meterai dilakukan oleh Pihak Yang Terutang pada saat terutang Bea Meterai.
    (2) Pembayaran Bea Meterai dilaksanakan dengan menggunakan:
      a. Meterai; atau
      b. Surat Setoran Pajak.
    (3) Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
      a. Meterai Tempel;
      b. Meterai Elektronik; atau
      c. Meterai Dalam Bentuk Lain.
    (4) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia melaksanakan:
      a. pencetakan Meterai Tempel; dan
      b. pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik
      melalui penugasan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (5) PT Pos Indonesia (Persero) melaksanakan distribusi dan penjualan Meterai Tempel melalui penugasan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (6) Pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dilakukan setelah Wajib Pajak memperoleh izin Menteri sesuai dengan kewenangannya.
    (7) Menteri rhelimpahkan kewenangan pemberian dan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak.
       
    Bagian Kedua
    Pengaturan Meterai Tempel
     
    Pasal 7
    (1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dilakukan dengan membubuhkan Meterai Tempel yang sah dan berlaku serta belum pernah dipakai untuk pembayaran Bea Meterai atas suatu Dokumen, pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
    (2) Pembubuhan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
      a. Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di tempat Tanda Tangan akan dibubuhkan; dan
      b. Tanda Tangan dibubuhkan sebagian di atas kertas dan sebagian di atas Meterai Tempel disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penandatanganan.
         
    Pasal 8
    (1) Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a memiliki ciri umum dan ciri khusus.
    (2) Ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
      a. gambar lambang negara Garuda Pancasila;
      b. tulisan "METERAI TEMPEL";
      c. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai;
      d. teks mikro modulasi "INDONESIA";
      e. blok ornamen khas Indonesia berupa tulisan dan/ atau gambar; dan
      f. tulisan "TGL. 20 ".
    (3)
Ciri khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (4) Dalam hal dibutuhkan tambahan unsur pengaman dalam pencetakan Meterai Tempel, tambahan ciri khusus berupa desain, bahan, dan teknik cetak ditetapkan oleh Menteri.
       
    Pasal 9
    (1) Menteri menetapkan penugasan kepada:
      a. Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pencetakan Meterai Tempel; dan
      b. PT Pos Indonesia (Persero) untuk melaksanakan distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
    (2) Kewenangan penetapan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal berupa:
      a. penyusunan konsep desain;
      b. penyediaan bahan baku;
      c. penentuan teknik cetak; dan
      d. pencetakan.
    (4) Penugasan pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia
    (5) Penugasan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan PT Pos Indonesia (Persero).
    (6) Pelaksanaan penugasan secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) pada Direktorat Jenderal Pajak dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen
    (7) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
    (8) Ketentuan mengenai prosedur dan contoh format Dokumen dalam pelaksanaan penugasan pencetakan Meterai Tempel serta distribusi dan penjualan Meterai Tempel secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 10
     
    (1) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel.
    (2) Pelaksanaan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak, termasuk memastikan ketepatan:
      a. perhitungan jumlah;
      b. waktu penyerahan; dan
      c. tempat penyerahan.
    (3) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus melaporkan pelaksanaan pencetakan Meterai Tempel kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/ atau informasi mengenai:
      a. nomor seri Meterai Tempel yang dicetak; dan
      b. tanggal penyerahan.
    (4) Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
    (5) Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4) belum tersedia, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa Kontrak berakhir.
       
    Pasal 11
    (1) PT Pos Indonesia (Persero) bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
    (2) Pelaksanaan Kontrak ayat (1) dilakukan tercantum dalam sebagaimana dimaksud pada sesuai dengan ketentuan yang Dokumen Kontrak, termasuk memastikan:
      a. ketersediaan Meterai Tempel; dan
      b. penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel.
    (3) Dalam memastikan ketersediaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PT Pos Indonesia (Persero) harus:
      a. mendistribusikan Meterai Tempel ke loket PT Pos Indonesia (Persero) di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
      b. menjual Meterai Tempel yang sah dan berlaku berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4) Penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan harga jual sebesar nilai nominal Meterai Tempel.
    (5) Penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan pada akhir hari dilakukannya penjualan Meterai Tempel dengan menggunakan Surat Setoran Pajak a tau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (6) PT Pos Indonesia (Persero) harus melaporkan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/ atau informasi mengenai:
      a. penerimaan dan distribusi Meterai Tempel;
      b. penjualan Meterai Tempel;
      c. penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel; dan
      d. inventarisasi Meterai Tempel, termasuk Meterai Tempel yang berada dalam penguasaannya:
        1. yang masih berlaku namun dalam kondisi rusak sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya; dan/ atau
        2. yang sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
    (7) Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
    (8) Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum tersedia, PT Pos Indonesia (Persero) harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
       
    Pasal 12
    (1) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia berhak mendapatkan kompensasi atas setiap keping Meterai Tempel yang dicetak.
    (2) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, PT Pos Indonesia (Persero) berhak mendapatkan kompensasi atas setiap keping Meterai Tempel yang dijual.
    (3) Besaran dan perubahan besaran kompensasi:
      a. pencetakan per keping Meterai Tempel; dan
      b. distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel,
      ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah mendapat pertimbangan aparat pengawasan intern Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.
    (4) Usulan perubahan besaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berasal dari:
      a. Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia, untuk kompensasi pencetakan per keping Meterai Tempel; atau
      b. PT Pos Indonesia (Persero), untuk kompensasi distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel.
         
    Pasal 13
    (1) Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
    (2) Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
       
    Pasal 14
    (1) Direktur Jenderal Pajak melakukan penatausahaan dan pengawasan atas penjualan Meterai Tempel.
    (2) Penatausahaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pencatatan, pelaporan, dan penghitungan fisik persediaan Meterai Tempel; dan
      b. pemusnahan Meterai Tempel yang rusak atau sudah tidak berlaku,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara/ daerah.
    (3) Penatausahaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan data dan/ atau informasi yang diperoleh dari laporan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6).
    (4) Dalam pengawasan atas penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak secara periodik melakukan verifikasi kesesuaian:
      a. nilai penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5); dan
      d. jumlah persediaan Meterai Tempel berdasarkan penghitungan fisik persediaan Meterai Tempel,
      dengan nilai penjualan Meterai Tempel yang dilaporkan dalam laporan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6).
    (5) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat nilai penjualan yang belum dilaporkan, PT Pos Indonesia (Persero) wajib menyetorkan Bea Meterai sebesar nilai penjualan yang belum dilaporkan.
         
    Pasal 15
    (1) Dalam hal Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia menyatakan tidak sanggup melaksanakan pencetakan Meterai Tempel yang disebabkan oleh keadaan kahar, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pencetakan Meterai Tempel.
    (2) Dalam hal PT Pos Indonesia (Persero) menyatakan tidak sanggup melaksanakan distribusi dan/ atau penjualan Meterai Tempel yang disebabkan oleh keadaan kahar, PT Pos Indonesia (Persero) dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan distribusi dan/ atau penjualan Meterai Tempel.
    (3) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan keadaan kahar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
      a. telah menyampaikan:
        1. surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
        2. surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
        yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      b. tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      c. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan.
    (5) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan persetujuan Menteri.
    (6) Kewenangan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (7) Pencetakan Meterai Tempel melalui pihak lain tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel.
    (8) Distribusi dan/ atau penjualan Meterai Tempel melalui pihak lain tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
    (9) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Bagian Ketiga
    Pengaturan Meterai Elektronik
     
    Pasal 16
    (1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dilakukan dengan membubuhkan Meterai Elektronik pada Dokumen yang terutang Bea Meterai yang berbentuk elektronik melalui Sistem Meterai Elektronik.
    (2) Pembubuhan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan petunjuk penggunaan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Sistem Meterai Elektronik.
       
      Pasal 17
    (1) Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b memiliki kode unik dan keterangan tertentu.
    (2) Kode unik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kode yang dapat dibaca dengan menggunakan aplikasi pemindai yang menampilkan informasi minimal berupa 22 (dua puluh dua) alfanumerik nomor seri Meterai Elektronik.
    (3) Keterangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
      a. gambar lambang negara Garuda Pancasila;
      b. tulisan "METERAI ELEKTRONIK"; dan
      c. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai.
         
    Pasal 18
    (1) Menteri menetapkan penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
    (2) Kewenangan penetapan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Pembuatan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal berupa:
      a. penyusunan konsep desain;
      b. penyediaan Sistem Meterai Elektronik; dan
      c. pembuatan.
    (4) Dalam mendistribusikan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bekerja sama dengan Distributor.
    (5) Penugasan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia.
    (6) Pelaksanaan penugasan secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada Direktorat Jenderal Pajak dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
    (7) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
    (8) Ketentuan mengenai prosedur dan contoh format Dokumen dalam pelaksanaan penugasan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
           
    Pasal 19
    (1)
Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
    (2)
Pelaksanaan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Dokumen Kontrak, termasuk memastikan ketersediaan Meterai Elektronik.
    (3)
Dalam memastikan ketersediaan Meterai Elektronik, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus menyediakan Meterai Elektronik untuk:
      a. Distributor; dan
      b. Pemungut Bea Meterai.
    (4)
Penyediaan Meterai Elektronik untuk Distributor dilakukan setelah memastikan bahwa Distributor telah melakukan Deposit ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (5)
Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanda dilakukannya penjualan Meterai Elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai.
    (6)
Penyediaan Meterai Elektronik untuk Pemungut Bea Meterai dilakukan tanpa didahului Deposit oleh Pemungut Bea Meterai.
    (7)
Pemungut Bea Meterai wajib menyetorkan Bea Meterai sebesar nilai nominal Meterai Elektronik yang telah dibubuhkan pada Dokumen ke kas negara.
    (8)
Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus melaporkan pelaksanaan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/ atau informasi mengenai pembuatan, pendistribusian, penjualan, dan penggunaan Meterai Elektronik pada setiap transaksi.
    (9)
Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
       
    Pasal 20
    (1)
Distributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a harus memenuhi kualifikasi:
      a.
Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
        1. telah menyampaikan:
          a)
surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
          b)
surat pemberitahuan masa pertambahan nilai untuk Masa Pajak terakhir,
         
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan;
        2.
tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan
        3.
tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan;
      b.
memiliki kemampuan finansial untuk menjamin ketersediaan Meterai Elektronik; dan
      c.
memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan Sistem Meterai Elektronik.
    (2)
Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjual Meterai Elektronik kepada pengecer dan masyarakat umum.
    (3)
Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjual Meterai Elektronik dengan harga jual sebesar nilai nominal Meterai Elektronik.
    (4)
Pengecer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menjual Meterai Elektronik dengan harga jual yang berbeda dengan nilai nominal Meterai Elektronik.
       
    Pasal 21
    (1) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia berhak mendapatkan kompensasi atas setiap unit Meterai Elektronik yang disediakan untuk:
      a. Distributor, untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; dan
      b. Pemungut Bea Meterai, untuk pelaksanaan pemungutan Bea Meterai dan atas pemungutan Bea Meterainya telah disetorkan ke kas negara.
    (2) Besaran dan perubahan besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak setelah mendapat pertimbangan aparat pengawasan intern Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional
    (3) Usulan perubahan besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia.
           
    Pasal 22
    Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
     
    Pasal 23
    (1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan atas penjualan Meterai Elektronik.
    (2) Dalam pengawasan atas penjualan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan audit atas Sistem Meterai Elektronik.
    (3) Audit atas Sistem Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memastikan:
      a. keamanan Sistem Meterai Elektronik;
      b. terdapat pemisahan fungsi pendistribusian Meterai Elektronik kepada:
        1. Distributor untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; dan
        2. Pemungut Bea Meterai;
      c. pendistribusian Meterai Elektronik kepada Distributor untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum dilakukan berdasarkan Deposit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4); dan
      d. kesesuaian nilai Meterai Elektronik yang didistribusikan kepada Pemungut Bea Meterai dengan nilai penyetoran yang dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai dan nilai Meterai Elektronik yang tersedia untuk kebutuhan pemungutan Bea Meterai
         
    Pasal 24
    (1) Dalam hal Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia menyatakan tidak sanggup melaksanakan pembuatan Meterai Elektronik yang disebabkan oleh keadaan kahar, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pembuatan Meterai Elektronik.
    (2) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan kahar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
      a. telah menyampaikan:
        1. surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
        2. surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
        yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      b. tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      c. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan
    (4) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri.
    (5) Kewenangan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (6) Pembuatan Meterai Elektronik melalui pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
    (7) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Bagian Keempat
    Pengaturan Meterai Dalam Bentuk Lain
     
    Pasal 25
    (1) Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c meliputi:
      a. Meterai Teraan;
      b. Meterai Komputerisasi;
      c. Meterai Percetakan; dan
      d. Meterai Teraan Digital.
    (2) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk pemungutan Bea Meterai oleh Pemungut Bea Meterai.
         
    Pasal 26
    (1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan Meterai Dalam Bentuk Lain pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
    (2) Pembubuhan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
    (3) Dalam hal Dokumen yang terutang Bea Meterai terdiri atas 2 (dua) lembar atau lebih, Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dibubuhkan pada lembar pertama Dokumen.
           
    Pasal 27
    (1) Meterai Teraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a memiliki unsur yang terdiri atas:
      a. warna teraan merah;
      b. logo Kementerian Keuangan;
      c. tulisan "Direktorat Jenderal Pajak";
      d. logo dan/atau tulisan nama Wajib Pajak pemilik izin;
      e. tulisan "METERAI TERAAN";
      f. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai;
      g. tanggal, bulan, dan tahun pembubuhan;
      h. nomor mesin; dan
      i. kode unik.
    (2) Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat ( 1) huruf b memiliki unsur yang terdiri atas:
      a. tulisan "METERAI KOMPUTERISASI";
      b. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
      c. tanggal, bulan, dan tahun pembubuhan.
    (3) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c memiliki unsur yang terdiri atas:
      a. tulisan "METERAI PERCETAKAN";
      b. logo Kementerian Keuangan;
      c. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
      d. nama Wajib Pajak pemilik izin.
    (4) Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d memiliki unsur yang terdiri atas:
      a. warna teraan merah berpendar;
      b. tulisan "METERAI TERAAN DIGITAL";
      c. logo Kementerian Keuangan;
      d. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
      e. kode khusus yang dapat dibaca dengan menggunakan aplikasi pemindai yang menampilkan informasi minimal berupa:
        1. nama Wajib Pajak pemilik izin;
        2. 22 (dua puluh dua) digit nomor seri; dan
        3. nomor seri pencetak (printer) yang terdaftar pada sistem Direktorat Jenderal Pajak.
     
    Pasal 28
    (1) Pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Untuk memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan izin kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pembuatan Meterai Teraan Digital diberikan secara otomatis kepada Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai, dengan menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
    (4) Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Wajib Pajak yang:
      a. memiliki mesm teraan Meterai digital, untuk membuat Meterai Teraan;
      b. menerbitkan Dokumen surat berharga selain eek dan bilyet giro dengan jumlah lebih dari 1.000 (seribu) Dokumen dalam 1 ( satu) bulan dan memiliki komputer, untuk membuat Meterai Komputerisasi; dan
        menyelenggarakan usaha percetakan dan telah mendapatkan izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu, untuk membuat Meterai Percetakan.
    (5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
      a. untuk pembuatan Meterai Teraan:
        1. surat keterangan layak pakai dari penyedia mesin teraan Meterai digital; dan
        2. surat pernyataan kepemilikan me sin teraan Meterai digital;
      b. untuk pembuatan Meterai Komputerisasi, surat pernyataan penggunaan Meterai Komputerisasi; dan
      c. untuk pembuatan Meterai Percetakan:
        1. bentuk Meterai Percetakan yang memenuhi unsur-unsur se bagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); dan
        2. salinan Dokumen izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu.
    (6) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (7) Penyampaian permohonan 1zm secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (8) Tata cara penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan,
    (9) Terhadap permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
       
    Pasal 29
    (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
      a. surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dalam hal permohonan izin memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dan ayat (5); atau
      b. surat penolakan pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dalam hal permohonan izin tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) atau ayat (5),
      paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (9) diterbitkan.
    (2) Tata cara penyampaian surat izin dan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
       
    Pasal 30
    (1)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat melakukan pembetulan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam hal terdapat kesalahan data akibat salah tulis atau salah input ke dalam aplikasi yang digunakan untuk melayani pendaftaran mesin teraan Meterai digital.
    (2)
Permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (3)
Penyampaian permohonan pembetulan surat izin secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (4) Terhadap permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
    (5) Berdasarkan permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan.
    (6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan, permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir.
    (7) Tata cara penyampaian permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
         
 
    Pasal 31
    (1) Dalam pembuatan Meterai Teraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Teraan wajib melakukan Deposit ke kas negara sebelum membuat Meterai Teraan.
    (2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) atau kelipatannya.
    (3) Terhadap Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak akan memperoleh:
      a. dtambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital; atau
      b. kode untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital,
      paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal Deposit ke kas negara.
    (4) Deposit ke kas negara yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan sistem Meterai Teraan gagal menghasilkan tambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital atau kode sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5) Pembubuhan Meterai Teraan mengurangi saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital sebesar nilai nominal Meterai Teraan yang dibubuhkan.
    (6) Wajib Pajak dilarang membuat Meterai Teraan dengan jumlah yang melebihi saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital.
    (7) Wajib Pajak yang membuat Meterai Teraan dengan jumlah yang melebihi saldo Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus melakukan Pemeteraian Kemudian atas Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.
       
    Pasal 32
    (1) Kode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf b harus diinput ke dalam mesin teraan Meterai digital secara manual untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital.
    (2)
Kesalahan prosedur dalam memasukkan kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan mesin teraan Meterai digital terkunci.
    (3)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci dengan melampirkan:
      a. surat izin pembuatan Meterai Teraan atas mesin teraan Meterai digital yang terkunci; dan
      b. surat pernyataan dari penyedia mesin teraan Meterai digital yang menyatakan bahwa mesin teraan Meterai digital terkunci sehingga tidak dapat digunakan.
    (4) Permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (5) Penyampaian permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (6) Tata cara penyampaian permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
    (7) Terhadap permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
    (8) Direktur Jenderal Pajak memberikan kode pembukaan (unlock) dan kode pengganti untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan.
       
    Pasal 33
    (1) Dalam pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Komputerisasi wajib melakukan Deposit ke kas negara sebelum membuat Meterai Komputerisasi.
    (2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (3) Pembubuhan Meterai Komputerisasi mengurangi saldo Deposit sebesar nilai nominal Meterai Komputerisasi yang dibubuhkan.
    (4) Wajib Pajak dilarang membuat Meterai Komputerisasi dengan jumlah yang melebihi nilai Deposit.
    (5) Wajib Pajak yang membuat Meterai Komputerisasi dengan jumlah yang melebihi Deposit yang disetorkan ke kas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan Pemeteraian Kemudian atas Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.
    (6) Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pembuatan Meterai Komputerisasi paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pembuatan Meterai Komputerisasi berakhir.
    (7) Dalam hal tidak terdapat pembuatan Meterai Komputerisasi, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap dilakukan.
       
    Pasal 34
    (1) Dalam pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, surat izin pembuatan Meterai Percetakan berlaku sampai dengan masa berlaku izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu berakhir.
    (2) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan dalam pemungutan Bea Meterai atas surat berharga berupa cek dan bilyet giro.
    (3) Pembubuhan Meterai Percetakan pada cek dan bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan berdasarkan permintaan Pemungut Bea Meterai tanpa didahului Deposit
    (4) Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan:
      a. penyetoran Bea Meterai ke kas negara sebesar nilai nominal Meterai Percetakan yang dibubuhkan pada Dokumen; dan
      b. pelaporan atas pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (5) Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pembuatan Meterai Percetakan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya penyerahan cek dan/ atau bilyet giro kepada Pemungut Bea Meterai berakhir.
    (6) Dalam hal tidak terdapat pembuatan Meterai Percetakan, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap dilakukan.
           
    Pasal 35
    (1)
Dalam pembuatan Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d, surat izin pembuatan Meterai Teraan Digital berlaku selama Wajib Pajak berstatus sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (2)
Pembubuhan Meterai Teraan Digital oleh Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemungutan Bea Meterai dilakukan melalui Sistem Meterai Teraan Digital tanpa didahului Deposit.
      Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan:
      a.
penyetoran Bea Meterai ke kas negara sebesar nilai nominal Meterai Teraan Digital yang dibubuhkan pada Dokumen; dan
      b.
pelaporan atas pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
         
    Pasal 36
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6) dan Pasal 34 ayat (5) disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (2) Penyampaian laporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
    (4) Terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
       
    Pasal 37
    (1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
       
      Pasal 38
    (1) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam hal:
      a. mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan;
      b. Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Teraan di kemudian hari; atau
      c. Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Komputerisasi di kemudian hari.
    (2) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
      a. surat pernyataan dari penyedia mesin teraan Meterai digital yang menyatakan bahwa mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan, dalam hal permohonan pencabutan izin dikarenakan mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan; atau
      b. surat pernyataan tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi, dalam hal permohonan pencabutan izin dikarenakan Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi di kemudian hari.
    (3) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (4) Penyampaian permohonan pencabutan izin secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (5) Tata cara penyampaian permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
    (6) Terhadap permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
       
    Pasal 39
    (1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Teraan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi dan penelitian fisik mesin teraan Meterai digital.
    (2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Komputerisasi atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi.
    (3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (6) diterbitkan.
    (4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain, permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejakjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir.
    (5) Keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak belum beroperasi komersial dan Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan penetapan Saat Mulai Beroperasi Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan surat yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dapat diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pemeriksaan lapangan selesai dilaksanakan dan dituangkan dalam hasil pemeriksaan lapangan.
       
    Pasal 40
    (1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dilakukan dalam hal:
      a. Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) huruf b untuk membuat Meterai Komputerisasi;
      b. Wajib Pajak tidak atau terlambat menyampaikan:
        1. laporan pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
        2. laporan pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5);
        atau
      c. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menemukan terjadinya penyalahgunaan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
    (2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan
    (3) Tata cara penyampaian surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam Pasal 39 ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
       
    Pasal 41
    Dokumen berupa:
    a. surat permohonan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2);
    b. surat pernyataan kepemilikan mesin teraan Meterai digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) huruf a angka 2;
    c. surat pernyataan penggunaan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) huruf b;
    d. surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), Pasal 29 ayat (1) huruf a, Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 30 ayat (6);
    e. surat penolakan pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b;
    f. surat permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3);
    g. laporan pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6);
    h. laporan pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5);
    i. surat permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat ( 1);
    j. surat pernyataan tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b;
    k. surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4); dan
    l. surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2),
    dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    Bagian Kelima
    Pembayaran Bea Meterai
    dengan Menggunakan Surat Setoran Pajak
     
    Pasal 42
    Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:
    a. Pemeteraian Kemudian dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen;
    b. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai Tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan; atau
    c. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Sistem Meterai Elektronik tidak dapat diakses dan/ atau tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Elektronik.
       
