Undang-Undang
21 TAHUN 1997
Tanggal Peraturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1997

TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam perkembangannya telah
menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu
dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah dan seluruh potensi masyarakat,
karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan Negara
dan pembangunan nasional;

b. bahwa baik tanah yang mempunyai fungsi sosial sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa maupun bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan
sosial ekonomi yang baik bagi orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
suatu hak atasnya, oleh karena itu wajar bila mereka yang memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan diwajibkan membayar pajak kepada Negara;

c. bahwa dengan berlakunya Undang-undang tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, maka hak-hak atas tanah menurut hukum barat
menjadi tidak berlaku lagi, oleh karena itu pungutan Bea Balik Nama atas
pemindahan harta tetap berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama menurut
Staatsblad 1924 Nomor 291 tidak dapat dilaksanakan;

d. bahwa terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan atau bangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
perlu dikenakan pajak dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan;

e bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 33
ayat (3), Undang-undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;

2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;

3. Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dapat disingkat STB, adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;

5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, yang dapat disingkat
SKBKB, adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak, yang terutang jumlah
kekurangan Pembayaran Pokok Pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus
dibayar;

6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, yang dapat
disingkat SKBKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atau jumlah pajak yang telah
ditetapkan;

7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, yang disingkat SKBLB,
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah yang
telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang;

8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, yang dapat disingkat SKBN,
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
pajak yang dibayar;

9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dapat disingkat SSB, adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang
ke Kas Negara atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan;

10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan atau kekeliruan dalam penerangan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat
dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang
diajukan oleh Wajib Pajak;

12. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;

13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia;

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2

(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar-menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
6) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
7) penunjukan pembeli dalam lelang;
8) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap;
9) hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak;
2) di luar pelepasan hak.
3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.

Pasal 3

(1) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak
yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama;
e. karena wakaf;
f. karena warisan;
g. untuk digunakan kepentingan ibadah.

(2) Objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
SUBJEK PAJAK

Pasal 4

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan.

(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.

BAB IV
TARIF PAJAK

Pasal 5

Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

BAB V
DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 6

(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.

(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal;
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar-menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
c. hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
f. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;
g. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
h. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar objek
pajak tersebut;
i. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut.

(3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih
rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
pada tahun terjadinya perolehan dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak
Bumi dan Bangunan.

(4) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum
ditetapkan, Menteri dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 7

(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).

(2) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8

(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.

(2) Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak.

BAB VI
SAAT DAN TEMPAT PAJAK YANG TERUTANG

Pasal 9

(1) Saat yang menentukan pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
f. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
g. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap;
h. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
Kantor Pertanahan;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak;
k. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

(3) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, atau Kotamadya Daerah
Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya Administratif yang meliputi letak tanah dan
atau bangunan.

BAB VII
PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN

Pasal 10

(1) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak.

(2) Pajak yang terutang dibayar di Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Menteri.

(3) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terhutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
bangunan Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut,
kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 13

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan apabila
a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

(2) Jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24%
(dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.

(3) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.

Pasal 14

(1) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan
dasar penagihan pajak.

(2) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
diterima oleh Wajib Pajak.

(3) Tata cara penagihan pajak diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15

Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, yang tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

BAB VIII
KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN

Pasal 16

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.

(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(5) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk
untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan
Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.

(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 18

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.

Pasal 19

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 20

(1) Atas permohonan Wajib Pajak, Menteri dapat memberikan pengurangan pajak yang terutang karena
hal-hal tertentu.

(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 21

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada
Direktur Jenderal Pajak.

(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.

Pasal 22

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, apabila jumlah
pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) telah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan serta Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

(3) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.

(4) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan,
Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

(5) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK

Pasal 23

(1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan Negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 80% (delapan puluh persen)
untuk Pemerintah daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.

(2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagian besar diberikan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.

(3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
KETENTUAN BAGI PEJABAT

Pasal 24

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah
dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

(2) Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

(3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah
atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 25

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta
atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak
selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 26

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap pelanggaran.

