Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1%, dari 11% menjadi 12% pada 2025 mendatang. Kebijakan ini tentu memicu beragam reaksi di masyarakat, dari dukungan hingga kekhawatiran, terutama terkait dampaknya terhadap harga kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat. Penyuluh Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur III Siti Rahayu menjelaskan bahwa kebijakan ini telah dirancang dengan memperhatikan keberlanjutan ekonomi masyarakat.

“Kenaikan tarif PPN ini merupakan amanat undang-undang sejak tahun 2021. Pajak tersebut akan dikembalikan lagi ke masyarakat melalui berbagai program sosial, seperti subsidi energi, bantuan langsung tunai, dan subsidi pupuk. Dan jangan khawatir, barang kebutuhan pokok dan jasa strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum tetap dibebaskan dari PPN,” jelasnya dalam siniar Bakso Malang di kanal YouTube Balai Diklat Keuangan (BDK) Malang (Selasa, 27/8).

Kebijakan ini juga diimbangi dengan upaya melindungi kelompok berpenghasilan rendah, seperti pembebasan pajak penghasilan (PPh) bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak dikenai pajak,” tambahnya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memperluas bracket penghasilan untuk penghitungan pajak hingga Rp60 juta per tahun dengan tarif PPh terendah sebesar 5%.

“Kenaikan PPN 1% dapat meningkatkan tax ratio untuk memastikan stabilitas ekonomi dan melaksanakan pembangunan infrastruktur serta program-program jangka panjang yang membuka lapangan kerja baru,” pungkasnya.

 

Pewarta: Wino Rangga Prakoso
Kontributor Foto: Wino Rangga Prakoso
Editor: Anum

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.