    Pasal 43
    (1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan dengan ketentuan:
      a. membayar Bea Meterai yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      b. membuat daftar Dokumen, dalam hal pembayaran Bea Meterai dilakukan atas 2 (dua) atau lebih Dokumen yang terutang Bea Meterai; dan
      c. melekatkan Surat Setoran Pajak yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, bukti penerimaan negara yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, atau bukti pemindahbukuan dengan Dokumen yang terutang Bea Meterai atau daftar Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
    (2) Dokumen berupa daftar Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Bagian Keenam
    Penentuan Keabsahan Meterai
     
    Pasal 44
    (1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
      a. pembayaran Bea Meterai dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel yang sah dan berlaku, serta belum pernah dipakai untuk pembayaran Bea Meterai atas suatu Dokumen;
      b. pembubuhan Meterai Tempel memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); dan
      c. Meterai Tempel yang dibubuhkan pada Dokumen memiliki ciri umum dan ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
    (2) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
      a. pembubuhan Meterai Elektronik dilakukan melalui Sistem Meterai Elektronik; dan
      b. Meterai Elektronik yang dibubuhkan pada Dokumen memiliki kode unik dan keterangan terten tu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7.
    (3) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Dalam Bentuk Lain dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
      a. pembubuhan Meterai Dalam Bentuk Lain dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain;
      b. Meterai Dalam Bentuk Lain yang dibubuhkan pada Dokumen memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
      c. untuk Meterai Teraan, saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital mencukupi untuk melakukan pembubuhan Meterai Teraan;
      d. untuk Meterai Komputerisasi, Deposit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) mencukupi untuk melakukan pembubuhan Meterai Komputerisasi;
      e. untuk Meterai Percetakan:
        1. pembubuhan Meterai Percetakan dilakukan berdasarkan permintaan Pemungut Bea Meterai; dan
        2. Pemungut Bea Meterai telah menyetorkan Bea Meterai ke kas negara dan telah melaporkan pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai;
        dan
      f. untuk Meterai Teraan Digital:
        1. pembubuhan Meterai Teraan Digital dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai melalui Sistem Meterai Teraan Digital; dan
        2. Pemungut Bea Meterai telah menyetorkan Bea Meterai ke kas negara dan telah melaporkan pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai.
       
    Pasal 45
    Pembayaran Bea Meterai tidak sah dan Dokumen dianggap tidak dibubuhi Meterai dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 tidak terpenuhi.
     
    Pasal 46
    (1)
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan keabsahan Meterai berdasarkan permintaan penentuan keabsahan Meterai dari Pihak Yang Terutang atau pihak lain.
    (2) Permintaan penentuan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) harus dilampiri dengan Meterai yang dimintakan penentuan keabsahannya.
    (3) Keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan hasil penelitian keabsahan Meterai.
    (4) Dalam hal diperlukan untuk penelitian keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan atau penjelasan dari pihak yang melaksanakan pencetakan Meterai Tempel atau pembuatan Meterai Elektronik.
       
    BAB IV
    PEMETERAIAN KEMUDIAN
     
    Pasal 47
    Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
    a. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/ atau
    b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.
       
    Pasal 48
    Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 merupakan Pihak Yang Terutang.
     
    Pasal 49
    Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 ditentukan sebesar:
    a. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
    b. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 huruf a terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
    c. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian dilakukan atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b.
       
    Pasal 50
    (1) Pembayaran Bea Meterai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan dengan menggunakan:
      a. Meterai Tempel;
      b. Meterai Elektronik; atau
      c. Surat Setoran Pajak.
    (2) Pembayaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dan huruf b dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
    Pasal 51
    (1)
Pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disahkan oleh:
      a. Pejabat Pos; atau
      b. Pejabat DJP.
    (2) Pejabat Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melakukan pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian yang dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel, dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen yang Bea Meterainya telah dibayar melalui Pemeteraian Kemudian
    (3) Pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Pejabat Pos memastikan pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
    (4) Pejabat DJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melakukan pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian yang dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel, Meterai Elektronik, dan/ atau Surat Setoran Pajak, dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen yang Bea Meterainya telah dibayar melalui Pemeteraian Kemudian.
    (5) Pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan setelah Pejabat DJP memastikan:
      a. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
      b. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
      c. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat ( 1) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
           
      Pasal 52
    (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal terdapat Pemeteraian Kemudian yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar oleh Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a atau huruf b.
    (2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak setelah dilakukan tindakan penelitian atau pemeriksaan dalam hal terdapat Pemeteraian Kemudian yang telah dibayar Bea Meterainya oleh Pihak Yang Terutang tetapi sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a atau huruf b belum dibayar.
    (3) Penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
       
    Pasal 53
    (1) Pihak Yang Terutang dapat meminta pengesahan Pejabat DJP se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat ( 1) huruf b atas Dokumen yang:
      a. Bea Meterainya ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1); dan
      b. Bea Meterainya telah dibayar tetapi sanksi administratifnya ditagih dengan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
    (2) Terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat DJP melakukan pengesahan dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen setelah memastikan:
      a. Bea Meterai yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak atau sanksi administratif yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      b. Pihak Yang Terutang tidak melakukan upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
       
    Pasal 54
    Cap Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), Pasal 51 ayat (4), dan Pasal 53 ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    BAB V
    PEMUNGUTAN BEA METERAI
     
    Bagian Kesatu
    Penetapan Pemungut Bea Meterai
     
    Pasal 55
    (1) Pemungutan Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai.
      Dokumen yang wajib dipungut oleh Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen tertentu yang meliputi:
      a. surat berharga berupa eek dan/ atau bilyet giro;
      b. Dokumen transaksi surat berharga termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
      c. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; dan
      d. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), yang:
        1. menyebutkan penerimaan uang; atau
        2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi a tau diperhitungkan.
    (3) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai dikecualikan dari pemungutan Bea Meterai.
       
    Pasal 56
    (4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penetapan Wajib Pajak sebagai Pemungut Bea Meterai secarajabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
    (5) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
      Wajib Pajak yang ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dengan kriteria: 
      a. memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a;
      b. menerbitkan dan/ atau memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b; dan/ atau
      c. menerbitkan dan/ atau memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c dan/ atau huruf d dengan jumlah tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak. 
         
    Pasal 57
    (1) Penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai dengan data dan/ atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/ atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (2) Penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai.
       
    Pasal 58
    (1) Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) tetapi belum ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai dapat menyampaikan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
      a. secara elektronik; atau
      b. secara langsung,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan surat pernyataan kesediaan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (4) Penyampaian permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
    (5) Terhadap permohonan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
     
    Pasal 59
    (1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
      a. surat penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (3); atau
      b. surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) atau Pasal 58 ayat (3),
      paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (5) diterbitkan.
    (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai atau surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai, permohonan dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
    (3) Tata cara penyampaian surat penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam Pasal 57 ayat (2) serta surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana . dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
    (4) Penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam Pasal 57 ayat (2) mulai berlaku terhitung sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat penetapan.
       
    Bagian Kedua
    Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan 
    Bea Meterai
       
    Pasal 60
    Pemungut Bea Meterai wajib:
    a. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dari Pihak Yang Terutang;
    b. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
    c. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai, termasuk penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.
       
    Pasal 61
    Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan pada saat:
    a. Dokumen diterima dari Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a; 
    b. Dokumen selesai dibuat oleh pihak yang menerbitkan atau memfasilitasi penerbitan Dokumen, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b; atau 
    c. Dokumen diserahkan kepada Pihak Yang Terutang, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c dan huruf d. 
       
    Pasal 62
    (1) Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan dengan membubuhkan:
      a. Meterai Percetakan pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a melalui Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan;
      b. Meterai Elektronik pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d yang berbentuk elektronik; dan
      c. Meterai Teraan Digital pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d yang berbentuk tulisan tangan atau cetakan.
    (2) Pemungut Bea Meterai tetap wajib memungut Bea Meterai dengan membubuhkan tanda pemungutan pada Dokumen dalam hal pembubuhan Meterai Elektronik dan/atau Meterai Teraan Digital tidak memungkinkan untuk dilakukan yang disebabkan
      a. kegagalan sistem; atau
      b. Pemungut Bea Meterai memerlukan pengadaan infrastruktur dan/ atau penyesuaian sistem untuk dapat membubuhkan Meterai Elektronik dan/ atau Meterai Teraan Digital.
    (3) Kegagalan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kondisi:
      a. Sistem Meterai Elektronik tidak dapat diakses, tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Elektronik, dan/ atau Meterai Elektronik tidak dapat dibubuhkan pada suatu jenis Dokumen elektronik, berdasarkan pemberitahuan dari Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia; dan/ atau
      b. Sistem Meterai Teraan Digital tidak dapat diakses dan/ atau tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Teraan Digital berdasarkan pemberitahuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
    (4) Tanda pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
      a. tulisan "BEA METERAI LUNAS";
      b. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
      c. nama Pemungut Bea Meterai.
       
    Pasal 63
    (1) Penyetoran Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b atas Bea Meterai yang dipungut untuk setiap Masa Pajak wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Pasal 64
    (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c wajib dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    (2) SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen elektronik dan disampaikan secara elektronik.
    (3) Terhadap penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bukti Penerimaan.
    (4) Dalam hal tidak terdapat Dokumen yang wajib dipungut Bea Meterai dan/ atau tidak terdapat penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan.
    (5) Tata cara penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai surat pemberitahuan.
       
    Pasal 65
    (1) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) merupakan hari libur, penyetoran dan pelaporan dapat dilakukan paling lama pada hari kerja berikutnya.
    (2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.
       
    Pasal 66
    (1) Pemungut Bea Meterai dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa Bea Meterai yang telah disampaikan dalam hal:
      a. terdapat salah tulis atau salah hitung; atau
      b. terdapat surat berharga berupa eek dan/ atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan.
    (2) Tata cara penyampaian pembetulan SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai surat pemberitahuan.
         
    Pasal 67
    (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak kepada Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dan/atau penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
    (2) Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/ atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor.
       
      Bagian Ketiga
      Pencabutan Penetapan Pemungut Bea Meterai
       
    Pasal 68
    Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mencabut penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
     
    Pasal 69
    (1) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilakukan berdasarkan data dan/ atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
    (2) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilakukan dengan menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai.
       
    Pasal 70
    (1) Berdasarkan permohonan pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
      a. surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan Pasal 70 ayat (1); atau
      b. surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 atau Pasal 70 ayat ( 1),
      paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) diterbitkan.
    (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai atau surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai, permohonan dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejakjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) berakhir.
    (3) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2), dan dalam Pasal 69 ayat (2) mulai berlaku terhitung sejak tanggal surat pencabutan penetapan.
    (4) Tata cara penyampaian surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2), dan dalam Pasal 69 ayat (2) serta surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
       
    Pasal 72
    Dokumen berupa:
    a. surat permohonan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1);
    b. surat pernyataan kesediaan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3);
    c. surat penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) huruf a;
    d. surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b;
    e. surat permohonan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1);
    f. surat pernyataan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1);
    g. surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 71 ayat ( 1) huruf a; dan
    h. surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b,
    dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    BAB VI
    PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
     
    Pasal 73
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal terdapat:
    a. Deposit yang belum digunakan dan/ atau masih tersisa; dan
    b. pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut karena pembetulan SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1).
       
    Pasal 74
    (1) Deposit yang belum digunakan dan/ atau masih tersisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a berupa:
      a. Deposit ke kas negara yang gagal menghasilkan kode atau tambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital;
      b. Deposit pada mesin teraan Meterai digital yang masih tersisa, dalam hal dilakukan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak;
      c. Deposit untuk Meterai Komputerisasi yang masih tersisa, dalam hal dilakukan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak;
      d. Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tercetak pada cek dan/ atau bilyet giro yang tidak digunakan; dan
      e. Deposit untuk Meterai Elektronik:
        1. yang berasal dari penyetoran atas pemungutan Bea Meterai sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024; dan
        2. yang belum dibubuhkan untuk pemungutan Bea Meterai pada akhir Masa Pajak Oktober 2024.
    (2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diminta pengembalian oleh:
      a. pihak pembayar yang bersangkutan, untuk Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf d; atau
      b. Distributor, untuk Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
      dengan mengajukan permohonan pengembalian kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh pihak pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
      a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
      b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
      c. daftar cek dan/ atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, untuk permohonan pengembalian Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tercetak pada cek dan/ atau bilyet giro yang tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
    (4) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
      a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
      b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
      c. surat pernyataan dari Perusahaan Umum (Perum) Pereetakan Uang Republik Indonesia bahwa kompensasi atas Meterai Elektronik yang diajukan permohonan pengembalian belum dibayarkan, dalam hal kompensasi belum dibayarkan; dan
      d. bukti pengembalian kompensasi ke kas negara atas Meterai Elektronik yang diajukan permohonan pengembalian, dalam hal kompensasi telah dibayarkan.
       
    Pasal 75
    (1) Pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b dapat diminta kembali oleh Pemungut Bea Meterai dengan mengajukan permohonan pengembalian.
    (2) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
      a. SPT Masa Bea Meterai dan Bukti Penerimaan SPT Masa Bea Meterai yang menjadi dasar permohonan; dan
      b. daftar cek dan/ atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b.
    (4) Dokumen berupa daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan Pasal 74 ayat (3) huruf c dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 76
    (1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 disampaikan:
      a. secara langsung;
      b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
      c. secara elektronik.
    (2) Penyampaian permohonan pengembalian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia..
    (3) Tata cara permohonan pengembalian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta yang mengatur mengenai tata eara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima seeara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
       
    Pasal 77
    (1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.
    (2) Dalam rangka penelitian kebenaran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
    (3) Hasil penelitian berupa pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
      a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke kas negara;
      b. pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang;
      c. cek dan/atau bilyet giro tidak digunakan, untuk permohonan pengembalian Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tereetak pada cek dan/ atau bilyet giro yang tidak digunakan; dan
      d. kompensasi belum dibayarkan atau telah dikembalikan ke kas negara, untuk permohonan pengembalian Deposit Meterai Elektronik.
    (4) Hasil penelitian berupa pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
      a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetorkan ke kas negara;
      b. penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang; dan
      c. cek dan/ atau bilyet giro tidak digunakan, untuk permohonan pengembalian yang disebabkan karena terdapat surat berharga berupa cek dan/ atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan.
    (5) Penelitian atas pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dan ayat (4) huruf e dilakukan dengan:
      a. mencocokkan fisik cek dan/ atau bilyet giro dengan daftar cek dan/ atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf c atau Pasal 75 ayat (3) huruf b; dan
      b. memastikan nomor seri cek dan/ atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah:
        1. dilaporkan dalam SPT Masa Bea Meterai yang dibetulkan; dan
        2. dikeluarkan dari daftar pemungutan dalam SPT Masa Bea Meterai pembetulan,
        untuk permohonan pengembalian yang disebabkan karena pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut.
    (6) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
       
    Pasal 78
    (1) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
      a. surat ketetapan pajak lebih bayar sebesar nilai lebih bayar berdasarkan hasil penelitian, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
      b. surat pemberitahuan penolakan, dalam hal tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
      Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, selain menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak juga memusnahkan cek dan/ atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dengan cara dirajang atau dibakar.
      Pelaksanaan pemusnahan surat berharga berupa cek dan/ atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan bantuan Wajib Pajak yang membubuhkan Meterai Percetakan pada cek dan/atau bilyet giro.
      Pemusnahan cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pemusnahan cek dan/ atau bilyet giro.
      Tata cara penerbitan dan penyampaian surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat pemberitahuan penolakan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
      Dokumen berupa berita aeara pemusnahan cek dan/ atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 79
    Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk:
    a. menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1); dan
    b. memusnahkan cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2).
         
    BAB VII
    KETENTUAN PERALIHAN
     
    Pasal 80
    Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
    a. Kontrak dalam peneetakan Meterai Tempel, distribusi dan penjualan Meterai Tempel, serta pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terpenuhinya seluruh hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    b. besaran kompensasi pencetakan per keping Meterai Tempel, besaran kompensasi distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel, serta besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku;
    c. Izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izin berakhir atau izin dicabut;
    d. tanda Bea Meterai lunas yang telah dibubuhkan pada surat berharga berupa cek dan bilyet giro dengan menggunakan teknologi percetakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain dapat digunakan untuk pembayaran Bea Meterai yang terutang;
    e. selisih antara Bea Meterai yang seharusnya terutang dan tarif Bea Meterai yang tertera pada tanda Bea Meterai lunas sebagaimana dimaksud dalam huruf d wajib dilunasi dengan menggunakan Meterai Teraan atau Surat Setoran Pajak, paling lama sebelum Dokumen digunakan;
    f. pemungutan Bea Meterai atas Dokumen kertas dilakukan dengan menggunakan tanda pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini;
    g. penyetoran atas pemungutan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024 diperhitungkan sebagai Deposit yang merupakan:
      1. Meterai Elektronik yang dapat dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; atau
      2. Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa yang dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
      bagi Distributor;
    h. Meterai Elektronik yang belum dibubuhkan untuk pemungutan Bea Meterai pada akhir Masa Pajak Oktober 2024 dikembalikan sebagai Deposit yang merupakan:
      1. Meterai Elektronik yang dapat dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; atau
      2. Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa yang dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
      bagi Distributor.
    Paragraf 3
    Prosedur Pengajuan Permohonan Persetujuan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan di Financial Center
    Ibu Kota Nusantara
       
    Pasal 35
    (1) Untuk dapat mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Wajib Pajak harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari Sistem OSS.
    (2) Setelah Wajib Pajak memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS meneliti kesesuaian pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
    (3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa:
      a. Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; atau
      b. Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
       
    Pasal 36
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a, dapat mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan mengunggah salinan digital dokumen berupa dokumen rencana Penanaman Modal dan rencana kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara.
    (2) Permohonan yang telah dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Sistem OSS kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (3) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sedang dalam proses.
    (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
      a. sebelum Saat Mulai Beroperasi Komersial; dan
      b. paling lambat 1 (satu) tahun setelah tanggal diterbitkannya Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS.
       
    Paragraf 4
    Prosedur Pemberian Keputusan Persetujuan
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan di
    Financial Center Ibu Kota Nusantara
     
    Pasal 37
    (1) Atas usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan penelitian kebenaran untuk memastikan kesesuaian antara data dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan data kegiatan usaha pada Sistem OSS.
    (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) diterima.
    (3) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) telah sesuai dengan data kegiatan usaha, Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dinyatakan lengkap dan benar.
    (4) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya ketidaksesuaian antara dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan data kegiatan usaha, Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan pembetulan.
    (5) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima.
    (6) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan pembetulan sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir, permohonan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
    (7) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat mengajukan kembali sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
       
    Pasal 38
    (1) Persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ditetapkan dengan keputusan Menteri.
    (2) Menteri mendelegasikan kewenangan penetapan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mandat kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
    (3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal melaporkan pelaksanaan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri setiap 3 (tiga) bulan sekali.
    (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui Sistem OSS.
       
    Pasal 39
    (1) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diterbitkan setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dinyatakan lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3).
    (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Tata cara penerbitan keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
       
    Paragraf 5
    Prosedur Pengajuan Permohonan Pemanfaatan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan di Financial Center
    Ibu Kota Nusantara
       
    Pasal 40
    (1) Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 disampaikan oleh Wajib Pajak setelah Saat Mulai Beroperasi Komersial. 
    (2) Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem OSS dengan mengunggah dokumen meliputi: 
      a. daftar realisasi Penanaman Modal di Financial Center Ibu Kota Nusantara; dan 
      b. dokumen yang menunjukkan bahwa kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara telah beroperasi komersial antara lain berupa tagihan atas penghasilan pertama kali. 
    (3) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wajib Pajak juga harus memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (4) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
       
    Paragraf 6
    Prosedur Pemberian Keputusan Pemanfaatan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan di Financial Center
    Ibu Kota Nusantara
       
    Pasal 41
    (1) Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (2) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu.
    (3) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Wajib Pajak.
    (4) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemeriksaan pajak.
    (5) Menteri melimpahkan kewenangan untuk menetapkan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (6) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk:
      a. menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
      b. melakukan pemeriksaan lapangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
      dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
       
    Pasal 42
    (1) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, kuasa dari Wajib Pajak, atau pegawai dari Wajib Pajak.
    (2) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
      a. penentuan mengenai Saat Mulai Beroperasi Komersial;
      b. pengujian kesesuaian realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama pada sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara; dan
      c. pengujian mengenai saat pengajuan permohonan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
    (3) Dalam rangka pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dapat meminta keterangan dan/atau melibatkan tenaga ahli, Otorita Ibu Kota Nusantara, otoritas di sektor keuangan, dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
       
    Pasal 43
    Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat berupa:
    a. Saat Mulai Beroperasi Komersial;
    b. Wajib Pajak belum mulai beroperasi komersial pada saat pengajuan permohonan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    c. Wajib Pajak telah beroperasi komersial pada saat pengajuan permohonan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    d. Wajib Pajak telah beroperasi komersial pada saat pengajuan permohonan persetujuan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    e. kesesuaian realisasi Kegiatan Usaha Utama pada sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara;
    f. ketidaksesuaian realisasi Kegiatan Usaha Utama pada sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara; dan/atau
    g. Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan menyatakan menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
       
    Pasal 44
    (1) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, huruf c, dan huruf e terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
    (2) Keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara menerbitkan surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak belum beroperasi komersial dan Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan penetapan Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (4) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf g terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara menerbitkan surat yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dapat diproses.
    (5) Keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak belum beroperasi komersial dan Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan penetapan Saat Mulai Beroperasi Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan surat yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dapat diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pemeriksaan lapangan selesai dilaksanakan dan dituangkan dalam hasil pemeriksaan lapangan.
       