(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap laporan.

(3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Besarnya sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau kembali
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Dengan berlakunya Undang-undang ini, Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 dengan segala
perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik Nama atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah
dan atau bangunan, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 28

Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 44

 

 

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1997

TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
 
UMUM

Bagi Negara Republik Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di segala bidan menuju masyarakat
adil dan makmur, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang sangat penting bagi
penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan
Negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat adil dan makmur, dan sejahtera.

Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial,
disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang
sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh
karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai
ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan. Namum, pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut
Undang-undang ini telah memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama masyarakat golongan
ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yaitu dengan mengatur nilai perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak.

Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik
Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas
harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia.

Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak
kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak
baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak
diundangkannya Undang-undang tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak
harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas
akta pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924
Nomor 291 masih tetap berlaku.

Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak
atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Tarif yang ditetapkan menurut Undang-undang ini adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak. Dengan demikian, semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan.

Prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini adalah :
a. pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan sistem
self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya;

b. besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak;

c. agar pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib Pajak
maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang ini, dikenakan sanksi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

d. hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan Negara yang
sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah;

e. semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang
ini tidak diperkenankan.

Dalam pembentukan Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diperhatikan,
diacu, dan dikaitkan dengan undang-undang lainnya, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);

3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun
1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3569);

4. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara tahun 1985 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318);

5. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684).

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa :
a. tanah, termasuk tanaman di atasnya;
b. tanah dan bangunan;
c. bangunan.

Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan, antara lain :
a. gedung;
b. rumah;
c. kolam renang;
d. tempat oleh raga;
e. silo.

Ayat (2)

Huruf a

Angka 1)

Cukup jelas

Angka 2)

Cukup jelas

Angka 3)

Cukup jelas

Angka 4)

Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai
pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau
badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal
dunia.

Angka 5)

Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang
pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya
sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum
lainnya tersebut.

Angka 6)

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian
hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
kepada sesama pemegang hak bersama.

Angka 7)

Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemegang lelang oleh
pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.

Angka 8)

Sebagai Pelaksana dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum
sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim
tersebut.

Angka 9)

Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
atau bangunan yang telah dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.

Huruf b

Angka 1)

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru kepada kelanjutan pelepasan hak
adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atas tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak.

Angka 2)

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah
pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3)

Huruf a

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Huruf b

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.

Huruf c

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Huruf d

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Huruf e

Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Huruf f

Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa
perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah
Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah,
rumah sakit pemerintah, jalan umum.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak
baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh
Pemerintah.

Contoh :
Bekas tanah milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak
baru.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak
atas tanah tanpa adanya perubahan nama.

Contoh :
Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB).

Huruf e

Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan/atau
bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara
wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

Dalam hal tukar-menukar kedua belah pihak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Ayat (3)

Contoh :
Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
(harga transaksi) Rp.30.000.000,00. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan
tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar
Rp. 35.000.000,00 maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah Rp. 35.000.000,00 dan bukan Rp.30.000.000,00.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Contoh :
1. Pada tanggal 2 Januari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak .............................................. Rp.22.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak............. Rp.30.000.000,00
Karena Nilai Perolehan Objek Pajak berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak, maka perolehan hak atas tanah tersebut tidak dikenakan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2. Pada tanggal 1 Februari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak ............................................................. Rp.50.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ............ Rp.30.000.000,00 (-)
-------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ..................... Rp.20.000.000,00

Ayat (2)

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat diubah dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau
bangunan.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Contoh :
Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan
Nilai Perolehan Objek Pajak ........................................................ Rp.35.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak .............................. Rp.30.000.000,00 (-)
--------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ....................................... Rp. 5.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp.5.000.000,00 = Rp.250.000,00

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a sampai dengan Huruf e

Yang dimaksud dengan sejak dibuat dan ditandatanganinya akta adalah tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris.

