
Profesor Jay Rosengard, dari Harvard Kennedy School, Harvard University, Amerika Serikat, menyatakan ada 10 (sepuluh) faktor sukses digitalisasi pajak dalam acara bertajuk “Success Factors for Tax Digitalization Report” yang diselenggarakan melalui konferensi video secara daring (Rabu, 2/9). “Faktor-faktor tersebut berdasarkan hasil riset yang kami lakukan,” terangnya.
Kesepuluh faktor tersebut yaitu lingkungan yang mendukung (enabling environment), visi dan strategi (vision and strategy), manusia yang berubah (people change), proses digital yang tepat (digitally fit processes), teknologi yang tepat (right technology), pendekatan yang bertahap (phased approach), komunikasi (communication), dipicu oleh data (be data driven), berorientasi pada pengguna (be user-centric), dan kolaborasi (collaborate).
Isvary Sivalingam, Southeast Asia Lead dari Better Than Cash Alliance (BTCA) yang juga terlibat dalam riset tersebut menyimpulkan bahwa perjalanan digitalisasi pajak (tax digitalization) di Indonesia yang dimulai sejak 2002 adalah suatu investasi yang signifikan. “Digitalisasi pajak telah menghasilkan keuntungan, tidak hanya bagi Wajib Pajak namun juga otoritas perpajakan yang mengadminisitrasikan pajak di semua tingkatan/level,” ujarnya.
Dia menjelaskan beberapa manfaat dari digitalisasi pajak, antara lain meningkatnya kepatuhan pajak dan penerimaan perpajakan, berkurangnya biaya kepatuhan karena otomatisasi proses bisnis, meningkatnya transparansi dan akuntabilitas, serta memperluas basis data perpajakan yang mendorong tumbuhnya sektor ekonomi formal.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu dalam sambutannya untuk membuka acara tersebut mengungkapkan bahwa digitalisasi pajak merupakan salah satu inisiatif kebijakan dalam pendapatan negara. “Digitalisasi pajak merupakan salah satu aspek dari reformasi perpajakan untuk meningkatkan tax ratio,” terangnya.
Selanjutnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan bahwa salah satu proyek penting dari program reformasi perpajakan yang sedang berlangsung saat ini adalah pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (new core tax system). “Perubahan sistem tersebut bukan sekadar perubahan teknologi informasi, namun juga mendesain ulang proses bisnis untuk mempersingkat proses administrasi perpajakan dan memotong tahap-tahap yang tidak perlu,” ujarnya.
Lebih lanjut Suryo menjelaskan bahwa sistem yang baru akan berorientasi pada pengguna (be user-centric), berbasis pendekatan berdasarkan risiko kepatuhan (risk-based compliance approach), serta multi saluran dan layanan tanpa batas (omni channels and borderless services). Tujuannya agar data dan/atau informasi Wajib Pajak lebih komprehensif dan akuntabel.
Sebagai informasi, acara ini merupakan diseminasi hasil riset BTCA, sebuah lembaga internasional yang berbasis di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Riset tersebut berkaitan dengan strategi dan pengalaman perjalanan digitalisasi pajak dengan metode studi kasus di 3 (tiga) negara, yaitu Indonesia, Meksiko, dan Rwanda. Peserta diseminasi secara daring itu antara lain para pejabat eselon di lingkungan Kementerian Keuangan, akademisi, praktisi perpajakan, hingga perwakilan lembaga internasional. (dhna)
- 150 kali dilihat