    Paragraf 7
    Kewajiban dan Larangan bagi Wajib Pajak yang Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan di
    Financial Center Ibu Kota Nusantara
       
    Pasal 45
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 wajib:
      a. merealisasikan rencana Penanaman Modal paling lama 2 (dua) tahun sejak keputusan pemberian persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diterbitkan;
      b. menyampaikan laporan realisasi Penanaman Modal dan laporan realisasi kegiatan usaha;
      c. melakukan pembukuan terpisah antara Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan yang tidak memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
      d. melakukan pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
    (2) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
    (3) Laporan realisasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan laporan realisasi Penanaman Modal sejak keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan diterbitkan sampai dengan Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (4) Laporan realisasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan laporan realisasi kegiatan usaha sejak Tahun Pajak Saat Mulai Beroperasi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan berakhir.
    (5) Kewajiban untuk melakukan pembukuan terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan menyelenggarakan pembukuan terpisah atas:
      a. penghasilan dari Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
      b. penghasilan dari Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b; dan
      c. penghasilan dari Penanaman Modal yang tidak memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
    (6) Dalam hal pada saat melakukan pembukuan terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional.
    (7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib disusun sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 46
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b.
       
    Pasal 47
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b disampaikan setiap 1 (satu) tahun kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dan Kepala Otorita.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem OSS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (7), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak.
    (4) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (7), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kedua
    (5) Berdasarkan surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b paling lambat 14 (empat belas) hari.
       
    Pasal 48
    Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilarang memindahkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan ke luar Financial Center Ibu Kota Nusantara selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
       
    Pasal 49
    (1) Wajib Pajak dalam negeri dan/atau bentuk usaha tetap yang memperoleh pinjaman dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dalam rangka pembiayaan pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra dilarang menggunakan pinjaman dimaksud selain untuk pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (2) Termasuk ke dalam pengertian menggunakan pinjaman selain untuk pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kegiatan meneruskan kembali pinjaman tersebut kepada Wajib Pajak lainnya.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri dan/atau bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, atau ayat (3) dicabut, dalam hal Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap telah diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, atau ayat (3); atau
      b. biaya pinjaman yang timbul akibat pinjaman yang digunakan selain untuk pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sebenarnya dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 tidak dapat dibebankan dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak, dalam hal Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap tidak diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, atau ayat (3).
       
      Paragraf 8
    Ketentuan Pemotongan atau Pemungutan Pajak Penghasilan
    bagi Wajib Pajak yang Memperoleh Fasilitas Pengurangan Pajak
    Penghasilan Badan di Financial Center Ibu Kota Nusantara
       
      Pasal 50
    (1) Terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diberikan pembebasan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas:
      a. penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama; dan
      b. pembelian atau impor atas barang atau bahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak terkait Kegiatan Usaha Utama.
    (2) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
      a. pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22;
      b. pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23; dan
      c. pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari bunga deposito dan tabungan lainnya, transaksi saham di bursa, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang.
    (3) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan surat keterangan bebas.
    (4) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diperlakukan sebagai surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan mulai tanggal diterbitkannya keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
    (6) Dalam hal berdasarkan keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari persentase pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama dan pembelian atau impor atas barang atau bahan terkait Kegiatan Usaha Utama, berlaku ketentuan sebagai berikut:
      a. Pajak Penghasilan Pasal 22 selain atas impor barang, Pajak Penghasilan Pasal 23, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari bunga deposito dan tabungan lainnya, transaksi saham di bursa, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang wajib dipotong dan/atau dipungut oleh lawan transaksi sebesar 15% (lima belas persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang, dalam hal lawan transaksi merupakan pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan; atau
      b. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang wajib dipungut oleh bank devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar 15% (lima belas persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang
    (7) Selain penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
       
    Paragraf 9
    Kriteria Pencabutan
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
    di Financial Center Ibu Kota Nusantara
     
    Pasal 51
    (1) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang diperoleh Wajib Pajak dilakukan pencabutan, dalam hal:
      a. hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d dan/atau huruf f terpenuhi;
      b. Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a;
      c. Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b;
      d. Wajib Pajak melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan/atau
      e. Wajib Pajak berhenti melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara.
    (2) Pencabutan keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
    (3) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (4) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemeriksaan pajak.
    (5) Menteri melimpahkan kewenangan untuk menetapkan keputusan pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mandat kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
    (6) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
    (7) Keputusan pencabutan fasilitas pengurangan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (8) Terhadap Wajib Pajak yang telah dilakukan pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. pengurangan Pajak Penghasilan badan yang telah dimanfaatkan sejak Tahun Pajak terjadinya pelanggaran wajib dibayar kembali ditambah sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan
      b. tidak dapat lagi diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di Financial Center Ibu Kota Nusantara.
       
    Paragraf 10
    Fasilitas Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan
    Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Berasal dari Investasi
    pada Financial Center di Ibu Kota Nusantara yang Diterima
    atau Diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri
       
    Pasal 52
    (1) Penghasilan yang berasal dari investasi pada sektor keuangan di Financial Center di Ibu Kota Nusantara yang diterima atau diperoleh subjek pajak luar negeri dibebaskan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai pertama kali penempatan dana di Financial Center di Ibu Kota Nusantara.
    (2) Subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
      a. subjek pajak luar negeri badan atau orang pribadi tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
      b. pihak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan (beneficial owner).
    (3) Subjek pajak luar negeri memenuhi ketentuan sebagai pihak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan (beneficial owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam hal:
      a. bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi, tidak bertindak sebagai agen atau nominee; atau
      b. bagi subjek pajak luar negeri badan:
        1. tidak bertindak sebagai agen, nominee, atau conduit;
        2. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
        3. tidak lebih dari 50% (lima puluh persen) penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
        4. menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
        5. tidak mempunyai kewajiban tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia.
    (4) Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b angka 1 merupakan orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
    (5) Nominee sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b angka 1 merupakan orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
    (6) Conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1 merupakan suatu perusahaan yang memperoleh pembebasan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan penghasilan yang berasal dari investasi pada sektor keuangan di Financial Center di Ibu Kota Nusantara, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan yang tidak akan dapat memperoleh pembebasan dimaksud jika penghasilan tersebut diterima langsung.
    (7) Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 3 merupakan seluruh penghasilan subjek pajak luar negeri dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan nonkonsolidasi subjek pajak luar negeri.
    (8) Tidak termasuk kewajiban kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 3 meliputi pemberian imbalan kepada:
      a. karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan; dan
      b. pihak lain atas biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh subjek pajak luar negeri dalam menjalankan kegiatan usahanya.
       
    Pasal 53
    (1) Untuk dapat memanfaatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1):
      a. subjek pajak luar negeri harus:
        1. menyediakan data tax identification number atau nomor paspor subjek pajak luar negeri; dan
        2. menyampaikan pernyataan tanggal mulai penempatan dana di Financial Center Ibu Kota Nusantara; dan
      b. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara harus menyampaikan laporan realisasi investasi subjek pajak luar negeri pada Financial Center di Ibu Kota Nusantara melalui Sistem OSS paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
    (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan laporan realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berakhir.
       
    Pasal 54
    Dalam hal subjek pajak luar negeri tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a, subjek pajak luar negeri tidak dapat diberikan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
     
    Pasal 55
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap subjek pajak luar negeri yang dibebaskan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap subjek pajak luar negeri yang dibebaskan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara berstatus pusat terdaftar.
       
    Pasal 56
    (1) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b tidak menyampaikan laporan realisasi investasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b dan/atau menyampaikan laporan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara berstatus pusat terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak.
    (2) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara berstatus pusat terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kedua.
    (3) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b paling lambat 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak.
    (4) Dalam hal Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) untuk masa pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (5) Wajib Pajak yang memperoleh surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) berakhir.
       
    Bagian Ketiga
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
    untuk Pendirian dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau
    Kantor Regional
       
    Paragraf 1
    Subjek, Bentuk Fasilitas, dan Kriteria untuk Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk
    Pendirian dan/atau Pemindahan Kantor Pusat
    dan/atau Kantor Regional
     
    Pasal 57
    (1) Pelaku Usaha yang mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.
    (2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
      a. subjek pajak luar negeri yang mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara; atau
      b. Wajib Pajak dalam negeri yang mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya di Ibu Kota Nusantara.
    (3) Kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk induk usaha.
    (4) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/kantor regional ke Ibu Kota Nusantara yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2045.
       
    Pasal 58
    (1) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang selama 10 (sepuluh) Tahun Pajak.
    (2) Setelah jangka waktu pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang selama 10 (sepuluh) Tahun Pajak berikutnya.
       
    Pasal 59
    (1) Subjek pajak luar negeri yang mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regional ke Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) atas seluruh penghasilan dari kegiatan utamanya sebagai kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara.
    (2) Wajib Pajak dalam negeri yang mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) atas:
      a. penghasilan dari kegiatan utamanya sebagai kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara; dan
      b. penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a berasal dari Pelaku Usaha dan/atau masyarakat yang berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara.
       
    Pasal 60
    (1) Subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a harus memenuhi kriteria:
      a. memiliki minimal 2 (dua) unit afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia;
      b. memiliki substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara;
      c. membentuk badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas di Indonesia;
      d. memiliki komitmen untuk mulai merealisasikan pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional ke Ibu Kota Nusantara paling lama 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya keputusan persetujuan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1);
      e. memiliki Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Sistem OSS; dan
      f. belum pernah diterbitkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
    (2) Afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan anak usaha, cabang usaha, joint venture, atau entitas sejenis lainnya.
    (3) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b harus memenuhi kriteria:
      a. memiliki substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara;
      b. membentuk badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas di Indonesia;
      c. merupakan kegiatan usaha yang baru dan bukan merupakan hasil pembubaran, likuidasi, penggabungan, peleburan, pemisahan, pengambilalihan usaha, atau pemindahan usaha dari Wajib Pajak dan/atau grup usaha Wajib Pajak yang berada di luar wilayah Ibu Kota Nusantara;
      d. memiliki komitmen untuk mulai merealisasikan pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya keputusan pemberian persetujuan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1);
      e. memiliki perizinan usaha yang diterbitkan oleh kementerian atau lembaga yang berwenang; dan
      f. belum pernah diterbitkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1)
    (4) Pemenuhan kriteria memiliki substansi ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf a berupa:
      a. memiliki kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan usahanya;
      b. menjalankan aktivitas strategis bagi perusahaan dan/atau grup usaha, seperti melaksanakan keputusan strategis perusahaan, mengkonsolidasikan pelaksanaan investasi baru, perluasan, merger, akuisisi, pembubaran afiliasi, dan konsolidasi manajemen keuangan dan/atau sumber daya manusia;
      c. memiliki biaya operasional dalam setahun paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
      d. mempekerjakan paling sedikit 50 (lima puluh) tenaga kerja Indonesia yang berstatus pegawai tetap yang merupakan tenaga kerja yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21; dan
      e. memiliki pendapatan usaha selain pendapatan yang berupa dividen, bunga, royalti, dan/atau keuntungan atas pengalihan harta.
    (5) Dalam hal subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b sahamnya dimiliki secara langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya, selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3), Wajib Pajak dalam negeri lainnya yang menjadi pemegang saham harus memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (6) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
       
    Paragraf 2
    Prosedur Pengajuan Permohonan Persetujuan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian
    dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
       
    Pasal 61
    (1) Untuk dapat mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), subjek pajak atau Wajib Pajak harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari Sistem OSS.
    (2) Setelah subjek pajak atau Wajib Pajak memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS meneliti:
      a. kesesuaian pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) atau ayat (3); dan
      b. kesesuaian pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5).
    (3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan bahwa:
      a. subjek pajak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dalam hal subjek pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (5);
      b. Wajib Pajak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan ayat (5);
      c. subjek pajak tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dalam hal subjek pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) atau ayat (5); atau
      d. Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) atau ayat (5).
       
    Pasal 62
    (1) Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf a, dapat mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dengan mengunggah salinan digital dokumen yang meliputi:
      a. surat pernyataan komitmen pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional ke Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf d;
      b. dokumen yang menunjukkan telah memiliki minimal 2 (dua) unit afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a; dan
      c. surat pernyataan komitmen memenuhi substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b.
    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 57 ayat (2) huruf b yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b, dapat mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dengan mengunggah salinan digital dokumen yang meliputi:
      a. surat pernyataan komitmen pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf d;
      b. surat pernyataan komitmen memenuhi substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf a; dan
      c. surat pernyataan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf c.
    (3) Permohonan yang telah dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) disampaikan oleh Sistem OSS kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
    (4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sedang dalam proses.
    (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan:
      a. sebelum Saat Mulai Beroperasi Komersial; dan
      b. paling lambat 1 (satu) tahun setelah tanggal diterbitkannya Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS.
       
    Paragraf 3
    Prosedur Pemberian Keputusan Persetujuan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian
    dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
     
    Pasal 63
    (1) Atas usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) dilakukan penelitian kebenaran untuk memastikan kesesuaian data dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau ayat (2) dan data kegiatan usaha pada Sistem OSS.
    (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau ayat (2) diterima secara lengkap.
    (3) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) data dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau ayat (2) telah sesuai dengan data kegiatan usaha pada Sistem OSS, Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan bahwa usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) dinyatakan lengkap dan benar.
    (4) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya ketidaksesuaian antara data dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau ayat (2) dan data kegiatan usaha pada Sistem OSS, Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada subjek pajak atau Wajib Pajak untuk menyampaikan pembetulan
    (5) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima.
    (6) Dalam hal subjek pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan pembetulan sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir, permohonan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
    (7) Subjek pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat mengajukan kembali sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal 60 ayat (1) atau ayat (3).
       
    Pasal 64
    (1)
Persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri.
    (2) Menteri mendelegasikan kewenangan penetapan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mandat kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
    (3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal melaporkan pelaksanaan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri setiap 3 (tiga) bulan sekali.
    (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui Sistem OSS.
       
    Pasal 65
    (1) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) dinyatakan lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).
    (2) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Tata cara penerbitan keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
       
    Paragraf 4
    Prosedur Pengajuan Permohonan Pemanfaatan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian
    dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
     
    Pasal 66
    (1) Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disampaikan setelah Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (2) Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak melalui Sistem OSS dengan mengunggah dokumen meliputi:
      a. bukti realisasi pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara; dan
      b. dokumen yang menunjukkan pemenuhan komitmen substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b atau ayat (3) huruf a
    (3) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak juga harus memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (4) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
       
    Paragraf 5
    Prosedur Pemberian Keputusan Pemanfaatan Fasilitas
    Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian
    dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
     
    Pasal 67
    (1) Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Wajib Pajak
    (3) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemeriksaan pajak.
    (4) Menteri melimpahkan kewenangan untuk menetapkan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (5) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk:
      a. menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan; dan
      b. melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
       
    Pasal 68
    (1) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, kuasa dari Wajib Pajak, atau pegawai dari Wajib Pajak.
    (2) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
      a. penentuan mengenai Saat Mulai Beroperasi Komersial; dan
      b. pengujian pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal 60 ayat (1) atau ayat (3).
    (3) Dalam rangka pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dapat meminta keterangan dan/atau melibatkan tenaga ahli, Otorita Ibu Kota Nusantara, dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
       
    Pasal 69
    Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dapat berupa:
    a. Wajib Pajak telah beroperasi komersial saat pengajuan permohonan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    b. Wajib Pajak belum beroperasi komersial saat pengajuan permohonan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    c. Wajib Pajak mulai merealisasikan pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    d. Wajib Pajak mulai merealisasikan pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara melewati jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    e. Wajib Pajak memiliki minimal 2 (dua) unit afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia bagi subjek pajak luar negeri;
    f. Wajib Pajak tidak memiliki minimal 2 (dua) unit afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia bagi subjek pajak luar negeri;
    g. Wajib Pajak memenuhi:
      1. kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), bagi subjek pajak luar negeri; atau
      2. kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3), bagi Wajib Pajak badan dalam negeri;
    h. Wajib Pajak tidak memenuhi:
      1. kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), bagi subjek pajak luar negeri; atau
      2. kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3), bagi Wajib Pajak badan dalam negeri; dan
    i. Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan menyatakan menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
       
    Pasal 70
    (1) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam:
      a. Pasal 69 huruf a, huruf c, huruf e, dan huruf g; atau
      b. Pasal 69 huruf a, huruf c, huruf e, dan huruf h,
      terpenuhi, Menteri menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
    (2) Keputusan pemanfaatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara menerbitkan surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak belum beroperasi komersial dan Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan penetapan Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (4) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara menerbitkan surat yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dapat diproses.
       
    Pasal 71
    (1) Atas hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b berlaku ketentuan:
      a. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan tidak dapat diberikan untuk Tahun Pajak bersangkutan; dan
      b. Pajak Penghasilan yang seharusnya terutang wajib dibayarkan kembali oleh Wajib Pajak.
    (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh keputusan pemanfaatan yang diterbitkan sebelum berakhirnya Tahun Pajak Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (3) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b atau Pasal 60 ayat (3) huruf a sebelum berakhirnya Tahun Pajak Saat Mulai Beroperasi Komersial.
    (4) Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) namun atas kesadaran sendiri Wajib Pajak menyatakan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b atau Pasal 60 ayat (3) huruf a dalam masa pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, berlaku ketentuan:
      a. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan tidak dapat diberikan untuk Tahun Pajak bersangkutan; dan
      b. Pajak Penghasilan yang seharusnya terutang wajib dibayarkan oleh Wajib Pajak.
    (5) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan Wajib Pajak yang telah memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b atau Pasal 60 ayat (3) huruf a dalam masa pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, berlaku ketentuan:
      a. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan tidak dapat diberikan untuk Tahun Pajak bersangkutan;
      b. Pajak Penghasilan yang seharusnya terutang wajib dibayarkan kembali oleh Wajib Pajak; dan
      c. dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
    (6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b atau Pasal 60 ayat (3) huruf a, sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
    (7) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dilakukan sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Paragraf 6
    Kewajiban dan Larangan bagi Wajib Pajak yang Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk
    Pendirian dan/atau Pemindahan Kantor Pusat
    dan/atau Kantor Regional
       
    Pasal 72
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) wajib:
      a. memulai realisasi pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diterbitkan;
      b. menyampaikan laporan realisasi pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional;
      c. melakukan pembukuan terpisah antara Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan yang tidak memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
      d. melakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini
    (3) Kewajiban untuk melakukan pembukuan terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas penghasilan yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
    (4) Dalam hal pada saat melakukan pembukuan terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional.
       
    Pasal 73
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b.
       
    Pasal 74
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b wajib disampaikan setiap 1 (satu) tahun kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dan Kepala Otorita
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem OSS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak.
    (4) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kedua
    (5) Berdasarkan surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b paling lambat 14 (empat belas) hari.
       
    Pasal 75
    Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dilarang:
    a. memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regional ke luar Ibu Kota Nusantara; atau
    b. membubarkan atau memindahkan kegiatan usaha dari Wajib Pajak dan/atau grup usaha Wajib Pajak yang berada di luar Ibu Kota Nusantara ke Ibu Kota Nusantara,
    selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
       
    Paragraf 7
    Ketentuan Pemotongan atau Pemungutan Pajak Penghasilan
    bagi Wajib Pajak yang Memperoleh Fasilitas Pengurangan Pajak
    Penghasilan Badan untuk Pendirian dan/atau Pemindahan
    Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
       
    Pasal 76
    (1) Terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) diberikan pembebasan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas:
      a. penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama; dan
      b. pembelian atau impor atas barang atau bahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak terkait Kegiatan Usaha Utama.
    (2) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
      a. pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22; dan
      b. pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
       
    Pasal 77
    (1) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) diberikan dengan surat keterangan bebas.
    (2) Keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diperlakukan sebagai surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3) Pembebasan dari pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan mulai tanggal diterbitkannya keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).
    (4) Terhadap Wajib Pajak yang diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari persentase pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) berdasarkan keputusan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama dan pembelian atau impor atas barang atau bahan terkait Kegiatan Usaha Utama berlaku ketentuan sebagai berikut:
      a. Pajak Penghasilan Pasal 22 selain atas impor barang, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 23 wajib dipotong dan/atau dipungut oleh lawan transaksi sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang, dalam hal lawan transaksi merupakan pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan; atau
      b. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang wajib dipungut oleh bank devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang
    (5) Selain penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) tetap dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
       
    Paragraf 8
    Kriteria Pencabutan Fasilitas Pengurangan
    Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian dan/atau
    Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
       
    Pasal 78
    (1) Keputusan persetujuan fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang diperoleh Wajib Pajak dilakukan pencabutan, dalam hal:
      a. hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf d dan/atau huruf f terpenuhi;
      b. tidak lagi melakukan kegiatan sebagai kantor pusat dan/atau kantor regional di Ibu Kota Nusantara;
      c. tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b;
      d. melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75; dan/atau
      e. tidak memenuhi ketentuan jumlah minimal afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a.
    (2) Pencabutan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
    (3) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (4) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemeriksaan pajak.
    (5) Menteri melimpahkan kewenangan untuk menetapkan keputusan pencabutan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk mandat kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
    (6) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
    (7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (8) Terhadap Wajib Pajak yang telah dilakukan pencabutan persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. pengurangan Pajak Penghasilan badan yang telah dimanfaatkan wajib dibayar kembali dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terhitung sejak saat Wajib Pajak melakukan pelanggaran; dan
      b. tidak dapat lagi diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional.
       
    Bagian Keempat
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan
    Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran
    untuk Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
    Berbasis Kompetensi Tertentu
       
    Paragraf 1
    Subjek, Bentuk Fasilitas, dan Kriteria untuk Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 79
    Wajib Pajak yang menyelenggarakan dan/atau mengikutsertakan sumber daya manusia pada kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan di Ibu Kota Nusantara untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu diberikan fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d.
     
    Pasal 80
    (1) Fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diberikan paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.
    (2) Pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pengurangan Penghasilan Bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran; dan
      b. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebesar paling tinggi 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada huruf a.
         
    Pasal 81
    (1) Wajib Pajak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b dengan memenuhi kriteria:
      a. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri;
      b. telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu;
      c. memiliki Perjanjian Kerja Sama; dan
      d. memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (2) Kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kompetensi yang diajarkan pada:
      a. sekolah menengah kejuruan dan/atau madrasah aliyah kejuruan untuk siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan;
      b. perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi untuk mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan; dan/atau
      c. balai latihan kerja untuk peserta latih, instruktur, tenaga kepelatihan, dan/atau perseorangan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak manapun,
      yang berada di Ibu Kota Nusantara.
    (3) Daftar kompetensi tertentu yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Otorita berdasarkan peraturan pemerintah mengenai pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara.
    (4) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
         
    Paragraf 2
    Bentuk Kegiatan Praktik Kerja dan/atau Pemagangan
    serta Pembelajaran yang Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 82
    (1) Kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 merupakan kegiatan yang dapat diikuti oleh:
      a. siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan;
      b. mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi;
      c. peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan di balai latihan kerja; dan/atau
      d. perseorangan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak manapun yang dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, Otorita Ibu Kota Nusantara, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota,
      sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kejuruan atau vokasi dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang tertentu.
    (2) Kegiatan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh Wajib Pajak untuk mengajar di sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, dan/atau balai latihan kerja yang berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara.
         