Huruf f

Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau
perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Pada dasarnya sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
self assesment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat
ketetapan pajak.

Ayat (2)

Bank Persepsi adalah bank pemerintah dan bank swasta devisa yang ditunjuk oleh Menteri
untuk menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Menurut ketentuan ini bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.

Ayat (2)

Contoh :
Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 1998.
Nilai perolehan Objek Pajak.......................................... Rp 110.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak............... Rp 30.000.000,00 (-)
----------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak........................ Rp 80.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp 80.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 1998,
ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa Nilai Perolehan
Objek Pajak sebenarnya adalah Rp160.000.000,00 maka Pajak yang seharusnya
terutang adalah sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak......................................... Rp 160.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.............. Rp 30.000.000,00 (-)
----------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak....................... Rp 130.000.000,00

Pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp 130.000.000,00 = Rp 6.500.000,00
Pajak yang telah dibayar ............................................. Rp 4.000.000,00 (-)
--------------------
Pajak yang kurang dibayar.......................................... Rp. 2.500.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 1998 sampai dengan
30 Desember 1998 = 10 x 2% x Rp2.500.000,00 = Rp 500.000,00
Jadi jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp 2.500.000,00 + Rp 500.000,00 = Rp 3.000.000,00

Pasal 12

Ayat (1)

Contoh sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2), 5 (lima) tahun kemudian,
yaitu pada tahun pajak 2003, kepada Wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan Surat
ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan dalam hal
diketemukan data baru atau data yang semula belum terungkap berdasarkan pemeriksaan
atau keterangan lain mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak yaitu 29 Maret 2003,
bukan 30 Desember 2003.

Ayat (2)

Contoh
Pada tahun pajak 2003, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data
baru bahwa nilai perolehan objek pajak sebagaimana tersebut dalam penjelasan
Pasal 11 ayat (2) ternyata adalah Rp 200.000.000,00 maka pajak yang seharusnya
terutang adalah sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak................................................ Rp 200.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak..................... Rp 30.000.000,00 (-)
---------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak............................. Rp 170.000.000,00

Pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp 130.000.000,00 = Rp 8.500.000,00
Pajak yang telah dibayar ................................................... Rp 6.500.000,00 (-)
---------------------
Pajak yang kurang dibayar................................................ Rp. 2.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan = 100% x 2.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Jadi jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp 2.000.000,00 + Rp 2.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

Pasal 13

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud pemeriksaan pada ayat ini adalah pemeriksaan kantor.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diterbitkan karena :
a. pajak yang terutang tidak atau kurang bayar;
b. pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
menghasilkan pajak kurang dibayar terdapat salah tulis dan atau salah hitung.
Contoh :
1. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Dari perolehan tanah dan bangunan pada tanggal 21 September 1998, Wajib
Pajak "A" terutang pajak sebesar Rp5.000.000,00. Pada saat terjadinya
perolehan tersebut, pajak dibayar sebesar Rp4.000.000,00. Atas kekurangan
pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas tanah dan
Bangunan tanggal 23 Desember 1998 dengan penghitungan sebagai berikut :
Kekurangan bayar....................................................... Rp 1.000.000,00
Bunga = 4 x 2% x Rp 1.000.000,00 = Rp 80.000,00 (+)
--------------------
Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan....................... Rp 1.080.000,00

2. Hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Wajib Pajak "B" memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 1998.
Berdasarkan pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang disampaikan Wajib Pajak "B", ternyata terdapat salah hitung
yang menyebabkan pajak kurang dibayar sebesar Rp 1.500.000,00. Atas
kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan pada tanggal 23 September 1998 dengan penghitungan
sebagai berikut :
Kekurangan bayar..................................................... Rp 1.500.000,00
Bunga = 4 x 2% x Rp 1.500.000,00 = Rp 120.000,00 (+)
--------------------
Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan....................... Rp 1.620.000,00

Ayat (3)

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipersamakan kekuatan
hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan
penerbitan Surat Paksa.

