Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan aspek perpajakan pesantren pada acara Halaqah Nasional 1000 Pengasuh Pesantren di Pondok Pesantren Al-Muhajirin 2, Purwakarta (Sabtu, 23/9).

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ini mengusung tema “Fiqih Siyasah: Penguatan Kemandirian Pesantren untuk Stabilitas Nasional”.

Yon yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan tersebut menjelaskan bahwa subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dikenakan pajak sesuai dengan ketetapan yang telah diatur oleh undang-undang.

“Subjek pajak itu terdiri dari orang pribadi, badan, warisan yang belum terbagi, dan Bentuk Usaha Tetap. Apakah pesantren termasuk subjek pajak? Jawabannya adalah iya,” jelasnya.

Namun tidak semua subjek pajak merupakan wajib pajak, ada syarat lain yang harus dipenuhi untuk menjadi wajib pajak yaitu memiliki penghasilan atau yang disebut dengan syarat objektif.

“Apakah semua pajak harus dibayarkan oleh pesantren? Jawabannya adalah tidak. Tergantung kepada jenis penghasilan apa yang diperoleh, transaksi apa yang dilakukan oleh pesantren. Itulah yang kita sebut dengan syarat objektifnya,” ujar Yon di hadapan ratusan pengurus pesantren se-Indonesia.

Lebih lanjut, Yon menyampaikan bahwa ada beberapa jenis fasilitas yang diberikan pemerintah untuk mendukung peran pesantren yaitu fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

“Pada prinsipnya, setiap transaksi kena PPN, tetapi untuk kegiatan keagamaan ada jasa yang tidak kena PPN (Non Objek PPN) yaitu dari pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan non formal (di luar sekolah),” ungkapnya.

Selain itu, terdapat beberapa jasa pendidikan yang dibebaskan dari pengenaan PPN di antaranya adalah jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khutbah atau dakwah, jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan jasa lainnya dibidang keagamaan.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Sedangkan fasilitas PPh yang diberikan pemerintah untuk mendukung peran pesantren salah satunya adalah sisa lebih, yaitu selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan dikurangi biaya.

“Sisa lebih tersebut dengan syarat digunakan kembali untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 4 tahun sejak sisa lebih diterima, maka atas sisa lebih tersebut tidak terutang pajak,” jelas Yon.

Acara halaqah nasional ini membahas berbagai permasalahan terkait kemandirian pesantren yang di antaranya terkait inkubasi pesantren dan keadilan pajak bagi pesantren serta pengembangan wawasan kebangsaan melalui kurikulum pesantren.

 

Pewarta: Fikri Mediyanto
Kontributor Foto: Fikri Mediyanto
Editor: Sintayawati Wisnigraha

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.