    Paragraf 3
    Jenis Biaya Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan,
    dan/atau Pembelajaran yang Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 83
    Biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, meliputi biaya:
    a. penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan;
    b. biaya penunjang fasilitas fisik khusus meliputi listrik, air, bahan bakar, biaya pemeliharaan, dan biaya terkait lainnya untuk keperluan pelaksanaan praktik kerja dan/atau kegiatan pemagangan;
    c. instruktur atau pengajar sebagai tenaga pembimbing praktik kerja, pemagangan, dan/atau kegiatan pembelajaran;
    d. barang dan/atau bahan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran;
    e. honorarium, penggantian biaya, dan/atau pembayaran sejenis yang diberikan kepada siswa, mahasiswa, peserta latih, pendidik/pelatih, tenaga kependidikan/kepelatihan, perseorangan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak manapun dan/atau instruktur yang merupakan peserta praktik kerja dan/atau pemagangan; dan/atau
    f. biaya sertifikasi kompetensi bagi siswa, mahasiswa, peserta latih, pendidik/pelatih, tenaga kependidikan/kepelatihan, perseorangan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak manapun dan/atau instruktur yang merupakan peserta praktik kerja dan/atau pemagangan oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan sertifikasi kompetensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
         
    Pasal 84
    (1) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b berlaku ketentuan sebagai berikut:
      a. untuk biaya perolehan barang berwujud dan tidak berwujud terkait penyediaan fasilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dihitung dari biaya penyusutan atau amortisasi barang berwujud dan tidak berwujud bersangkutan yang dibebankan pada saat bulan dilakukannya kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;
      b. untuk biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dihitung dari biaya yang sesungguhnya dikeluarkan yang dibebankan pada Tahun Pajak bersangkutan;
      c. dalam hal biaya penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a merupakan barang berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan tidak digunakan penuh selama satu Tahun Pajak untuk kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dibebankan secara proporsional berdasarkan waktu pemanfaatan dalam satu Tahun Pajak;
      d. dalam hal biaya penunjang fasilitas fisik khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b tidak dapat dipisahkan antara biaya untuk tujuan produksi komersial dan biaya terkait pelaksanaan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dibebankan secara proporsional berdasarkan pemanfaatan yang terkait dengan kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan;
      e. biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf e yang diberikan kepada peserta praktik kerja dan/atau pemagangan yang mempunyai hubungan:
        1. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
        2. usaha; dan/atau
        3. kepemilikan atau penguasaan,
        dengan pemilik, komisaris, direksi, dan/atau pengurus dari Wajib Pajak, tidak dapat diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto;
      f. dalam hal praktik kerja dan/atau pemagangan dilakukan dengan menggunakan fasilitas fisik, bahan, dan/atau barang yang digunakan dalam produksi komersial, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto hanya dapat diberikan atas biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf c, huruf e, dan huruf f;
      g. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto atas biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a tidak dapat diberikan dalam hal fasilitas fisik yang digunakan merupakan bagian dari Penamanan Modal yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan berupa:
        1. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
        2. fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
        3. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
        4. fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus; atau
        5. fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
    (2) Penghitungan besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dikurangkan pada tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dilakukan sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Paragraf 4
    Prosedur Penyampaian Pemberitahuan Fasilitas
    Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 85
    (1) Untuk memperoleh tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Sistem OSS.
    (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan Perjanjian Kerja Sama.
    (3) Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
      a. nomor dan tanggal Perjanjian Kerja Sama;
      b. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      c. jenis kompetensi yang diajarkan;
      d. nama sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, balai latihan kerja, dan/atau instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tenaga kerja, Otorita Ibu Kota Nusantara, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota;
      e. tanggal efektif dan masa berlakunya kerja sama;
      f. perkiraan jumlah peserta praktik kerja, pemagangan dan/atau pembelajaran;
      g perkiraan jumlah pegawai dan/atau pihak lain yang ditugaskan dalam kegiatan pembelajaran; dan
      h perkiraan jumlah biaya.
    (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat sebelum dilakukannya kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu dimulai.
         
    Pasal 86
    (1) Terhadap pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
    (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan meneliti kesesuaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dan kriteria Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam 85 ayat (3).
    (3) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
      a. kesesuaian dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1);
      b. ketidaksesuaian dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1);
      c. kesesuaian dengan kriteria Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam 85 ayat (3); atau
      d. ketidaksesuaian dengan kriteria Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam 85 ayat (3).
    (5) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf c terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menyampaikan notifikasi persetujuan pemberitahuan kepada Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
    (6) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap dan benar.
    (7) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditembuskan kepada Kepala Otorita, Direktur Jenderal Pajak, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
    (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf d terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan permintaan perbaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
    (9) Wajib Pajak harus menyampaikan perbaikan pemberitahuan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah hasil penelitian diterima oleh Wajib Pajak.
    (10) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak.
    (11) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c atau huruf b dan huruf d terpenuhi, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan melalui Sistem OSS bahwa atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 85 ayat (1) tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut
    (12) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan ayat (11), Wajib Pajak dapat mengajukan pemberitahuan kembali sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dan kriteria Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam 85 ayat (3).
         
    Paragraf 5
    Kewajiban Wajib Pajak yang Memanfaatkan Fasilitas
    Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 87
    (1) Wajib Pajak yang telah memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto, wajib menyampaikan laporan biaya kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu setiap tahun kepada Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dan Kepala Otorita.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 88
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1).
       
    Pasal 89
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) disampaikan melalui Sistem OSS paling lambat:
      a. pada batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak yang bersangkutan; atau
      b. bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak yang bersangkutan dalam hal Wajib Pajak menyampaikan surat pemberitahuan sebelum batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan.
    (2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak.
    (3) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kedua.
    (4) Berdasarkan surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari.
       
    Paragraf 6
    Kewenangan Direktur Jenderal Pajak atas Pemanfaatan
    Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 90
    (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan bahwa tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b tidak diberikan, dalam hal Wajib Pajak:
      a. tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1);
      b. melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana kompetensi yang diajarkan sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerja Sama; atau
      c. tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1).
    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. wajib membayar Pajak Penghasilan yang terutang terhitung sejak Wajib Pajak melakukan pelanggaran; dan
      b. dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Paragraf 7
    Jangka Waktu Pemberian
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 91
    Fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diberikan atas biaya yang dibebankan sampai dengan tahun 2035.
     
    Bagian Kelima
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan
    Penelitian dan Pengembangan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Subjek, Bentuk Fasilitas dan Kriteria untuk Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 92
    Wajib Pajak badan dalam negeri yang mempunyai tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara, diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e.
     
    Pasal 93
    (1) Fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 diberikan paling tinggi 350% (tiga ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
    (2) Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara.
    (3) Pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 350% (tiga ratus lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pengurangan Penghasilan Bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
      b. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu dalam jangka waktu tertentu.
    (4) Besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi:
      a. 50% (lima puluh persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT yang didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT dalam negeri;
      b. 25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT yang selain didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT dalam negeri sebagaimana dimaksud pada huruf a, juga didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT luar negeri;
      c. 125% (seratus dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan mencapai tahap Komersialisasi; dan/atau
      d. 50% (lima puluh persen) jika Penelitian dan Pengembangan yang menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan/atau mencapai tahap Komersialisasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan/atau lembaga pendidikan tinggi yang berada di Indonesia.
     
    Pasal 94
    (1) Untuk dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b, Wajib Pajak harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
      a. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri;
      b. telah melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara;
      c. memiliki proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
      d. memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (2) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
         
    Pasal 95
    (1) Komersialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (4) huruf c dan huruf d dapat dilakukan oleh:
      a. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu; dan/atau
      b. Wajib Pajak dalam negeri lainnya.
    (2) Dalam hal Komersialisasi dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (4) huruf c dan/atau huruf d diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu
    (3) Komersialisasi oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92:
      a. telah mendapatkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT; dan
      b. harus mendapatkan penghasilan dengan nilai yang sebenarnya atau seharusnya diterima atas pemanfaatan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT, dari Wajib Pajak lainnya yang melakukan Komersialisasi.
         
    Paragraf 2
    Bentuk Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu yang
    Memperoleh Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 96
    (1) Kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 merupakan kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara untuk menghasilkan invensi, mengembangkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional
    (2) Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi Penelitian dan Pengembangan yang merupakan Penelitian dan Pengembangan prioritas dengan fokus dan tema tertentu yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara, sepanjang memenuhi kriteria:
      a. bertujuan untuk memperoleh penemuan baru;
      b. berdasarkan konsep atau hipotesis orisinal;
      c. memiliki ketidakpastian atas hasil akhirnya;
      d. terencana dan memiliki anggaran; dan
      e. bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang bisa ditransfer secara bebas atau diperdagangkan di pasar.
    (3) Fokus dan tema tertentu dari Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Kepala Otorita, setelah mendapatkan pertimbangan dari:
      a. kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi; dan
      b. Menteri.
    (4) Kegiatan yang tidak diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi:
      a. penerapan rekayasa sepenuhnya dalam kegiatan produksi pada tahap awal produksi komersial;
      b. kendali mutu selama produksi komersial, termasuk pengujian rutin terhadap hasil produksi;
      c. perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi selama produksi komersial;
      d. perbaikan, penambahan, pengayaan atau peningkatan kualitas lainnya yang bersifat rutin dari produk yang telah ada;
      e. penyesuaian dari kemampuan yang ada terhadap permintaan khusus atau kebutuhan pelanggan sebagai bagian dari kegiatan komersial yang berkesinambungan;
      f. perubahan rancangan secara musiman ataupun periodik dari produk yang telah ada;
      g. rancangan rutin dari peralatan dan cetakan;
      h. rekayasa konstruksi dan rancang bangun sehubungan dengan konstruksi, relokasi, pengaturan kembali, atau fasilitas permulaan yang digunakan (start-up of facilities) dan peralatan;
      i. riset pemasaran; dan/atau
      j. kegiatan lain yang tidak termasuk dalam Penelitian dan Pengembangan.
         
    Paragraf 3
    Jenis Biaya Penelitian dan Pengembangan Tertentu yang
    Memperoleh Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 97
    (1) Biaya Penelitian dan Pengembangan tertentu yang dapat diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi biaya yang berkaitan dengan:
      a. aktiva termasuk bangunan, berupa:
        1. biaya penyusutan aktiva tetap berwujud dan/atau biaya amortisasi aktiva tidak berwujud; dan
        2. biaya penunjang aktiva tetap berwujud yang meliputi listrik, air, bahan bakar dan biaya pemeliharaan;
      b. barang dan/atau bahan;
      c. gaji, honor, atau pembayaran sejenis yang dibayarkan kepada pegawai, peneliti, dan/atau perekayasa yang dipekerjakan;
      d. pengurusan untuk mendapatkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT; dan/atau
      e. imbalan yang dibayarkan kepada:
        1. lembaga Penelitian dan Pengembangan; dan/atau
        2. lembaga pendidikan tinggi,
        yang berada di Indonesia dan dikontrak oleh Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tanpa memiliki hak atas hasil dari Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan.
    (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan berdasarkan masing-masing proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan.
    (3) Dalam hal biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipisahkan untuk masing-masing proposal Penelitian dan Pengembangan, pembebanan biaya tersebut berdasarkan masing-masing proposal yang dilakukan secara proporsional berdasarkan waktu pemanfaatan atau penugasan.
    (4) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto atas biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat diberikan dalam hal aktiva yang digunakan merupakan bagian dari Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan berupa:
      a. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
      b. fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
      c. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
      d. fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus; atau
      e. fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
     
    Paragraf 4
    Mekanisme Penghitungan Besaran
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 98
    (1) Besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dimanfaatkan sebesar persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b dikalikan dengan akumulasi biaya Penelitian dan Pengembangan terkait untuk 5 (lima) Tahun Pajak terakhir sejak saat yang terjadi terlebih dahulu antara saat:
      a. pendaftaran hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT; atau
      b. mencapai tahap Komersialisasi.
    (2) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai dibebankan pada saat Wajib Pajak memperoleh hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT, dan/atau mencapai tahap Komersialisasi.
    (3) Besarnya tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat dibebankan di setiap Tahun Pajak paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b.
    (4) Dalam hal tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi dari 50% (lima puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih lebih tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang belum termanfaatkan dapat diperhitungkan untuk Tahun PajakTahun Pajak berikutnya.
    (5) Penghitungan besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembebanan tambahan pengurangan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 99
    (1) Wajib Pajak yang melakukan Penelitian dan Pengembangan tertentu untuk memperoleh tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (4) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d wajib mendaftarkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT:
      a. atas nama Wajib Pajak yang menerima tambahan pengurangan Penghasilan Bruto; atau
      b. atas nama bersama Wajib Pajak yang melakukan kerja sama kegiatan Penelitian dan Pengembangan di Ibu Kota Nusantara.
    (2) Hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak PVT yang dihasilkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
    (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal pengalihan dilakukan setelah jangka waktu perlindungan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak PVT tidak lagi dimiliki oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
    (4) Dalam hal Wajib Pajak mengalihkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak PVT yang dihasilkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang telah dimanfaatkan diperhitungkan sebagai penghasilan Wajib Pajak dan terutang Pajak Penghasilan pada saat dilakukannya pengalihan Kekayaan Intelektual tersebut.
       
    Paragraf 5
    Prosedur Pengajuan Permohonan Persetujuan
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 100
    (1) Untuk memperoleh tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan kepada kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melalui Sistem OSS.
    (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan.
    (3) Proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
      a. nomor dan tanggal proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
      b. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
      c. fokus, tema, dan topik Penelitian dan Pengembangan;
      d. rencana output Penelitian dan Pengembangan yang meliputi:
        1. pendaftaran paten dalam negeri;
        2. pendaftaran paten di luar negeri; dan/atau
        3. komersialisasi
      e. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak dari rekanan kerja sama, jika Penelitian dan Pengembangan dilakukan melalui kerja sama;
      f. perkiraan waktu yang dibutuhkan sampai mencapai hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
      g. perkiraan jumlah pegawai dan/atau pihak lain yang terlibat dalam kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
      h. perkiraan jumlah biaya
     
    Pasal 101
    (1) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1), lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melakukan penelitian dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja.
    (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan meneliti kesesuaian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dan kriteria proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3).
    (3) Dalam melakukan penelitian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi, berkoordinasi dengan Otorita Ibu Kota Nusantara dan kementerian dan/atau lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan yang dimohonkan.
    (4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
      a. kesesuaian dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2);
      b. ketidaksesuaian dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2);
      c. kesesuaian dengan kriteria proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3); atau
      d. ketidaksesuaian dengan kriteria proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3).
    (5) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf c terpenuhi, kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi memberitahukan persetujuan permohonan kepada Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
    (6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditembuskan kepada Kepala Otorita, Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dan menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan.
    (7) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf d terpenuhi, kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi menyampaikan permintaan perbaikan permohonan kepada Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
    (8) Wajib Pajak harus menyampaikan perbaikan permohonan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah hasil penelitian diterima oleh Wajib Pajak.
    (9) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak.
    (10) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c atau huruf b dan huruf d terpenuhi, kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi menyampaikan pemberitahuan melalui Sistem OSS bahwa atas permohonan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut.
    (11) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dan kriteria proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3).
       
    Pasal 102
    (1) Dalam hal kegiatan Penelitian dan Pengembangan dilakukan melalui kerja sama antara satu atau lebih Wajib Pajak, dan masing-masing Wajib Pajak menanggung sebagian atau seluruh biaya Penelitian dan Pengembangan, Wajib Pajak yang melakukan kerja sama harus membuat 1 (satu) proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan bersama.
    (2) Proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memuat kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) juga harus mencantumkan rencana kegiatan dan biaya yang ditanggung oleh masing-masing Wajib Pajak yang bekerja sama.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) harus disampaikan oleh masing-masing Wajib Pajak yang melakukan kerja sama kepada kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melalui Sistem OSS.
    (4) Besarnya tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) untuk masing-masing Wajib Pajak ditentukan berdasarkan:
      a. akumulasi biaya Penelitian dan Pengembangan yang ditanggung oleh masing-masing Wajib Pajak; dan
      b. persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b, sesuai kepemilikan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT dan/atau kondisi mencapai tahap Komersialisasi dari masingmasing Wajib Pajak.
    (5) Tata cara penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100.
       
    Paragraf 6
    Prosedur Pemanfaatan
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 103
    (1) Untuk dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b, Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan kepada kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melalui Sistem OSS.
    (2) Penyampaian pemberitahuan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri bukti dukung berupa:
      a. bukti bahwa Penelitian dan Pengembangan telah memperoleh hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT; dan/atau  
      b. bukti mencapai tahap Komersialisasi dapat berupa surat izin edar, invois, dan foto produk hasil penelitian dan pengembangan.
    (3) Atas pemberitahuan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melakukan penelitian kesesuaian antara fokus dan tema dalam permohonan yang telah disetujui dan realisasi kegiatan Penelitian dan Pengembangan dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja.
    (4) Dalam melakukan penelitian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi, berkoordinasi dengan Kepala Otorita dan menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan yang dimohonkan.
    (5) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
      a. Wajib Pajak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto; atau
      b. Wajib Pajak tidak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto.
    (6) Hasil penelitian berupa Wajib Pajak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a paling sedikit memuat:
      a. besaran persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dimanfaatkan Wajib Pajak; dan
      b. Tahun Pajak saat Wajib Pajak dapat mulai memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto.
    (7) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi kepada Wajib Pajak dengan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kepala Otorita, dan menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan yang dimohonkan melalui Sistem OSS.
    (8) Dalam hal hasil penelitian berupa Wajib Pajak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi memberitahukan pemanfaatan disetujui kepada Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
    (9) Dalam hal hasil penelitian berupa Wajib Pajak tidak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, pemberitahuan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak.
         
    Paragraf 7
    Kewajiban bagi Wajib Pajak yang Memanfaatkan
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 104
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (5) wajib menyampaikan laporan biaya Penelitian dan Pengembangan untuk setiap Tahun Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak,
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan untuk setiap Tahun Pajak sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    Pasal 105
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (8) wajib menyampaikan laporan penghitungan pemanfaatan pengurangan Penghasilan Bruto untuk setiap Tahun Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dan Kepala Otorita.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 106
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1).
       
    Pasal 107
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) wajib disampaikan paling lambat:
      a. pada batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak yang bersangkutan; atau
      b. bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak yang bersangkutan dalam hal Wajib Pajak menyampaikan surat pemberitahuan sebelum batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) wajib disampaikan paling lambat:
      a. pada batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto; atau
      b. bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dalam hal Wajib Pajak menyampaikan surat pemberitahuan sebelum batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan:
      a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2); atau
      b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2),
      kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak.
    (4) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan:
      a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2); atau
      b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2),
    (5) Berdasarkan surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) atau Pasal 105 ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari
       
    Paragraf 8
    Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk Melakukan Koreksi
    Tambahan Pengurangan Penghasilan
       
    Pasal 108
       
    (1) Dalam hal Wajib Pajak:
      a. tidak memperoleh pemberitahuan persetujuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (5);
      b. tidak memperoleh pemberitahuan dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (8);
      c. tidak menyampaikan laporan kegiatan dan biaya Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) setelah dilakukan teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (4);
      d. tidak menyampaikan laporan penghitungan pemanfaatan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) setelah dilakukan teguran kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (4); dan/atau
      e. tidak melaporkan besaran dan jenis biaya Penelitian dan Pengembangan dengan benar,
      namun membebankan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b yang telah dibebankan oleh Wajib Pajak.
    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. wajib membayar Pajak Penghasilan yang terutang terhitung mulai saat Wajib Pajak melakukan pelanggaran; dan
      b. dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Paragraf 9
    Jangka Waktu Pemberian
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 109
    (1) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b diberikan atas biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara sampai dengan tahun 2035.
    (2) Penerapan pemanfaatan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b dilakukan sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Bagian Keenam
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Sumbangan
    dan/atau Biaya Pembangunan Fasilitas Umum, Fasilitas
     
    Paragraf 1
    Subjek, Bentuk Fasilitas, dan Kriteria untuk Memperoleh
    Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 110
    Wajib Pajak dalam negeri yang memberikan sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba di wilayah Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f.
     
    Pasal 111
    (1) Fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 diberikan paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari jumlah sumbangan dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
    (2) Pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 200% (dua ratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pengurangan Penghasilan Bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah sumbangan dan/atau biaya yang diberikan; dan
      b. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 100% (seratus persen) dari jumlah sumbangan dan/atau biaya yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
       
    Pasal 112
    (1) Sumbangan dan/atau biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dikurangkan dari Penghasilan Bruto dengan syarat:
      a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
      b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan dan/atau biaya diberikan;
      c. didukung dengan bukti yang sah; dan
      d. mendapat persetujuan teknis dan spesifikasi dari Otorita Ibu Kota Nusantara, dalam hal sumbangan diberikan dalam bentuk barang dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba
    (2) Bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
      a. bukti transfer perbankan;
      b. bukti penerimaan barang yang diterbitkan oleh Kepala Otorita;
      c. berita acara serah terima penyelesaian proyek yang diterbitkan oleh Kepala Otorita; atau
      d. dokumen lain yang terkait dengan pemberian sumbangan dan/atau biaya yang diterbitkan oleh Kepala Otorita.
    (3) Selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus memiliki surat keterangan fiskal secara otomasi.
    (4) Tata cara untuk memperoleh surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.
    (5) Sumbangan dan/atau biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto bagi pihak pemberi dalam hal sumbangan dan/atau biaya pembangunan digunakan untuk membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba merupakan kewajiban dari kegiatan usaha pemberi sumbangan dan/atau biaya di wilayah Ibu Kota Nusantara.
       