Pasal 14

Ayat (1)

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan , Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan penagihan pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 15

Yang dimaksud dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan
dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan alasan-alasan yang jelas adalah mengemukakan dengan data atau
bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus
tidak benar.

Ayat (3)

Pengertian di luar kekuasaannya adalah keterlambatan Wajib Pajak mengajukan keberatan
yang bukan karena kesalahannya, misalnya Wajib Pajak sedang sakit atau kena musibah.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Tanda Bukti penerimaan Surat Keberatan sangat Diperlukan untuk memenuhi ketentuan
formal.

Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya
ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dihitung mulai
diterbitkannya surat ketetapan pajak sampai saat diterimanya Surat Keberatan tersebut oleh
Direktorat Jenderal Pajak.

Tanda bukti penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol
baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berakhir.

Tanda bukti penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa keberatan dikabulkan, apabila
dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat keputusan dari Direktur
Jenderal Pajak atas Surat Keberatan yang diajukan.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Dalam keputusan keberatan ini tertutup kemungkinan utang pajaknya bertambah berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain karena ada data baru yang tadinya belum terungkap
atau belum dilaporkan.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak
maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, yaitu apabila dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan, berarti keberatan tersebut dikabulkan.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah dalam hal tanah dan atau bangunan digunakan
untuk tujuan tertentu yaitu untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak
bertujuan mencari keuntungan atau kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada
hubungannya dengan Wajib Pajak.

Contoh :
a. tanah dan atau bangunan digunakan untuk mendirikan panti asuhan, panti jompo,
rumah sakit, sekolah.
b. Seorang Wajib Pajak yang memiliki tanah dibebaskan oleh Pemerintah untuk
kepentingan Negara atau kepentingan umum dan terhadap Wajib Pajak tersebut
diberikan ganti rugi yang jumlahnya lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Bumi
dan Bangunan, dan kemudian Wajib Pajak membeli tanah dan atau bangunan baru.
Terhadap Wajib Pajak ini dapat diberi pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dengan mengajukan permohonan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Wajib Pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
antara lain, dalam hal :
a. pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;
b. pajak yang terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani,
namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.

Ayat (2)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dapat berupa kurang bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau berupa lebih bayar dengan menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau mengukuhkan
pajak yang terutang tetap dengan menerbitkan Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Nihil.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah :
a. pemeriksaan kantor
b. pemeriksaan lapangan

Ayat (2)

Ayat ini memberikan kepastian hukum baik kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam
rangka tertib administrasi perpajaka. Oleh karena itu, permohonan kelebihan pembayaran
pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Bagian Pemerintah Pusat digunakan untuk perbaikan administrasi pertanahan khususnya
sertipikasi tanah. Sejalan dengan peningkatan sertipikasi tanah yang makin meningkat, maka
bagian Pemerintah Daerah secara bertahap dapat ditingkatkan.

Ayat (2)

Penerimaan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan ini diarahkan untuk pembangunan
daerah, khususnya untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggungjawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, maka sekurang-kurangnya 80%
(delapan puluh persen) dari bagian Pemerintah Daerah merupakan hak Pemerintah Daerah
Tingkat II.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran
pajak (Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan menunjukkan aslinya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pendaftaran hak atas tanah dalam Pasal ini adalah pendaftaran hak
atas tanah pada buku tanah sebagai syarat lahirnya hak atas tanah yang berasal dari
pemberian hak atas tanah. Pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah pendaftaran hak atas
tanah pada buku tanah yang terjadi karena pemindahan hak atas tanah.

Pasal 25

Ayat (1)

Contoh :
Semua peralihan hak atas tanah pada bulan Januari 1998 oleh Pejabat yang bersangkutan
harus dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan Februari 1998 kepada direktorat
Jenderal Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam Pasal ini, antara lain,
Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3688

 

Status Peraturan
Diubah/Disempurnakan/Dicabut sebagian
Tag Peraturan