    Paragraf 2
    Bentuk Sumbangan dan/atau Biaya Pembangunan Fasilitas
    Umum, Fasilitas Sosial, dan/atau Fasilitas Lainnya yang
    Bersifat Nirlaba yang Memperoleh Fasilitas
    sifat Nirlaba yang Memperoleh Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
     
    Pasal 113
    (1) Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 diberikan dalam bentuk:
      a. uang;
      b. barang; dan/atau
      c. biaya
      untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
    (2) Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan jumlah nominal uang yang diberikan.
    (3) Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan:
      a. nilai perolehan, untuk barang yang disumbangkan belum disusutkan;
      b. nilai buku fiskal, untuk barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
   
   
    Pasal 114
    (1) Untuk memperoleh fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan kepada Kepala Otorita melalui Sistem OSS.
    (2) Dalam hal Sistem OSS belum tersedia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara luring kepada Kepala Otorita dengan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan paling lambat sebelum sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diserahkan.
    (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) paling sedikit memuat:
      a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pemberi sumbangan dan/atau biaya;
      b. bentuk sumbangan dan/atau biaya;
      c. perkiraan nilai sumbangan dan/atau biaya; dan
      d. rencana jenis dan perkiraan waktu pemberian sumbangan dan/atau biaya.
       
    Pasal 115
    (1) Pemberian sumbangan dalam bentuk biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui kerja sama antara satu atau lebih Wajib Pajak.
    (2) Dalam hal pemberian sumbangan dalam bentuk biaya pembangunan dilakukan melalui kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing Wajib Pajak menanggung nilai sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (4) berdasarkan kesepakatan kerja sama.
    (3) Masing-masing Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) atau ayat (2).
    (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selain memuat hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4) juga harus dilengkapi dengan dokumen kesepakatan kerja sama.
    (5) Dokumen kesepakatan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:
      a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing Wajib Pajak;
      b. perkiraan nilai keseluruhan sumbangan dan/atau biaya; dan
      c. perkiraan nilai sumbangan dan/atau biaya yang menjadi bagian masing-masing Wajib Pajak.
         
    Pasal 116
    (1) Kepala Otorita menerbitkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak:
      a. yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat memberikan sumbangan dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, dalam hal sesuai dengan kebutuhan pengembangan Ibu Kota Nusantara; dan/atau
      b. yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat memberikan sumbangan dan/atau biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b atau huruf c atas penerimaan sumbangan dalam bentuk barang dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba, setelah melakukan verifikasi kesesuaian antara rencana pemberian sumbangan dengan kebutuhan pengembangan Ibu Kota Nusantara,
      dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) atau ayat (2) memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan ayat (4).
    (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) atau ayat (2):
      a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan ayat (4);
      b. rencana sumbangan dalam bentuk uang tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan Ibu Kota Nusantara; atau
      c. rencana sumbangan dalam bentuk barang dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan Ibu Kota Nusantara,
      Kepala Otorita memberikan pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses lebih lanjut.
    (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) atau ayat (2) diterima.
    (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak:
      a. melalui Sistem OSS untuk permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1); atau
      b. secara luring yang ditentukan oleh Kepala Otorita dengan ditembuskan kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, untuk permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2).
       
    Paragraf 4
    Pemanfaatan Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto
       
    Pasal 117
    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dapat memanfaatkan fasilitas atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 sepanjang telah merealisasikan:
      a. pemberian sumbangan dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a;
      b. pemberian sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b; atau
      c. pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c.
    (2) Bukti realisasi pemberian sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: 
      a. bukti transfer perbankan; atau 
      b. berita acara serah terima: 
        1. sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b; dan/atau
        2. sumbangan dalam bentuk biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya dalam hal bentuk sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c,
      yang dikeluarkan oleh Kepala Otorita setelah Kepala Otorita melakukan verifikasi kesesuaian antara realisasi sumbangan dengan rencana pemberian sumbangan serta menentukan kewajaran nilai sumbangan.
    (3) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita dapat meminta bantuan tenaga ahli dan/atau pihak lainnya. 
    (4) Bukti realisasi pemberian sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampirkan dalam surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak pemanfaatan fasilitas atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110.
         
    Pasal 118
    (1) Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto dengan ketentuan sebagai berikut:
      a. pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a dilakukan pada Tahun Pajak sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dikeluarkan; dan
      b. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf b dilakukan pada Tahun Pajak sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 diserahkan kepada Kepala Otorita.
    (2) Tahun Pajak sumbangan dan/atau biaya pembangunan diserahkan kepada Kepala Otorita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan:
      a. tanggal transfer dana melalui perbankan, dalam hal sumbangan dan/atau biaya pembangunan diberikan dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a;
      b. tanggal penerimaan barang, dalam hal sumbangan dan/atau biaya pembangunan diberikan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b; dan/atau
      c. tanggal serah terima fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba, dalam hal sumbangan dan/atau biaya pembangunan diberikan dalam bentuk biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c.
       
    Pasal 119
    Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan bahwa tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf b tidak dapat diberikan dalam hal Wajib Pajak:
    a. tidak menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) atau ayat (2); atau 
    b. tidak melaporkan bentuk dan nilai sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dengan benar.
         
    Paragraf 5
    Kewajiban Otorita Ibu Kota Nusantara
       
    Pasal 120
    (1) Kepala Otorita harus menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau biaya kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal melalui Sistem OSS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun diterimanya sumbangan dan/atau biaya. 
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
      a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat pemberi sumbangan dan/atau biaya;
      b. nomor dan tanggal pemberitahuan persetujuan fasilitas;
      c. nomor dan tanggal bukti penerimaan sumbangan dan/atau biaya;
      d. bentuk dan nilai sumbangan dan/atau biaya;
      e. tanggal penyerahan sumbangan dan/atau biaya; dan
      f. penggunaan sumbangan dan/atau biaya.
    (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 121
    (1) Kepala Otorita harus melakukan pencatatan penerimaan sumbangan dan/atau pencatatan menjadi barang milik negara/daerah atas sumbangan yang diterima.
    (2) Tata cara pencatatan penerimaan sumbangan dan/atau pencatatan menjadi barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Kepala Otorita dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara/daerah.
         
    Paragraf 6
    Jangka Waktu Pemberian Fasilitas
    Pengurangan Penghasilan Bruto
         
    Pasal 122
    (1) Fasilitas pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 diberikan sampai dengan tahun 2035.
    (2) Batas waktu sampai dengan tahun 2035 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan: 
      a. tanggal transfer dana melalui perbankan untuk sumbangan dalam bentuk uang;
      b. tanggal berita acara serah terima barang dari Otorita Ibu Kota Nusantara untuk sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk barang; atau
      c. tanggal berita acara serah terima proyek pembangunan dan penyerahan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara untuk sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk biaya pembangunan.
           
    Bagian Ketujuh
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
    dan Bersifat Final
       
    Paragraf 1
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tertentu
       
    Pasal 123
    (1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai sehubungan dengan pekerjaan wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh Pemberi Kerja sesuai ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
    (2) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima Pegawai tertentu diberikan fasilitas berupa Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g.
    (3) Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pegawai yang:
      a. menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja tertentu;
      b. bertempat tinggal di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan
      c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (4) Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: 
      a. Pegawai Tetap; dan/atau
      b. Pegawai Tidak Tetap.
           
    Paragraf 2
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara,
    Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
    Anggota Kepolisian Republik Indonesia
           
    Pasal 124
    (1) Penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang:
      a. diterima oleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Republik Indonesia; dan
      b. telah dikenai Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final,
      diberikan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2).
    (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3). 
    (3) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dalam hal:
      a. penerima penghasilan merupakan pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Republik Indonesia; 
      b. penghasilan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
      c. Pajak Penghasilan Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
         
    Paragraf 3
    Kewajiban Pegawai Tertentu yang Memperoleh
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 di Ibu Kota Nusantara
     
    Pasal 125
    (1) Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (2) Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan penghasilan yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dalam surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sebagai penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final.
    (3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tertentu:
      a. selain penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan; dan/atau
      b. penghasilan yang berasal dari luar wilayah Ibu Kota Nusantara,
      tetap dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
       
    Paragraf 4
    Kriteria Pemberi Kerja Tertentu
       
    Pasal 126
    Pemberi Kerja tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) huruf a merupakan Pemberi Kerja yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
    a. bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau bertempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara;
    b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara atau memiliki identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
    c. telah menyampaikan surat pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak dan telah mendapatkan validasi oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
    d. telah menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.
         
    Paragraf 5
    Tata Cara Permohonan Pemberitahuan Pemanfaatan
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
    dan Bersifat Final
       
    Pasal 127
    (1)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dilakukan oleh Pemberi Kerja dengan status Wajib Pajak pusat, untuk:
      a. pusat yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan; dan/atau
      b. cabang yang bertempat kegiatan usaha,
      di Ibu Kota Nusantara.
    (2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c paling sedikit memuat keterangan berupa:
      a.
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha Pemberi Kerja; dan
      b.
nomor Perizinan Berusaha di wilayah Ibu Kota Nusantara yang diterbitkan oleh Sistem OSS, dalam hal Pemberi Kerja merupakan Pelaku Usaha.
    (3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c disampaikan oleh Pemberi Kerja melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (4)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c harus diisi dengan data yang lengkap dan valid sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
    (5)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 128
    (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan surat:
      a. persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final dalam hal Pemberi Kerja memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a sampai dengan huruf c; atau
      b. penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final dalam hal Pemberi Kerja tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a sampai dengan huruf c.
    (2) Surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final dan surat penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c disampaikan secara lengkap dan benar.
    (3) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk menerbitkan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar.
    (4) Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2), mulai dimanfaatkan Wajib Pajak sejak masa pajak surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan.
    (5) Surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final dan surat penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Paragraf 6
    Penerapan Pemotongan Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21
    Ditanggung Pemerintah dan Bersifat Final
         
    Pasal 129
    (1) Penghasilan Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) yang dipotong oleh Pemberi Kerja.
    (2)
Penghasilan Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
      a.
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; atau
      b. penghasilan Pegawai Tidak Tetap termasuk tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
    (3) Ketentuan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
    (4)
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai.
    (5)
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
         
    Pasal 130
    (1)
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
    (2)
Bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan mencantumkan fasilitas ditanggung Pemerintah.
    (3) Pemberi Kerja wajib memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pegawai tertentu penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3).
    (4) Dalam hal Pegawai tertentu:
      a. memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3); dan
      b. pindah bekerja atau dipindahtugaskan ke Pemberi Kerja yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126,
      bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja sebelumnya yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah Pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau dipindahtugaskan.
    (5) Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana tercantum dalam bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dari Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ditanggung Pemerintah dan pengenaannya tidak bersifat final.
    (6) Dalam hal Pegawai tertentu:
      a. memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3); dan
      b. pindah atau dipindahtugaskan dari Pemberi Kerja yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ke Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126,
      bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah Pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau dipindahtugaskan ke Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.
    (7) Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana tercantum dalam bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dari Pemberi Kerja yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditanggung Pemerintah dan bersifat final.
    (8) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 kepada Pegawai Tidak Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (4) huruf b setiap kali melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
    (9) Apabila dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan dari 1 (satu) Pemberi Kerja, bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
    (10) Dalam hal Pemberi Kerja yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final menyampaikan surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final tidak dapat dikembalikan dan tidak dapat dikompensasikan.
    (11) Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final untuk Pegawai Tetap yang telah dipotong dan diberikan fasilitas dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) Tahun Pajak, maka kelebihan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final tidak dikembalikan kepada Pegawai Tetap bersangkutan.
       
    Pasal 131
   
Pemberi Kerja wajib melaporkan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (1) dalam surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Paragraf 7
    Kewajiban bagi Wajib Pajak yang Memanfaatkan
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
    dan Bersifat Final
       
    Pasal 132
    (1) Pemberi Kerja wajib menyampaikan laporan realisasi Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan data yang lengkap dan valid sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, paling sedikit memuat:
      a. Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha dan nama Pemberi Kerja;
      b. Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama Pegawai yang menerima fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final;
      c. jumlah Penghasilan Bruto yang diterima Pegawai; dan
      d. jumlah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final.
    (3) Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemberi Kerja yang telah mendapatkan persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf a.
    (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 133
    (1) Pemberi Kerja wajib menyampaikan laporan realisasi Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
    (2) Pemberi Kerja yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) untuk masa pajak yang bersangkutan.
    (3) Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang untuk masa pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diterima atau diperoleh Pegawai yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3), bersifat final.
       
      Pasal 134
    (1) Pemberi Kerja dapat menyampaikan 1 (satu) kali pembetulan atas laporan realisasi Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1).
    (2) Pembetulan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
      Pasal 135
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2)
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar.
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d.
         
      Pasal 136
    (1) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) dan ayat (4), kepala kantor pelayanan pajak menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak.
    (2) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 132 ayat (2) dan ayat (4), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar menerbitkan surat teguran tertulis kedua.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menindaklanjuti surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan surat teguran tertulis kedua, kepala kantor pelayanan pajak melakukan pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
         
    Paragraf 8
    Tata Cara Pengawasan, Pembatalan, dan Pencabutan
    Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
    dan Bersifat Final
         
    Pasal 137
    (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang:
      a. melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan
      b. menerbitkan surat pembatalan atau surat pencabutan atas surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf a setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar.
    (3) Penerbitan surat pembatalan atau surat pencabutan atas surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara jabatan oleh kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar setelah melakukan penelitian atas:
      a. surat pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c yang diisi dengan data yang tidak lengkap, tidak valid, dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
      b. Pemberi Kerja yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b.
    (4) Dalam hal Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar pada kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya selain meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara, namun memiliki cabang atau tempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara, kegiatan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak dimaksud, dilakukan sebagai berikut:
      a. kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar dapat menyampaikan permintaan bantuan kepada kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara untuk melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan; dan/atau
      b. kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mengusulkan untuk menerbitkan surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar berdasarkan hasil penelitian dan/atau pengawasan.
    (5) Surat pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kekeliruan dalam penerbitan surat persetujuan.
    (6) Kekeliruan dalam penerbitan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terjadi dalam hal diketahui bahwa tidak seharusnya diterbitkan surat persetujuan karena Wajib Pajak:
      a. mengisi pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dengan data yang tidak lengkap, tidak valid, dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
      b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b.
    (7) Surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam hal di kemudian hari diketahui bahwa berdasarkan hasil penelitian Wajib Pajak yang semula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b menjadi tidak lagi memenuhi kriteria dimaksud.
    (8) Surat pembatalan dan surat pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku sejak Wajib Pajak:
      a. mengisi pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dengan data yang tidak lengkap, tidak valid, dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
      b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b.
    (9) Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan atau surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang untuk masa pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, sejak Wajib Pajak:
      a. mengisi pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dengan data yang tidak lengkap, tidak valid, dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
      b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b.
    (10) Surat pembatalan dan surat pencabutan atas surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Paragraf 9
      Jangka Waktu Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 
      Ditanggung Pemerintah dan Bersifat Final
         
    Pasal 138
    Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) berlaku sampai dengan masa pajak Desember tahun 2035.
         
    Paragraf 10
    Pertanggungjawaban Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21
    Ditanggung Pemerintah dan Bersifat Final
         
    Paragraf 139
    (1) Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) merupakan belanja subsidi Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.
    (2)

Menteri sebagai pengguna anggaran bagian anggaran bendahara umum negara menetapkan pimpinan pada unit di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki tugas dan fungsi penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang potensi, kepatuhan, dan penerimaan selaku kuasa pengguna anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah. 

    (3)

Pimpinan pada unit di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki tugas dan fungsi penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang potensi, kepatuhan, dan penerimaan selaku kuasa pengguna anggaran memerintahkan kepada pejabat pembuat komitmen dan pejabat penanda tangan surat perintah membayar untuk: 

      a.

membuat surat permintaan pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah; 

      b.

membuat surat perintah membayar; dan 

      c.

menyampaikan surat perintah membayar kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk mendapatkan surat perintah pencairan dana sebagai pelaksanaan pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja negara untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah. 

    (4)

Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan bersifat final atas penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan yang diterima atau diperoleh Pegawai tertentu di wilayah Ibu Kota Nusantara dilaksanakan oleh pimpinan pada unit di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki tugas dan fungsi penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang potensi, kepatuhan, dan penerimaan selaku unit akuntansi kuasa pengguna anggaran atas belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah. 

         
   

Bagian Kedelapan 

   

Fasilitas Pajak Penghasilan Final 0% (Nol Persen) atas 

   

Penghasilan dari Peredaran Bruto Usaha Tertentu pada Usaha 

   

Mikro, Kecil, dan Menengah 

     
   

Paragraf 1 

   

Persyaratan Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan 

   

Final 0% (Nol Persen) 

         
   

Pasal 140 

    (1)

Wajib Pajak dalam negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara dengan nilai kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan memenuhi persyaratan tertentu dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dalam jangka waktu tertentu. 

    (2)

Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai atas penghasilan dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara. 

    (3)

Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk penghasilan: 

      a.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; 

      b.

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; 

      c.

dari jasa yang dilakukan selain di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau dimanfaatkan oleh pengguna jasa yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan selain di wilayah Ibu Kota Nusantara; 

      d.

yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, kecuali penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; dan 

      e.

yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan. 

    (4)

Penghasilan dari peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penghasilan dari kegiatan industri dan/atau penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan di wilayah Ibu Kota Nusantara. 

    (5)

Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

      a.

bertempat tinggal atau bertempat kedudukan, dan/atau memiliki cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara; 

      b.

melakukan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara; 

      c.

terdaftar sebagai Wajib Pajak di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara atau memiliki identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; 

      d.

telah melakukan Penanaman Modal di wilayah Ibu Kota Nusantara, serta memiliki kualifikasi usaha mikro, kecil, dan menengah yang diterbitkan oleh instansi berwenang; dan 

      e.

telah mengajukan permohonan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada huruf d dan mendapatkan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

    (6)

Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) tempat usaha atau cabang yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara, penentuan batasan: 

      a.

nilai Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan 

      b.

bagian peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), 

     

ditentukan berdasarkan gunggungan dari seluruh lokasi tempat kegiatan usaha atau cabang Wajib Pajak yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara. 

    (7)

Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal persetujuan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e sampai dengan tahun 2035. 

    (8)

Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib: 

      a.

menyelenggarakan pembukuan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan; atau 

      b.

melakukan pencatatan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, 

     

antara penghasilan yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapatkan fasilitas dimaksud. 

    (9)

Dalam hal pada saat melakukan pembukuan terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional. 

           
   

Paragraf 2 

   

Tata Cara Penerapan, Permohonan, dan Penerbitan 

   

Surat Persetujuan 

           
    Pasal 141
    (1)

Direktur Jenderal Pajak berwenang: 

      a.

melakukan penelitian terhadap permohonan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1); dan 

      b.

menerbitkan surat persetujuan atau surat penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1). 

    (2)

Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar. 

         
   

Pasal 142 

    (1)

Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) Wajib Pajak berstatus pusat harus menyampaikan permohonan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak. 

    (2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penanaman Modal di wilayah Ibu Kota Nusantara. 

    (3)

Penanaman Modal di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhitung sejak tanggal diterbitkannya Perizinan Berusaha oleh Sistem OSS. 

    (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat keterangan berupa:
      a. Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;
      b. alamat tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan
      c. nomor dan tanggal Perizinan Berusaha di wilayah Ibu Kota Nusantara yang diterbitkan oleh Sistem OSS.
    (5) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar melakukan penelitian atas pemenuhan persyaratan:
      a. pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan ayat (5); dan
      b. telah menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (6) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar menerbitkan:
      a. surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final, dalam hal Wajib Pajak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5); atau
      b. surat penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
        paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
    (7) Dokumen berupa:
      a. surat permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
      b. surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a; dan
      c. surat penolakan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b,
      dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
           
    Pasal 143
    (1) Pemotong atau pemungut pajak melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan persetujuan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) untuk setiap transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan.
    (2) Pemotong atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan persetujuan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) atas transaksi:
      a. impor; dan/atau
      b. pembelian barang.
    (3) Pemotong atau pemungut pajak menerbitkan:
      a. bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dan nilai Pajak Penghasilan terutang nihil atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
      b. bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan dengan nilai Pajak Penghasilan nihil atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
      terhadap Wajib Pajak yang menyerahkan salinan surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (6) huruf a.
    (4) Pemotong atau pemungut pajak harus memastikan kebenaran surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
    (5) Contoh penerapan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 144
    (1) Atas penghasilan dari usaha yang:
      a. dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (3);
      b. diterima atau diperoleh pada lokasi usaha selain yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan/atau
      c. diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara yang berasal dari bagian peredaran bruto yang melebihi batasan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
      dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (2) Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (6) huruf a, atas penghasilan dari peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
      a. dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi atau tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan; dan
      b. tidak diperhitungkan untuk menentukan besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam hal Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan pada lokasi usaha selain yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (3) Contoh penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Paragraf 3
    Tata Cara Pelaporan
         
    Pasal 145
    (1) Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) wajib melaporkan peredaran bruto usaha dan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam:
      a. surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan unifikasi; dan
      b. surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (2) Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi seluruh Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) termasuk dari transaksi dengan pemotong atau pemungut Pajak.
    (4) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
    (5) Wajib Pajak yang telah menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah melaporkan surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan dan/atau tidak memiliki kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan pada masa pajak yang bersangkutan.
    (6) Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat sebelum surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan disampaikan.
    (7) Laporan :
      a. peredaran bruto usaha dan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
      b. realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 146
    (1) Dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1).
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar.
    (3) Pengawasan kepatuhan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2).
         
    Pasal 147
    (1) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (7) huruf b, kepala kantor pelayanan pajak menerbitkan surat teguran tertulis kepada Wajib Pajak.
    (2) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak tetap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 145 ayat (7) huruf b, kepala kantor pelayanan pajak menerbitkan surat teguran tertulis kedua.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menindaklanjuti surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan surat teguran tertulis kedua, kepala kantor pelayanan pajak melakukan pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
         
    Paragraf 4
    Tata Cara Pembatalan atau Pencabutan Surat Persetujuan
         
    Pasal 148
    (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang:
      a. melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      b. menerbitkan surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (6) huruf a setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar.
    (3) Dalam hal Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar pada kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya selain meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara, namun memiliki cabang atau tempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara, kegiatan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak dimaksud, dilakukan sebagai berikut:
      a. kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar dapat menyampaikan permintaan bantuan kepada kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara untuk melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan; dan/atau
      b. kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mengusulkan untuk menerbitkan surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar berdasarkan hasil penelitian dan/atau pengawasan.
         
    Pasal 149
    (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a diketahui bahwa terdapat data yang menunjukkan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan/atau ayat (5), kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar dapat menerbitkan surat pembatalan atau surat pencabutan atas surat persetujuan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b.
    (2) Surat pembatalan atas surat persetujuan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b diterbitkan dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kekeliruan dalam penerbitan surat persetujuan.
    (3) Kekeliruan dalam penerbitan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi dalam hal diketahui bahwa Wajib Pajak tidak seharusnya diterbitkan surat persetujuan karena tidak memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan/atau ayat (5).
    (4) Surat pencabutan atas surat persetujuan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b diterbitkan dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Wajib Pajak yang semula memenuhi persyaratan untuk dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan/atau ayat (5) menjadi tidak lagi memenuhi kriteria dimaksud.
    (5) Surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b berlaku sejak saat tidak terpenuhinya persyaratan untuk dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan/atau ayat (5).
    (6) Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terhitung sejak saat tidak terpenuhinya persyaratan sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan/atau ayat (5).
    (7) Surat pembatalan atau pencabutan atas surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
         
         
    Bagian Kesembilan
    Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang
    Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dari Pengalihan Hak atas
    Tanah dan/atau Bangunan kepada Pembeli yang Merupakan
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
    di Ibu Kota Nusantara yang Kesatu
         
    Pasal 150
    (1) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    (2) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengalihan melalui perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
    (3) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terutang
    (4) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pembeli yang merupakan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara yang kesatu.
    (5) Dalam hal tanah dan/atau bangunan dialihkan kembali oleh pihak pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada pihak lain, atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pihak lain tersebut tidak diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    (6) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan penerbitan surat keterangan bebas.
    (7) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035.
    (8) Contoh penerapan pengurangan Pajak Penghasilan atas penghasilan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 151
    (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang:
      a. menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (6); dan
      b. menerbitkan surat pencabutan atas surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang telah diterbitkan; dan
      c. melakukan pembinaan, pengawasan, penelitian, dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada:
      a. kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar; atau
      b. kepala kantor pelayanan pajak badan dan orang asing, untuk subjek pajak luar negeri.
         
      Pasal 152
    (1) Untuk dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan kepada kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) secara elektronik melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (2) Permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Wajib Pajak untuk setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.
    (3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelitian atas pemenuhan persyaratan:
      a. pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (4);
      b. pelaksanaan kewajiban penyampaian:
        1. surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
        2. surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir,
        yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
      c. dilengkapi dengan dokumen berupa:
        1. surat pernyataan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak mengalihkan tanah dan/atau bangunan kepada pembeli yang merupakan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara yang kesatu; dan
        2. salinan paspor, untuk subjek pajak luar negeri.
    (4) Dokumen berupa:
      a. surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
      b. surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 1,
      dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 153
    (1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (3), kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2):
      a. menerbitkan surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (6), dalam hal permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (3); atau
      b. tidak menindaklanjuti permohonan dimaksud disertai informasi mengenai alasan permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (3),
      dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima lengkap.
    (2) Dokumen berupa surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 154
    (1) Kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) dapat menerbitkan surat pencabutan atas surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (6) yang telah diterbitkan, secara jabatan dengan kriteria pencabutan sebagai berikut:
      a. tanah dan/atau bangunan yang dialihkan Wajib Pajak tidak berlokasi di Ibu Kota Nusantara; dan/atau
      b. tanah dan/atau bangunan dialihkan kembali oleh pihak pembeli namun:
        1. pihak pembeli telah memperoleh surat keterangan bebas; dan
        2. seharusnya tidak diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (5).
    (2) Dalam hal Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar pada kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) yang wilayah kerjanya selain meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara, namun memiliki cabang atau tempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara, kegiatan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak dimaksud, dilakukan sebagai berikut:
      a. kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) dapat menyampaikan permintaan bantuan kepada kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara untuk melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan; dan/atau
      b. kepala kantor pelayanan pajak yang wilayahnya meliputi cabang atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mengusulkan untuk menerbitkan surat pencabutan atas surat keterangan bebas kepada kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) berdasarkan hasil penelitian dan/atau pengawasan.
    (3) Terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pencabutan atas surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terutang Pajak Penghasilan; dan
      b. Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang telah diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) wajib dibayar kembali dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terhitung sejak saat Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 152 ayat (3).
    (4) Surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    BAB IV
    FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN
    PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
         
    Bagian Kesatu
    Skema Fasilitas Perpajakan Pajak Pertambahan Nilai
    dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
         
      Pasal 155
    (1) Fasilitas perpajakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberikan di wilayah Ibu Kota Nusantara berupa:
      a. Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut; dan
      b. pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak.
    (2) Fasilitas perpajakan Pajak Pertambahan Nilai diberikan di Daerah Mitra berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut.
    (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang diberikan pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
         
    Pasal 156
    (1) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf a di wilayah Ibu Kota Nusantara, diberikan atas:
      a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis; dan/atau
      b. impor Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis.
    (2) Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
      a. bangunan baru berupa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang yang diserahkan kepada orang pribadi tertentu, badan tertentu, dan/atau kementerian/lembaga tertentu;
      b. kendaraan bermotor yang bernomor polisi terdaftar di wilayah Ibu Kota Nusantara, yang menggunakan teknologi battery electric vehicles yang diproduksi di dalam negeri yang diserahkan kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga; dan
      c. Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara.
    (3) Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Barang Kena Pajak yang diterima oleh Otorita Ibukota Nusantara yang:
      a. bersumber dari hibah berupa barang;
      b. berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan
      c. atas barang telah dilakukan register hibah sebelum dilakukannya penyerahan barang berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur tentang administrasi hibah.
    (4) Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
      a. jasa sewa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang yang diserahkan kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara;
      b. jasa konstruksi untuk pembangunan:
        1. infrastruktur/prasarana berupa:
          a) jalan, jembatan, bendungan, instalasi pengolahan air bersih;
          b) pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan;
          c) sistem penyediaan air minum;
          d) jaringan telekomunikasi;
          e) jaringan air/irigasi;
          f) jaringan energi;
          g) instalasi pengolahan sampah dan/atau limbah;
          h) gedung penitipan anak, gedung prasekolah, gedung pendidikan dan/atau pelatihan, termasuk gedung sekolah dan/atau gedung perguruan tinggi, berikut bangunan pendukungnya yang berada di dalam satu kompleks;
          i) gedung pemerintahan/lembaga, gedung kedutaan besar maupun perwakilan negara asing, dan/atau gedung yang didirikan oleh organisasi internasional, berikut bangunan pendukungnya yang berada di dalam satu kompleks;
          j) bandar udara, pelabuhan, terminal, jaringan kereta api;
          k) rumah sakit/klinik dan laboratorium kesehatan termasuk tempat pengobatan alternatif;
          l) bangunan infrastruktur lainnya dapat berupa:
            1) rumah/tempat peribadatan;
            2) tempat pemakaman umum, rumah duka, dan krematorium;
            3) panti sosial;
            4) tempat olah raga dan pendukung olah raga lainnya;
            5) pengolahan gas alam;
            6) fasilitas/instalasi pengaturan banjir, drainase, dan irigasi;
            7) fasilitas/instalasi navigasi dan lalu lintas/jalan air;
            8) perpustakaan;
            9) fasilitas pendukung transportasi, termasuk tempat parkir bersama dan stasiun pengisian daya untuk kendaraan listrik;
            10) taman, tempat bermain, dan fasilitas rekreasi keluarga;
            11) prasarana untuk meeting, incentives, conventions and exhibitions (MICE);
            12) pusat penelitian;
            13) pusat perbelanjaan, termasuk pasar tradisional dan pasar modern;
            14) bangunan permanen atau tidak permanen pendukung kegiatan konstruksi, termasuk tempat tinggal pekerja konstruksi; dan
            15) bangunan publik yang diperuntukkan kepentingan umum non komersial; dan
        2. rumah tapak, rumah susun, kantor, toko, dan/atau gudang; dan
      c. jasa pengolahan sampah dan/atau limbah atas sampah dan/atau limbah yang dihasilkan di wilayah Ibu Kota Nusantara yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha pada klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia:
        1. pengelolaan dan pembuangan air limbah tidak berbahaya;
        2. pengelolaan dan pembuangan air limbah berbahaya;
        3. pengelolaan dan pembuangan limbah dan sampah tidak berbahaya;
        4. pengelolaan dan pembuangan limbah berbahaya; dan/atau
        5. aktivitas remediasi dan pengelolaan limbah dan sampah lainnya.
    (5) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga diberikan atas:
      a. impor oleh; dan/atau
      b. penyerahan kepada,
      Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di wilayah Ibu Kota Nusantara berupa mesin dan peralatan pabrik, baik mesin/peralatan utama maupun mesin/peralatan pendukung untuk menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (6) Fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf b diberikan atas penyerahan kelompok hunian mewah kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara.
    (7) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2) diberikan atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis berupa jasa konstruksi sehubungan dengan pembangunan di Daerah Mitra kepada Wajib Pajak yang:
      a. mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan berupa Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); dan
      b. bergerak di bidang usaha:
        1. pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
        2. pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
        3. pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
        4. pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan/atau
        5. pembangunan dan penyediaan air bersih.
    (8) Pemberian fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan atas penyerahan jasa konstruksi untuk pembangunan prasarana fisik/instalasi bangunan berupa:
      a. bangunan untuk pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan dan bangunan untuk pengoperasiannya;
      b. bangunan jalan tol dan bangunan untuk pengoperasiannya;
      c. bangunan pelabuhan laut dan bangunan untuk pengoperasiannya;
      d. bangunan bandar udara dan bangunan untuk pengoperasiannya; dan
      e. bangunan penyediaan air bersih dan bangunan untuk pengoperasiannya.
    (9) Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7) dapat diberikan sampai dengan masa pajak Desember tahun 2035.
    (10) Pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan sampai dengan masa pajak Desember tahun 2035.
         
    Bagian Kedua
    Ketentuan Penerima Fasilitas Perpajakan Pajak Pertambahan
    Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
         
    Pasal 157
    (1) Orang pribadi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b yaitu orang pribadi yang merupakan:
      a. warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan nomor induk kependudukan; atau
      b. warga negara asing yang dibuktikan dengan tax identification number atau national identification number yang dikeluarkan oleh otoritas negara asing atau paspor.
    (2) Badan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b merupakan badan yang didirikan dan/atau berkedudukan di Indonesia yang dibuktikan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak.
    (3) Bukti Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal badan tertentu bukan merupakan subjek pajak.
    (4) Kementerian/lembaga tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dan kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b merupakan kementerian/lembaga pemerintah yang berkedudukan di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
    (5) Orang pribadi yang berkegiatan usaha, dan/atau bertugas di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a dan ayat (6) merupakan orang pribadi yang memiliki:
      a. Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara;
      b. surat keterangan dari Pemberi Kerja yang menyatakan bahwa orang pribadi bertugas di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      c. Perizinan Berusaha dari Sistem OSS yang menunjukkan kegiatan usaha orang pribadi di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      d. kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau surat izin mengemudi yang menunjukkan alamat yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      e. kartu mahasiswa atau kartu pelajar yang menunjukkan bahwa pihak penyewa merupakan mahasiswa atau pelajar aktif pada institusi pendidikan yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; atau
      f. surat pernyataan akan melakukan kegiatan usaha yang akan dilakukan orang pribadi di wilayah Ibu Kota Nusantara yang paling sedikit memuat informasi mengenai:
        1. rencana lokasi usaha;
        2. rencana nilai/kegiatan usaha; dan
        3. bidang usaha.
    (6) Badan dan/atau kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a dan ayat (6) merupakan badan yang berkegiatan usaha atau berkedudukan maupun kementerian/lembaga, yang berkedudukan di wilayah Ibu Kota Nusantara, yang dibuktikan dengan:
      a. Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau nomor identitas tempat kegiatan usaha yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara;
      b. Perizinan Berusaha dari Sistem OSS yang menunjukkan pendirian, keberadaan, dan/atau kedudukan atas badan di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      c. surat kontrak yang menunjukkan pelaksanaan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      d. akta pendirian yang ditandatangani notaris yang menunjukkan pendirian badan di wilayah Ibu Kota Nusantara; atau
      e. surat keterangan yang menunjukkan rencana pendirian, keberadaan, dan/atau kedudukan atas badan di wilayah Ibu Kota Nusantara yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan.
         
    Bagian Ketiga
    Kriteria Objek yang Diberikan Fasilitas Perpajakan Pajak
    Pertambahan Nilai
         
    Pasal 158
    (1) Rumah tapak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dan ayat (4) huruf a merupakan bangunan gedung berupa rumah tunggal atau rumah deret baik bertingkat maupun tidak bertingkat yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, tidak termasuk bangunan tempat tinggal yang sebagian atau seluruhnya dipergunakan sebagai toko atau kantor.
    (2) Satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dan ayat (4) huruf a merupakan satuan rumah susun yang berfungsi sebagai tempat hunian, tidak termasuk bangunan tempat tinggal yang sebagian atau seluruhnya dipergunakan sebagai toko atau kantor.
    (3) Bangunan berupa rumah tapak atau satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus:
      a. telah mendapatkan kode identitas rumah; dan
      b. diserahkan dalam kondisi siap huni:
        1. paling lama 2 (dua) tahun sejak diterima uang muka, dalam hal bangunan merupakan rumah tapak; atau
        2. paling lama 4 (empat) tahun sejak diterima uang muka, dalam hal bangunan merupakan satuan rumah susun.
    (4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atas penyerahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) huruf b merupakan bangunan yang memiliki harga jual paling rendah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    (5) Kepemilikan bangunan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepemilikan bangunan bagi warga negara asing.
    (6) Kode identitas rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan kode identitas atas rumah tapak dan satuan rumah susun yang disediakan melalui aplikasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau badan yang mengelola tabungan perumahan rakyat.
    (7) Penyerahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dibuktikan dengan berita acara serah terima yang ditandatangani oleh pembeli dan Pengusaha Kena Pajak penjual.
    (8) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atas penyerahan bangunan berupa rumah tapak dan/atau satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a berlaku ketentuan:
      a. pemanfaatan fasilitas bagi satu orang pribadi hanya berlaku atas penyerahan 1 (satu) rumah tapak atau 1 (satu) satuan rumah susun;
      b. pemanfaatan fasilitas bagi badan/kementerian/lembaga hanya berlaku atas penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun sehubungan dengan penyediaan rumah dinas/ tempat tinggal pegawai/karyawan, direksi, komisaris, tenaga ahli, tenaga kerja lepas dan/atau tenaga kerja lainnya; dan
      c. jumlah paling banyak penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam huruf b sebesar jumlah paling banyak pegawai/karyawan, direksi, komisaris, tenaga ahli, tenaga kerja lepas, dan/atau tenaga kerja lainnya dalam satu tahun, yang dipekerjakan di wilayah Ibu Kota Nusantara dan mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g.
    (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak berupa rumah toko atau rumah kantor.
         
    Pasal 159
    (1) Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b merupakan kendaraan yang:
      a. digerakkan dengan motor listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar;
      b. meliputi kendaraan angkutan pribadi maupun kendaraan angkutan umum;
      c. meliputi kendaraan roda dua, roda tiga, roda empat atau lebih dari empat;
      d. digunakan di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau wilayah lain di luar Ibu Kota Nusantara yang berada di Pulau Kalimantan; dan
      e. diserahkan oleh agen penjualan resmi kendaraan yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (2) Kendaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kendaraan yang diperuntukkan sebagai angkutan transportasi publik yang mendapat izin operasi di wilayah Ibu Kota Nusantara maupun yang mendapat izin operasi menghubungkan wilayah Ibu Kota Nusantara dengan wilayah di sekitarnya.
    (3) Agen penjualan resmi kendaraan yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan Pengusaha Kena Pajak di wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (4) Kendaraan yang diproduksi di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b yaitu kendaraan yang memenuhi kriteria tingkat komponen dalam negeri dengan ketentuan
      a. untuk kendaraan bermotor roda dua, roda tiga, dan roda empat penumpang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian yang mengatur mengenai peta jalan pengembangan dan ketentuan penghitungan nilai tingkat komponen dalam negeri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai; atau
      b. untuk kendaraan bermotor selain roda dua, roda tiga, dan roda empat penumpang sebagaimana dimaksud pada huruf a, memenuhi nilai tingkat komponen dalam negeri minimum 20% (dua puluh persen).
    (5) Kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
    (6) Dalam hal belum terdapat agen penjualan resmi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e di Ibu Kota Nusantara, atas penyerahan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b sampai dengan tahun 2030 dapat dilakukan oleh agen penjualan resmi kendaraan yang berada di luar wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (7) Dalam hal kendaraan diperoleh dari agen penjualan resmi di luar wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kendaraan harus sudah berada di Ibu Kota Nusantara paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak dilakukannya penyerahan yang dibuktikan dengan bukti pengiriman dan penerimaan kendaraan di Ibu Kota Nusantara.
    (8) Rekapitulasi dan salinan digital bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual terdaftar paling lama 4 (empat) bulan sejak dilakukannya penyerahan melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (9) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum tersedia, penyampaian dilakukan dengan penyampaian salinan kertas bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar.
    (10) Rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
      Pasal 160
    (1) Jasa pengolahan sampah dan/atau limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf c merupakan jasa pengolahan sampah dan/atau limbah:
      a. yang dihasilkan di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan
      b. pada instalasi pengolahan sampah dan/atau limbah yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia aktivitas remediasi dan pengelolaan limbah dan sampah lainnya.
    (3) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak hasil pengolahan sampah dan/atau limbah, atas penyerahan tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
         
    Bagian Keempat
    Tata Cara Pemberian Fasilitas Perpajakan
    Pajak Pertambahan Nilai
         
    Pasal 161
    (1) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut diberikan atas:
      a. penyerahan Barang Kena Pajak berupa bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a;
      b. penyerahan Barang Kena Pajak berupa kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b;
      c. penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a;
      d. penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf b;
      e. impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5);
      f. penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (7); dan
      g. penyerahan Barang Kena Pajak bersumber dari hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3),
      dengan menggunakan SKTD.
    (2) Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa pengolahan sampah dan/atau limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf c diberikan tanpa menggunakan SKTD.
    (3) Dikecualikan dari ketentuan penggunaan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e atas impor mesin dan/atau peralatan yang telah mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sesuai dengan Peraturan Menteri ini, diberikan tanpa menggunakan SKTD.
    (4) Untuk memanfaatkan fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimiliki oleh Pembeli dan/atau Penerima Jasa sebelum saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
    (5) Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi jasa yang terjadi sebelum penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut diberikan atas bagian Pajak Pertambahan Nilai yang belum dipungut.
    (6) Barang modal yang atas perolehannya diberikan fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1), dicatat di dalam lampiran surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan pada daftar harta atau bagian penyusutan dan amortisasi fiskal oleh Wajib Pajak.
    (7) Atas barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan keterangan “Barang Modal diberikan Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut” pada kolom catatan.
         
    Pasal 162
    (1) SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) diberikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak.
    (2) Dalam hal Otorita Ibu Kota Nusantara menerima Barang Kena Pajak yang bersumber dari hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3), SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara.
    (3) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan oleh:
      a. badan dan/atau orang pribadi sebagai Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) atau ayat (4);
      b. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5); atau
      c. Pengusaha Kena Pajak di Daerah Mitra yang menerima jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (7).
    (4) Dalam hal Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan:
      a. subjek pajak luar negeri;
      b. Pembeli atau Penerima Jasa yang tidak memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif sebagai Wajib Pajak sesuai ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
      c. Pembeli atau Penerima Jasa lainnya yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
      permohonan SKTD dapat dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa berdasarkan surat kuasa.
    (5) Surat kuasa penunjukan Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa sebagai pihak pemohon SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6) Permohonan SKTD yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sampai dengan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan telah tersedia.
    (7) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan permohonan oleh:
      a. pengguna anggaran;
      b. kuasa pengguna anggaran; atau
      c. pejabat lain yang ditunjuk oleh pengguna anggaran dan/atau kuasa pengguna anggaran dalam melaksanakan administrasi hibah dalam rangka proyek pemerintah di Otorita Ibu Kota Nusantara.
    (8) Pemohon SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai administrasi hibah.
         
    Pasal 163
    (1) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (2) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memuat informasi berupa:
      a. nama Pembeli, Penerima Jasa, atau Otorita Ibu Kota Nusantara penerima hibah;
      b. Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor identitas kependudukan Pembeli, Penerima Jasa, atau Otorita Ibu Kota Nusantara penerima hibah;
      c. alamat Pembeli, Penerima Jasa, atau Otorita Ibu Kota Nusantara penerima hibah;
      d. nama Pengusaha Kena Pajak penjual, Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, atau pemberi hibah kepada Otorita Ibu Kota Nusantara;
      e. Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak penjual, Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, atau pemberi hibah kepada Otorita Ibu Kota Nusantara; dan
      f. informasi tambahan lain:
        1. untuk permohonan SKTD atas penyerahan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a dapat berupa:
          a) titik koordinat lokasi bangunan;
          b) jenis bangunan;
          c) nilai transaksi pengalihan; dan
          d) tanggal rencana serah terima;
        2. untuk permohonan SKTD atas penyerahan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b dapat berupa:
          a) merek dan tipe dari kendaraan;
          b) nilai transaksi; dan
          c) tanggal transaksi atas perikatan;
        3. untuk permohonan SKTD atas penyerahan jasa sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a dapat berupa:
          a) alamat bangunan yang akan disewa;
          b) titik koordinat bangunan;
          c) nilai estimasi transaksi atau nilai yang akan dibayarkan dalam satu tahun; dan
          d) periode sewa;
        4. untuk permohonan SKTD atas penyerahan Barang Kena Pajak yang diterima oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3) dapat berupa:
          a) nama dan jenis barang;
          b) titik koordinat lokasi dan jenis bangunan;
          c) nilai transaksi pengalihan;
          d) tanggal rencana serah terima;
          e) nomor register hibah; dan
          f) tanggal register hibah.
        5. untuk permohonan SKTD atas penyerahan jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf b dan ayat (7) dapat berupa:
          a) jenis jasa;
          b) titik koordinat bangunan atau salah satu bangunan dari pelaksanaan jasa konstruksi;
          c) nilai estimasi transaksi atau nilai yang akan dibayarkan dalam satu tahun;
          d) nomor transaksi; dan
          e) tanggal transaksi atas perikatan;
        6. untuk permohonan SKTD atas impor dan/atau penyerahan mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5) dapat berupa:
          a) jenis mesin dan/atau peralatan pabrik;
          b) nilai transaksi; dan
          c) tanggal transaksi atas perikatan.
    (3) Ketentuan mengenai syarat permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga dalam hal permohonan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (4).
    (4) Dalam hal Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan subjek pajak luar negeri atau warga negara asing, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib diisi dengan nomor identitas pembayar pajak (taxpayer identification number), nomor induk kependudukan (national identification number) atau nomor paspor.
    (5) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan salinan digital dokumen/surat keterangan pendukung:
      a. untuk permohonan SKTD yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau Pemberi Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3), berupa salinan digital yang memuat surat kuasa bermeterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (5);
      b. untuk permohonan SKTD yang Pembeli atau Penerima Jasa merupakan subjek pajak luar negeri atau warga negara asing, berupa salinan digital yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4);
      c. untuk permohonan SKTD atas impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5), berupa dokumen pemesanan/pembayaran sehubungan impor mesin/peralatan pendukung;
      d. untuk permohonan SKTD atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (7), berupa dokumen pemesanan/perikatan/kontrak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
      e. untuk permohonan SKTD atas impor dan/atau penyerahan mesin dan/atau peralatan pabrik bagi Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di wilayah Ibu Kota Nusantara, berupa dokumen jual beli tenaga listrik; dan
      f. untuk permohonan SKTD atas penyerahan jasa sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4), berupa dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (5) dan ayat (6), kecuali bagi orang pribadi dan/atau badan yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau nomor identitas tempat kegiatan usaha yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
    (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 164
    (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKTD yang berlaku untuk setiap impor dan/atau penyerahan melalui laman tertentu pada Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) atau ayat (4) diisi secara lengkap.
    (2) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
      a. berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember dari tahun kalender diterbitkannya SKTD, dalam hal permohonan SKTD diajukan pada bulan Januari sampai dengan November; dan
      b. berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember dari satu tahun kalender setelah diajukannya permohonan SKTD, namun tidak melebihi jangka waktu pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (9), dalam hal permohonan SKTD diajukan pada bulan Desember.
    (3) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
         
    Pasal 165
    (1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan pembuatan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut.
    (2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
      a. memuat informasi uraian jenis barang sesuai dengan SKTD; dan
      b. mencantumkan:
        1. "PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2023"; dan
        2. nomor SKTD dalam hal fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut diberikan dengan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        pada kolom keterangan.
    (3) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5), yang telah mendapatkan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) huruf e harus mencantumkan:
      a. informasi nomor SKTD; dan
      b. uraian jenis barang sesuai dengan SKTD,
      yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai pada dokumen pemberitahuan pabean di bidang impor.
    (4) 1 (satu) nomor SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) berlaku untuk pembuatan 1 (satu) faktur.
    (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), 1 (satu) nomor SKTD dapat digunakan untuk beberapa faktur sehubungan pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pembayaran uang muka maupun Faktur Pajak dalam rangka pelunasan atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dimuat dalam 1 (satu) nomor SKTD.
       
    Pasal 166
    (1) Dalam hal terdapat kesalahan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKTD pengganti.
    (2) Penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3) Penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
    (4) Permohonan penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dengan disertai alasan penggantian.
    (5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan berupa:
      a. SKTD pengganti, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan penyebab penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
      b. surat penolakan penerbitan SKTD pengganti, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan penyebab penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan SKTD pengganti diterima.
    (6) Masa berlaku SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan masa berlaku SKTD yang dilakukan penggantian.
    (7) Atas penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak atau kurang dibayar, Wajib Pajak wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai terutang yang tidak atau kurang dibayar jika terdapat kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat penerbitan SKTD semula.
    (8) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (9) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (10) Atas kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menagih jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disertai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (11) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (12) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang telah dibayar dapat dikreditkan sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada masa pajak dilakukannya impor atau penyerahan
    (13) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan oleh:
      a. Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak; atau
      b. Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa.
    (14) Permohonan penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4), SKTD pengganti dan surat penolakan penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 167
    (1) Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 dengan menerbitkan surat pembatalan SKTD dalam hal:
      a. diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa pemohon SKTD bukan merupakan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157;
      b. diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bukan merupakan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156; dan/atau
      c. Wajib Pajak tidak memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (2) dan/atau menyampaikan tetapi tidak benar atau sesuai dengan keadaan sebenarnya berdasarkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (5).
    (2) Atas pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai terutang.
    (3) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (6) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah dibayar dapat dikreditkan sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada masa pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
    (7) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
      a. Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak; atau
      b. Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa.
    (8) Atas kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menagih jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disertai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (9) Surat pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Bagian Kelima
    Ketentuan Pemanfaatan Barang Kena Pajak dan/atau
    Jasa Kena Pajak yang Diberikan Fasilitas Perpajakan
    Pajak Pertambahan Nilai
    (1) Atas Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2):
      a. Atas Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2):
      b. dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat dilakukannya penyerahan Barang Kena Pajak:
        1. harus dipergunakan sesuai tujuan semula;
        2. tidak dipindahtangankan kepada pihak lain; dan
        3. harus diregistrasikan dengan nomor polisi di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam hal Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor.
    (2) Atas Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5) dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat dilakukannya penyerahan Barang Kena Pajak:
      a. harus dipergunakan sesuai tujuan semula; dan
      b. tidak dipindahtangankan kepada pihak lain.
    (3) Atas bangunan yang atas penyerahan jasa sewa diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a tidak dapat disewakan kepada pihak lain oleh pihak penyewa selama periode sewa.
    (4) Atas bangunan/konstruksi yang atas penyerahan jasa konstruksi diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf b dan Pasal 156 ayat (7) harus digunakan sesuai tujuan semula dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat bangunan/konstruksi selesai dibangun dan diserahkan kepada Penerima Jasa.
    (5) Termasuk tidak dipergunakan sesuai tujuan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu pengalihan kepada pihak lain atas bangunan/konstruksi yang siap untuk diserahkan maupun masih dalam tahap penyelesaian konstruksi.
    (6) Tidak termasuk tidak dipergunakan sesuai tujuan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu Barang Kena Pajak yang tidak dipergunakan untuk memperoleh penghasilan atau menjadi menganggur (idle) yang dilakukan penyusutan secara fiskal sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
       
    Bagian Keenam
    Sanksi atas Ketidaksesuaian Pemanfaatan Barang Kena Pajak
    dan/atau Jasa Kena Pajak yang Diberikan Fasilitas
    Perpajakan Pajak Pertambahan Nilai
       
    Pasal 169
    (1) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang semula telah mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut wajib dibayar kembali dalam hal:
      a. Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat dilakukannya penyerahan Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas:
        1. digunakan tidak sesuai tujuan semula;
        2. dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya; atau
        3. diregistrasikan dengan nomor polisi di luar wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau digunakan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) huruf d dalam hal Barang Kena Pajak berupa kendaraan;
      b. Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5) dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat dilakukannya penyerahan Barang Kena Pajak yang diberikan fasilitas:
        1. digunakan tidak sesuai tujuan semula; atau
        2. dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya.
      c. bangunan yang atas penyerahan jasa sewa diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf a disewakan kepada pihak lain oleh pihak penyewa selama periode sewa; atau
      d. bangunan/konstruksi yang atas penyerahan jasa konstruksi diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) huruf b dan ayat (7) tidak digunakan sesuai tujuan semula dalam jangka waktu 4 (empat) tahun.
    (2) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar oleh Pembeli dan/atau Penerima Jasa yang telah diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155.
    (3) Dalam hal Pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan warga negara asing, kewajiban pembayaran dilakukan oleh pihak yang menerima penyerahan dari Pembeli.
    (4) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5) Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang semula diberi fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut.
    (6) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dibayar dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan pada masa pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
    (8) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Pasal 170
    (1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran kembali Pajak Pertambahan Nilai sehubungan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dalam hal pemindahtanganan dilakukan dalam rangka:
      a. dihibahkan ke pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah; atau
      b. dihibahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sepanjang sudah ditetapkan sebagai barang milik negara atau barang milik daerah.
    (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hibah yang dapat dibuktikan dengan berita acara serah terima hibah yang ditandatangani pihak pemberi hibah dan pihak penerima hibah dan memuat nama barang, spesifikasi barang, dan nilai perolehan barang yang dihibahkan.
    (3) Pihak yang melakukan penyerahan dalam rangka hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan salinan digital berita acara serah terima hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat pihak pemberi hibah terdaftar melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dilakukan pemindahtanganan dalam rangka hibah.
    (4) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, penyampaian dilakukan dengan penyampaian hard copy berita acara serah terima hibah kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat pihak pemberi hibah terdaftar.
    (5) Berita acara serah terima hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 171
    (1) Kepala kantor pelayanan pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual dan/atau pemberi jasa diadministrasikan menagih Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak mendapatkan fasilitas tidak dipungut kepada Pengusaha Kena Pajak, jika diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan:
      a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 sampai dengan Pasal 160;
      b. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak berdasarkan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1);
      c. saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebelum diperolehnya SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5); dan/atau
      d. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak membuat faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (2).
    (2) Kepala kantor pelayanan pajak tempat Pembeli dan/atau Penerima Jasa diadministrasikan menagih Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut kepada pihak yang memperoleh Barang Kena Pajak atau pihak yang menerima Jasa Kena Pajak dalam hal:
      a. pihak yang memperoleh Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1), ayat (2), ayat (5), atau ayat (6);
      b. penerima fasilitas Pajak Pertambahan Nilai:
        1. menggunakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan tujuan semula;
        2. memindahtangankan Barang Kena Pajak kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya;
        3. meregistrasikan Barang Kena Pajak dengan nomor polisi di luar wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau digunakan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) huruf d dalam hal Barang Kena Pajak berupa kendaraan; atau
        4. menyewakan kembali bangunan yang mendapatkan fasilitas atas jasa sewa;
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169.
    (3) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak Pertambahan Nilai ditagih oleh kepala kantor pelayanan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang wilayah kerjanya:
      a meliputi tempat tinggal pihak yang memperoleh fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
      b meliputi tempat tinggal pihak yang menerima penyerahan dari Pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3).
    (4) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5) Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang semula diberi fasilitas berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut.
    (6) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang telah dibayar dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan pada masa pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
    (8) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Pasal 172
    Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk menerbitkan:
    a. SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164;
    b. SKTD pengganti dan surat penolakan penerbitan SKTD pengganti sebagaimana dimaksud dalam 166; dan
    c. surat pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud dalam 167,
    dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat pihak pemohon SKTD terdaftar.
       
    Bagian Ketujuh
    Tata Cara Pemberian Fasilitas Perpajakan Berupa
    Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas
    Barang Mewah
       
    Pasal 173
    (1) Pemberian pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf b diberikan dengan menggunakan SKB PPnBM.
    (2) Untuk mendapatkan fasilitas berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pihak penerima Barang Kena Pajak tergolong mewah menyampaikan permohonan SKB PPnBM secara elektronik melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
    (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKB PPnBM yang berlaku untuk setiap penyerahan melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
    (4) Ketentuan dan/atau tata cara mengenai:
      a. pihak yang mengajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162;
      b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163;
      c. penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164;
      d. kewajiban pembuatan faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1);
      e. penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166;
      f. pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167;
      g. penggunaan, larangan pemindahtanganan dan jangka waktu tidak memindahtangankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168;
      h. kewajiban pembayaran kembali dalam hal dilakukan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169;
      i. pengecualian kewajiban pembayaran kembali dalam hal dilakukan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, dan
      j. kewenangan kepala kantor pelayanan pajak untuk menagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171,
      berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan dan/atau tata cara dalam pemberian fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
    (5) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk menerbitkan:
      a. SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
        SKB PPnBM pengganti; dan
        surat pembatalan SKB PPnBM,
      dalam bentuk delegasi kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat pihak pemohon SKB PPnBM terdaftar.
    (6) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d harus:
      a. memuat informasi uraian jenis barang sesuai dengan SKB PPnBM; dan
      b. mencantumkan:
        1. informasi berupa "PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DIKECUALIKAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2023"; dan
        2. nomor dan tanggal SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (7) Permohonan SKB PPnBM, SKB PPnBM, permohonan penerbitan SKB PPnBM pengganti, SKB PPnBM pengganti, surat penolakan penerbitan SKB PPnBM pengganti dan surat pembatalan SKB PPnBM dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    BAB V
    KETENTUAN PEMBEBASAN BEA MASUK
    DAN FASILITAS PDRI
       
    Bagian Kesatu
    Umum
       
    Pasal 174
    (1) Fasilitas perpajakan dan kepabeanan atas impor barang yang ditujukan untuk pembangunan wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra meliputi:
      a. pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk Kepentingan Umum;
      b. pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang modal untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri; dan
      c. pembebasan Bea Masuk atas impor barang dan bahan untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri.
    (2) Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI untuk Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) untuk bidang usaha yang mendukung pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara meliputi:
      a. pembangunan pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
      b. pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
      c. pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
      d. pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan
      e. pembangunan dan penyediaan air bersih
    (3) Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan sampai dengan tahun 2045.
       
    Bagian Kedua
    Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang
    oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
    Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah
    Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra
     
    Pasal 175
    (1) Pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI diberikan terhadap:
      a. impor barang dari luar daerah pabean; dan
      b. impor barang melalui pusat logistik berikat,
      oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk Kepentingan Umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
    (2) Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan terhadap penyelesaian barang impor sementara dengan dihibahkan kepada pemerintah pusat untuk Kepentingan Umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
    (3) Pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan atas:
      a. pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat selain pusat logistik berikat, kawasan ekonomi khusus, atau KPBPB; atau
      b. pemindahtanganan barang impor yang telah mendapatkan pembebasan Bea Masuk dari penerima pembebasan Bea Masuk.
    (4) Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) termasuk bea masuk antidumping, bea masuk antidumping sementara, bea masuk imbalan, bea masuk imbalan sementara, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk tindakan pengamanan sementara, bea masuk pembalasan dan/atau bea masuk pembalasan sementara.
       
    Pasal 176
    (1) Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175, wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai larangan dan/atau pembatasan impor dari kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Tata cara impor barang sebagaimana dimaksud pada Pasal 175 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai.
    (3) Tata cara penyelesaian barang impor sementara dengan tujuan dihibahkan kepada pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai impor sementara.
    (4) Tata cara pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (3) huruf a, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau KPBPB.
    (5) Tata cara pemindahtanganan barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (3) huruf b, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan Bea Masuk
       
    Pasal 177
    (1) Impor barang dapat dilakukan oleh:
      a. pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
      b. Pihak Ketiga berdasarkan kontrak atau perjanjian kerja; dan/atau
      c. Pihak Lain.
    (2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Otorita Ibu Kota Nusantara atau pemerintah daerah dari Daerah Mitra.
    (3) Impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari:
      a. anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
      b. hibah atau pinjaman luar negeri; dan/atau
      c. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
       
    Pasal 178
    Pelaksanaan hibah dari barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) yang merupakan hibah yang ditujukan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hibah.
       
    Pasal 179
    (1) Untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain mengajukan permohonan kepada Menteri melalui:
      a. kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; atau
      b. kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai,
      yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (2) Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 yang merupakan pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, hibah atau pinjaman luar negeri, dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
      a. salinan daftar isian pelaksanaan anggaran pada tahun anggaran berjalan atau dokumen yang sejenis dengan daftar isian pelaksanaan anggaran pada tahun anggaran berjalan;
      b. surat pernyataan yang menyatakan bahwa pembiayaan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen yang sejenis dengan daftar isian pelaksanaan anggaran atas barang yang dimintakan pembebasan Bea Masuk, tidak meliputi unsur Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor; dan/atau
      c. salinan perjanjian atau kontrak pengadaan barang yang menyebutkan bahwa harga dalam perjanjian atau kontrak pengadaan barang tidak meliputi pembayaran Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal pengadaan barang menggunakan Pihak Ketiga.
    (3) Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 yang merupakan hibah berupa barang, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
      a. salinan surat keterangan dari pemberi hibah berupa gift certificate atau memorandum of understanding, yang menyatakan bahwa barang untuk Kepentingan Umum tersebut merupakan hibah yang diberikan langsung kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
      b. salinan dokumen persetujuan hibah dari pemerintah pusat, dalam hal barang asal impor merupakan hibah yang ditujukan kepada pemerintah daerah; dan
      c. surat pernyataan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam hal importasi dilakukan oleh Pihak Lain.
    (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c ditandatangani oleh:
      a. pimpinan satuan kerja selaku kuasa pengguna anggaran; atau
      b. pejabat paling rendah setingkat Eselon II atau pimpinan tinggi pratama,
      dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
    (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan oleh:
      a. Pihak Ketiga, ditandatangani oleh pimpinan dari Pihak Ketiga; atau
      b. Pihak Lain, ditandatangani oleh pimpinan dari Pihak Lain dan/atau dilampiri dengan surat keterangan atau pernyataan yang mencantumkan Pihak Lain merupakan kuasa dari pemberi hibah.
    (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 180
    (1) Persetujuan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a, ditetapkan dengan keputusan Menteri.
    (2) Menteri mendelegasikan kewenangan penetapan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mandat kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai melakukan penelitian terhadap
      a. pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dan Pasal 179 ayat (2); atau
      b. pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dan Pasal 179 ayat (3).
    (4) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap dan benar, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra atas nama Menteri menerbitkan keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas impor barang yang ditujukan untuk Kepentingan Umum.
    (5) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6) Jangka waktu realisasi impor barang yang diberikan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri.
    (7) Dalam hal impor barang yang diberikan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan perjanjian atau kontrak pengadaan dengan Pihak Ketiga yang memiliki periode lebih dari 1 (satu) tahun, jangka waktu impor barang dapat diberikan sampai dengan tanggal berakhirnya masa berlaku perjanjian atau kontrak pengadaan.
    (8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) melewati tahun 2045, fasilitas pembebasan Bea Masuk diberikan sampai dengan 31 Desember 2045.
    (9) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 177 atau Pasal 179, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
       
    Pasal 181
    (1) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (1) dapat dilakukan perubahan dalam hal:
      a. terjadi kesalahan tulis atau kesalahan ketik; dan/atau
      b. terdapat perubahan data dari yang bersangkutan.
    (2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
      a. pemberitahuan pabean atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a belum mendapatkan nomor pendaftaran pada kantor pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean; dan
      b. masih dalam jangka waktu impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (6) dan ayat (7).
    (3) Untuk dapat melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain mengajukan permohonan perubahan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (1) kepada Menteri melalui kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai dengan menyebutkan alasan dilakukan perubahan dan melampirkan dokumen pendukung alasan perubahan.
    (4) Pemberian persetujuan perubahan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya oleh Menteri dalam bentuk mandat kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra untuk dan atas nama Menteri.
    (5) Atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk dapat melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (6) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah lengkap dan benar, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan keputusan Menteri mengenai perubahan atas keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (1).
    (7) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
       
    Pasal 182
    (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) dan Pasal 181 ayat (3), serta hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan, disampaikan secara elektronik ke laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.
    (2) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual disertai dengan:
      a. lampiran permohonan dalam bentuk salinan cetak (hard copy); dan
      b. salinan digital (soft copy) hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.
    (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (1) dan Pasal 181 ayat (6), atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (9) dan Pasal 181 ayat (7), dilakukan paling lambat:
      a. 5 (lima) jam kerja terhitung setelah permohonan dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan Pasal 181 ayat (5), dalam hal permohonan diajukan secara elektronik; atau
      b. 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan Pasal 181 ayat (5), dalam hal permohonan diajukan secara manual.
       
    Pasal 183
    Pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 melaksanakan pencatatan barang sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang pengelolaan barang milik negara, barang milik daerah atau barang milik Otorita Ibu Kota Nusantara.
       
    Pasal 184
    (1) Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 yang dalam pengadaannya tidak sesuai dengan isi perjanjian/kontrak pengadaan, atau atas barang yang merupakan hibah dilakukan pembatalan hibah, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain wajib menyampaikan pemberitahuan atas pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah tersebut kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah.
    (2) Dalam hal penerima fasilitas pembebasan Bea Masuk tidak menyampaikan pemberitahuan atas pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima fasilitas pembebasan Bea Masuk dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pelayanan pemberian pembebasan Bea Masuk sampai dengan diserahkannya pemberitahuan atas pemutusan perjanjian atau kontrak tersebut.
    (3) Penyampaian pemberitahuan atas pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (4) Atas penyampaian pemberitahuan pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan keputusan Menteri mengenai pencabutan atas keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Pemasukan Barang yang ditujukan untuk Kepentingan Umum.
    (5) Atas pencabutan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terhadap barang yang mengalami pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah terutang Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
    (6) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga atau Pihak Lain.
    (7) Penyelesaian kewajiban pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diselesaikan dengan cara:
      a. diekspor;
      b. dimusnahkan menggunakan metode dihancurkan, dibakar, diledakkan, atau metode lainnya untuk menghilangkan fungsi dari barang tersebut; atau
      c. melunasi Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang
    (8) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal keputusan Menteri mengenai pencabutan atas keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Pemasukan Barang yang ditujukan untuk Kepentingan Umum.
    (9) Ketentuan penyelesaian kewajiban pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak berlaku dalam hal terjadi keadaan darurat (force majeure).
    (10) Keadaan darurat (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi terkait dan terhadap barang dimaksud dibebaskan dari pengenaan Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang.
    (11) Kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai melakukan penelitian terkait barang yang terjadi keadaan darurat (force majeure)
    (12) Penyampaian pemberitahuan atas pemutusan perjanjian atau kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik ke laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.
    (13) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan secara manual dengan menyampaikan pemberitahuan atas pemutusan perjanjian atau kontrak atau pembatalan hibah dalam bentuk salinan cetak (hard copy) atau salinan digital (soft copy) kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai.
       
    Pasal 185
    (1) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang dengan cara diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (7) huruf a, dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspor.
    (2) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang dengan cara dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (7) huruf b dilengkapi dengan berita acara yang dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain yang sudah menyelesaikan kewajiban pabean atas barang dengan cara diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau dengan cara dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , dibebaskan dari kewajiban untuk membayar Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
    (4) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang dengan cara melunasi Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (7) huruf c dilaksanakan berdasarkan klasifikasi, pembebanan, dan nilai pabean dalam pemberitahuan pabean pada saat impor barang.
       
    Pasal 186
    Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain yang menggunakan barang tidak sesuai dengan tujuan pemberian:
    a. pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) atau ayat (2); atau
    b. pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (3),
    wajib membayar Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi administratif di bidang kepabeanan dan/atau di bidang perpajakan.
       
    Pasal 187
    (1) Monitoring dan evaluasi atas pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dilakukan oleh:
      a. Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Kekayaan Negara; dan
      b. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara,
      secara sendiri-sendiri atau bersama-sama sesuai dengan kewenangannya melakukan monitoring dan evaluasi atas pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175.
    (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
       
    Bagian Ketiga
    Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Impor
    Barang untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri di
    Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra
       
    Pasal 188
    (1) Atas impor barang modal oleh Perusahaan yang merupakan industri yang menghasilkan barang dan/atau industri yang menghasilkan jasa yang dimasukkan ke Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk pembangunan dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara diberikan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b.
    (2) Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk bea masuk antidumping, bea masuk antidumping sementara, bea masuk imbalan, bea masuk imbalan sementara, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk tindakan pengamanan sementara, bea masuk pembalasan dan/atau bea masuk pembalasan sementara.
    (3) Jenis industri yang menghasilkan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (4) Atas impor barang berupa barang dan bahan untuk industri yang menghasilkan barang yang dimasukkan ke wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri di Ibu Kota Nusantara diberikan pembebasan bea masuk.
    (5) Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri sektor industri termasuk industri yang menghasilkan jasa.
    (6) Peralatan dan perkakas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan untuk industri yang menghasilkan jasa merupakan komponen peralatan atau perkakas yang digunakan untuk mendukung berjalannya kegiatan industri jasa dapat berupa komponen radiologi pada layanan kesehatan atau komponen yang diperlukan untuk keperluan riset dan inovasi.
    (7) Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi.
    (8) Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI diberikan sepanjang barang modal serta barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4):
      a. belum diproduksi di dalam negeri;
      b. sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
      c. sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri,
      berdasarkan daftar barang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
    (9) Dalam hal atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan fasilitas perpajakan, fasilitas perpajakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (10) Atas barang modal atau barang dan bahan yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4), wajib memenuhi ketentuan mengenai larangan dan/atau pembatasan impor dari kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
       
    Pasal 189
    (1) Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) diberikan terhadap:
      a. impor barang modal dari luar daerah pabean; dan
      b. impor barang modal melalui pusat logistik berikat.
    (2) Pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) diberikan terhadap:
      a. impor barang dan bahan dari luar daerah pabean; dan
      b. impor barang dan bahan melalui pusat logistik berikat.
    (3) Pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (4) dapat diberikan terhadap barang modal serta barang dan bahan yang berasal dari KPBPB, kawasan ekonomi khusus, dan/atau tempat penimbunan berikat.
    (4) Tata cara impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai.
    (5) Tata cara pengeluaran barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2) huruf b, dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, dan KPBPB.
    (6) Barang modal yang atas impornya diberikan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat di dalam lampiran surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan pada daftar harta atau bagian penyusutan dan amortisasi fiskal oleh Wajib Pajak.
    (7) Atas barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan keterangan “Barang Modal diberikan Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut” pada kolom catatan.
       
    Pasal 190
    (1) Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dapat diberikan untuk jangka waktu pengimporan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI.
    (2) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu penyelesaian Pembangunan dan Pengembangan Industri.
    (3) Perusahaan yang telah menyelesaikan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) serta siap berproduksi, diberikan pembebasan Bea Masuk atas pemasukan barang berupa barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) dengan jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun, sesuai dengan kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk.
    (4) Perusahaan yang telah menyelesaikan pengembangan sektor usaha sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan Bea Masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) paling lama 4 (empat) tahun, sesuai kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk.
    (5) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat diperpanjang selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan Bea Masuk.
    (6) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5) merupakan jangka waktu pemberian pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI.
    (7) Perusahaan yang telah menyelesaikan Pembangunan dan/atau Pengembangan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1), sepanjang menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, dapat diberikan pembebasan Bea Masuk atas impor barang berupa barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) selama 6 (enam) tahun sesuai dengan kapasitas terpasang terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk.
    (8) Bagi industri yang menghasilkan jasa dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (7).
    (9) Perusahaan yang memenuhi persyaratan menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ditetapkan berdasarkan rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
    (10) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) melewati tahun 2045, fasilitas pembebasan Bea Masuk diberikan sampai dengan 31 Desember 2045.
       
    Pasal 191
    (1) Terhadap Perusahaan yang telah menyelesaikan Pembangunan dengan menggunakan mesin produksi asal impor yang dibeli di dalam negeri untuk industri yang menghasilkan barang, dapat diberikan pembebasan Bea Masuk atas impor barang dan bahan.
    (2) Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pembebasan Bea Masuk sesuai dengan kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk.
    (3) Terhadap Perusahaan yang telah menyelesaikan Pengembangan Industri dengan menggunakan mesin produksi asal impor yang dibeli di dalam negeri untuk industri yang menghasilkan barang, sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan Bea Masuk atas impor barang berupa barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi selama 4 (empat) tahun sesuai dengan kapasitas terpasang, dengan jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan Bea Masuk.
    (4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) melewati tahun 2045, fasilitas pembebasan Bea Masuk diberikan sampai dengan 31 Desember 2045.
       
    Bagian Keempat
    Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan Bea Masuk
    dan/atau Fasilitas PDRI
       
    Pasal 192
    (1) Untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (4), Perusahaan mengajukan permohonan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal, melalui Sistem OSS.
    (2) Untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang berupa barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1), permohonan paling sedikit harus dilampiri dengan:
      a. identitas perusahaan;
      b. daftar barang modal;
      c. salinan Perizinan Berusaha; dan
      d. surat penetapan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan, dalam hal Perusahaan melakukan Pembangunan atau Pengembangan Industri di Daerah Mitra.
    (3) Untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk atas impor barang berupa barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4), permohonan paling sedikit harus memuat:
      a. identitas perusahaan;
      b. salinan Perizinan Berusaha;
        daftar barang dan bahan;
      c. surat penetapan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan, dalam hal Perusahaan melakukan Pembangunan atau Pengembangan di Daerah Mitra; dan/atau
      d. rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (9), dalam hal Perusahaan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri.
    (4) Identitas perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, paling sedikit memuat keterangan berupa:
      a. nama perusahaan;
      b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
      c. alamat perusahaan; dan
      d. nama dan jabatan penanggung jawab perusahaan.
    (5) Daftar barang modal, barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf c paling sedikit memuat keterangan berupa:
      a. kantor pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean;
      b. pelabuhan dan/atau bandar udara tempat pemasukan;
      c. uraian jenis dan spesifikasi teknis barang;
      d. pos tarif;
      e. jumlah dan satuan barang;
      f. perkiraan nilai impor; dan
      g. negara asal atau negara muat.
    (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Perusahaan pembangkit listrik termasuk pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, selain harus melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan juga harus dilampiri paling sedikit dengan:
      a. rekomendasi berupa rencana impor barang yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; dan
      b. salinan perjanjian jual beli tenaga listrik bagi pemegang izin usaha dalam penyediaan tenaga listrik.
       
    Pasal 193
    (1) Persetujuan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (4), ditetapkan dengan keputusan Menteri.
    (2) Menteri mendelegasikan kewenangan penetapan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mandat kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal dalam memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
    (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) disetujui, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menerbitkan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas impor barang berupa barang modal, serta barang dan bahan dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan Industri di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (5) Keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku surut.
    (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) ditolak, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
       
    Pasal 194
    (1) Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (2) dan ayat (5), Perusahaan mengajukan permohonan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
    (2) Perpanjangan jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan ketentuan:
      a. barang modal dan/atau barang dan bahan belum diimpor; dan
      b. masih dalam jangka waktu pembebasan.
    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilampiri dengan:
      a. salinan Perizinan Berusaha;
      b. salinan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1); dan
      c. laporan realisasi impor berdasarkan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1).
    (4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
    (5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal atas nama Menteri menerbitkan keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu pengimporan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI, barang modal, serta barang dan bahan dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan Industri di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (6) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
       
    Pasal 195
    (1) Perusahaan dapat mengajukan permohonan perubahan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dan Pasal 194 ayat (5).
    (2) Perubahan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan:
      a. barang modal dan/atau barang dan bahan belum diimpor; dan
      b. masih dalam jangka waktu pembebasan.
    (3) Perusahaan mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
    (4) Permohonan yang diajukan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilampiri dengan:
      a. salinan Perizinan Berusaha;
      b. salinan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dan Pasal 194 ayat (5); dan
      c. data pendukung perubahan.
    (5) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
    (6) Dalam hal permohonan perubahan keputusan pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Perusahaan pembangkit listrik termasuk pembangkit listrik energi baru dan terbarukan selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan harus dilampiri dengan rencana impor barang perubahan yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
    (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal atas nama Menteri menerbitkan keputusan mengenai perubahan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI, barang modal, serta barang dan bahan dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan Industri di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (8) Keputusan Menteri mengenai perubahan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
       
    Pasal 196
    (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1), Pasal 194 ayat (1), atau Pasal 195 ayat (1) serta hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan, disampaikan melalui Sistem OSS.
    (2) Dalam hal data telah tersedia dalam Sistem OSS, Perusahaan tidak diwajibkan menyampaikan data hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan.
    (3) Dalam hal Sistem OSS belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai dengan:
      a. lampiran permohonan dalam bentuk salinan cetak (hard copy); dan
      b. hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik dalam bentuk salinan digital (soft copy).
       
    Pasal 197
    (1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menyampaikan keputusan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1), Pasal 194 ayat (5), dan Pasal 195 ayat (7) kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    (2) Penyampaian keputusan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui SINSW.
    (3) Dalam hal SINSW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menyampaikan data elektronik keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1), Pasal 194 ayat (5), dan Pasal 195 ayat (7) kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
       
    Bagian Kelima
    Pemotongan Kuota Impor
       
    Pasal 198
    (1) Terhadap pelaksanaan impor dan/atau pengeluaran barang modal serta barang dan bahan dilakukan pemotongan kuota secara elektronik pada SINSW.
    (2) Pemotongan kuota secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara self assessment dengan membandingkan elemen data meliputi jenis, spesifikasi, jumlah, satuan barang yang akan diimpor, dan kantor pabean sesuai dengan keputusan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI.
    (3) Dalam hal pemotongan kuota tidak dapat dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai melakukan penelitian dan pemotongan kuota secara manual melalui sistem terintegrasi.
    (4) Dalam hal pemotongan kuota tidak dapat dilakukan secara manual melalui sistem terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat bea dan cukai melakukan penelitian dan pemotongan kuota secara manual.
    (5) Pemotongan kuota melalui elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemotongan kuota secara manual melalui sistem terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atau pemotongan kuota secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan sesuai dengan tata kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 199
    Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara informasi mengenai barang impor dengan keputusan mengenai pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1), Pasal 194 ayat (5), dan Pasal 195 ayat (7), Perusahaan wajib membayar:
    a. Bea Masuk;
    b. sanksi administratif di bidang kepabeanan;
    c. pajak dalam rangka impor yang terutang; dan/atau
    d. sanksi administratif di bidang perpajakan
       
    Bagian Keenam
    Pemindahtanganan
       
    Paragraf 1
    Pemindahtanganan Barang Modal dan
    Barang dan Bahan
       
    Pasal 200
    (1) Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) tidak diberikan dalam hal barang modal dilakukan pemindahtanganan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.
    (2) Barang modal yang telah mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1), dapat dilakukan pemindahtanganan setelah 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.
    (3) Ketentuan jangka waktu pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal:
      a. terjadi keadaan darurat (force majeure);
      b. barang modal diekspor kembali;
      c. barang modal dimusnahkan; atau
      d. barang modal dilakukan pemindahtanganan kepada penerima fasilitas pembebasan Bea Masuk di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (4) Pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) setelah mendapatkan izin dari Menteri.
    (5) Dalam hal pemindahtanganan barang modal dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan wajib:
      a. membayar Bea Masuk dan/atau membayar pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas;
      b. membayar sanksi administratif berupa denda di bidang kepabeanan; dan
      c. membayar sanksi administratif berupa bunga di bidang perpajakan.
    (6) Barang modal yang dilakukan pemindahtanganan sebelum 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor, Perusahaan wajib:
      a. membayar Bea Masuk dan/atau membayar pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas;
      b membayar sanksi administratif berupa denda di bidang kepabeanan; dan
      c membayar sanksi administratif berupa bunga di bidang perpajakan.
    (7) Barang modal yang dilakukan pemindahtanganan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor, Perusahaan wajib:
      a. memiliki izin dan membayar Bea Masuk;
      b. membayar pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas; dan
      c. membayar sanksi administratif berupa bunga di bidang perpajakan.
    (8) Pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b tidak memerlukan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a.
    (9) Dibebaskan dari kewajiban membayar Bea Masuk dan/atau sanksi administratif berupa denda di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dalam hal:
      a. pemindahtanganan barang modal dilakukan setelah jangka waktu 4 (empat) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor; atau
      b. pemindahtanganan barang modal dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (10) Pengecualian dari kewajiban membayar Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c tidak berlaku untuk barang modal yang masih mempunyai nilai ekonomis.
    (11) Kewajiban membayar Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (10), dihitung berdasarkan harga penyerahan dengan tarif, apabila:
      a. tarif bea masuknya sebesar 5% (lima persen) atau lebih, dikenakan tarif sebesar 5% (lima persen); atau
      b. tarif bea masuknya di bawah 5% (lima persen), dikenakan tarif sesuai jenis barang.
    (12) Dalam hal barang modal berupa kendaraan bermotor, pemindahtanganan yang dilakukan setelah 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor disertai dengan kewajiban membayar Bea Masuk yang terutang.
    (13) Kewajiban membayar Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (12), dihitung berdasarkan harga penyerahan dengan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean impor.
    (14) Dikecualikan dari membayar pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal pemindahtanganan dilakukan:
      a. dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau antar cabang yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
      b. oleh badan usaha milik negara untuk tujuan setoran modal pengganti saham dalam rangka holdingisasi, dengan cara penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan/atau pengambilalihan usaha, jika digunakan sesuai dengan tujuan semula;
      c. untuk tujuan Hibah kepada:
        1. pemerintah pusat atau pemerintah daerah; atau
        2. lembaga pendidikan, penelitian, dan/atau vokasi yang:
          a) terdaftar pada instansi yang menaungi; dan
          b) tidak memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan terhadap pihak pemberi Hibah; atau
      d. barang modal diekspor kembali keluar daerah pabean.
    (15) Holdingisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (14) huruf b merupakan pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara melalui upaya restrukturisasi perusahaan dengan pengalihan saham dari 1 (satu) badan usaha milik negara ke badan usaha milik negara lain dan membentuk satu grup badan usaha milik negara dengan menginduk pada salah satu badan usaha milik negara setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
       
    Pasal 201
    (1) Barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) dapat dilakukan: 
      a. pemindahtanganan dalam hal terjadi keadaan darurat (force majeure);
      b. ekspor kembali; atau
      c. pemusnahan.
    (2) Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebaskan dari kewajiban untuk membayar Bea Masuk yang terutang.
    (3) Pengecualian dari kewajiban membayar Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c tidak berlaku untuk barang dan bahan yang masih mempunyai nilai ekonomis.
    (4) Kewajiban membayar Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dihitung berdasarkan harga penyerahan dengan tarif, apabila:
      a. tarif bea masuknya sebesar 5% (lima persen) atau lebih, dikenakan tarif sebesar 5% (lima persen); atau
      b. tarif bea masuknya di bawah 5% (lima persen), dikenakan tarif sesuai jenis barang.
       
    Paragraf 2
    Permohonan Pemindahtanganan Barang Modal
    dan Barang dan Bahan
       
    Pasal 202
    (1) Pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (2), ayat (3), dan ayat (12) serta barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan izin dari Menteri.
    (2) Menteri melimpahkan kewenangan untuk menyetujui/menolak permohonan izin pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (2), ayat (3), dan ayat (12) serta barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) dalam bentuk mandat kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
    (3) Untuk mendapatkan izin pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan mengajukan permohonan kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai dan paling sedikit dilampiri dengan:
      a. Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh instansi atau lembaga sesuai dengan kewenangannya;
      b. daftar barang modal atau barang dan bahan yang akan dipindahtangankan;
      c. foto atau bukti pendukung lainnya terkait barang modal atau barang dan bahan yang akan dipindahtangankan;
      d. nilai ekonomis perkiraan atas barang modal atau barang dan bahan dalam hal terjadi keadaan darurat (force majeure) atau pemusnahan;
      e. keputusan tentang pemberian fasilitas pembebasan bea masuk barang modal atas nama penerima pemindahtanganan dari penerima fasilitas sebelumnya; dan
      f. rekomendasi dari instansi terkait dalam hal terjadi keadaan darurat (force majeure), barang modal dipindahtangankan dengan tujuan diekspor kembali, dan barang modal dimusnahkan.
    (4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan pemindahtanganan.
    (5) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap dan benar, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan keputusan Menteri mengenai pemberian izin pemindahtanganan yang berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan 60 (enam puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.
    (6) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (7) Dalam hal hasil penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi ketentuan pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 atau ketentuan pemindahtanganan barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201, serta pada ayat (3), kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
    (8) Atas pemindahtanganan yang dilakukan tanpa disertai izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib membayar:
      a. Bea Masuk yang terutang; dan
      b. sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
    (9) Perusahaan yang telah melakukan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membuat laporan realisasi pemindahtanganan dan menyampaikannya kepada:
      a. kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea danri Cukai; atau
      b. kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai,
      yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dilakukan pemindahtanganan.
    (10) Laporan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilampiri dokumen minimal sebagai berikut:
      a. laporan hasil pemeriksaan fisik barang yang dipindahtangankan;
      b. berita acara pemindahtanganan atau pemusnahan;
      c. bukti pembayaran, dalam hal dilakukan pembayaran Bea Masuk yang terutang; dan/atau
      d. surat keterangan yang ditandatangani pihak pemberi hibah dan pihak penerima hibah dan memuat barang dan spesifikasi barang yang dihibahkan, dalam hal pemindahtanganan dalam rangka hibah.
    (11) Salinan atas laporan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan Perusahaan kepada:
      a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal;
      b. Kepala Otorita;
      c. Direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tugas dan fungsinya di bidang audit kepabeanan dan cukai; dan
      d. kepala kantor pelayanan pajak yang mengadministrasikan kewajiban perpajakan Perusahaan selaku Wajib Pajak.
       
    Pasal 203
    (1) Permohonan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (3) serta hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan, disampaikan secara elektronik ke laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.
    (2) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual disertai dengan:
      a. lampiran permohonan dalam bentuk salinan cetak (hard copy); dan
      b. salinan digital (soft copy) hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.
    (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (5) atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (7), diberikan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (4).
       
    Pasal 204
    (1) Pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan Fasilitas PDRI wajib dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (6) dan ayat (7) berupa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tidak termasuk Pajak Penghasilan Pasal 22.
    (2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar oleh Perusahaan yang telah diberikan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
    (3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat dilakukannya impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4) Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam rangka impor yang semula diberikan Fasilitas PDRI.
    (5) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dibayar dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan pada masa pajak dilakukannya impor.
    (7) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (8) Atas kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menagih jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang disertai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Pasal 205
    (1) Barang modal dan/atau barang dan bahan yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1), Pasal 194 ayat (5), dan/atau Pasal 195 ayat (7), wajib digunakan sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Perusahaan yang bersangkutan.
    (2) Atas penyalahgunaan pemanfaatan barang modal dan/atau barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan:
      a. wajib membayar Bea Masuk yang terutang dan/atau pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas; dan
      b. dikenakan sanksi administratif,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan.
    (3) Pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tidak termasuk Pajak Penghasilan Pasal 22.
    (4) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibayar oleh Perusahaan yang telah diberikan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terutang pada saat dilakukannya impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6) Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam rangka impor yang semula diberikan Fasilitas PDRI.
    (7) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administratif lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (8) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah dibayar dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan pada masa pajak dilakukannya impor.
    (9) Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (10) Atas kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menagih jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang disertai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
       
    Paragraf 3
    Tata Cara Penyelesaian Kewajiban Pabean Barang Modal
    atau Barang dan Bahan
       
    Pasal 206
    (1) Penyelesaian kewajiban pabean dengan cara barang modal diekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (3) huruf b dan barang dan bahan diekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) huruf b, dilakukan:
      a. dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor; dan
      b. pemeriksaan fisik,
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspor.
    (2) Penyelesaian kewajiban pabean barang modal yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (3) huruf c dan barang dan bahan dengan cara dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) huruf c, dilakukan dengan melengkapi berita acara sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3) Penyelesaian kewajiban pabean atas barang modal dan/atau barang dan bahan dengan cara pelunasan Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang dilaksanakan berdasarkan keputusan Menteri mengenai pemberian izin pemindahtanganan.
    (4) Pemenuhan kewajiban kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan di kantor pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean.
       
    Bagian Ketujuh
    Penyampaian Laporan
       
    Pasal 207
    (1) Perusahaan yang mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (4) harus menyampaikan:
      a. laporan realisasi impor paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah realisasi impor; dan
      b. laporan penggunaan barang modal dan/atau barang dan bahan setiap tahun paling lambat pada bulan Januari tahun berikutnya selama 4 (empat) tahun pertama terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor,
      kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem OSS.
    (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
       
    Pasal 208
    (1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menyampaikan laporan mengenai:
      a. persetujuan pemberian fasilitas pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI;
      b. realisasi impor barang modal dan/atau barang dan bahan; dan
      c. penggunaan barang modal dan/atau barang dan bahan,
    (2) kepada Menteri melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Direktur Jenderal Pajak.
    (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam) bulan, yaitu untuk semester pertama pada bulan Juli tahun berjalan dan untuk semester kedua pada bulan Januari tahun berikutnya.
       
    Pasal 209
    (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam
      a. Pasal 202 ayat (9); dan
      b. Pasal 208,
      disampaikan secara elektronik melalui SINSW.
    (2) Dalam hal SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional:
      a. laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara manual kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau kepala kantor pelayanan utama bea dan cukai yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra dalam bentuk salinan cetak (hard copy) atau salinan digital (soft copy); dan
      b. laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara manual kepada Menteri melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk salinan cetak (hard copy) atau salinan digital (soft copy).
       
    Bagian Kedelapan
    Pengawasan
       
    Pasal 210
      Pengawasan atas pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 dilakukan oleh:
        Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
        menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal; dan
        Kepala Otorita,
      secara sendiri-sendiri atau bersama-sama sesuai dengan kewenangannya.
      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
       
    BAB VI
    KETENTUAN PENUTUP
       
    Pasal 211
    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
       
       
     
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
   
   

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 April 2024
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI  INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2024

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

ASEP N. MULYANA 
 
 
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 255

 

 


 

(1)

 

a. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dari Pihak Yang Terutang;
    b. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
    c. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai, termasuk penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.

 

Status Peraturan
Aktif