Kegiatan Edukasi dan Dialog Perpajakan bagi Pedagang  Pengumpul

Pedagang pengumpul dari daerah kabupaten Lima Puluh Kota dan kabupaten Tanah Datar datang ke Kantor Pajak Pratama Payakumbuh untuk memenuhi undangan kegiatan edukasi dan dialog perpajakan di Aula KPP Pratama Payakumbuh (Rabu, 24/01). Adapun topik kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan adalah kewajiban perpajakan bagi pedagang pengumpul.

Hasil bumi atau hasil pertanian adalah barang yang banyak dikumpulkan oleh pedagang yang nantinya akan dikirim ke pedagang besar di kota Padang. Alasan kenapa banyak pedagang pengumpul di kabupaten Lima Puluh Kota adalah karena berlimpahnya hasil pertanian di daerah itu. Kecamatan Kapur IX, Pangkalan dan Harau merupakan daerah di kabupaten Lima Puluh Kota yang produksi hasil pertaniannya paling besar. Hasil pertanian di kabupaten Lima Puluh Kota adalah gambir, karet, pinang, kulit manis, dan coklat. Dari sekian banyak jenis hasil pertanian yang ada di kabupaten Lima Puluh Kota, yang paling banyak dibudidaya dan terbesar adalah gambir. Menurut data yang ada, kabupaten Lima Puluh Kota adalah daerah penghasil gambir terbesar di indonesia bahkan di dunia.

Gambir yang sudah diolah oleh petani kemudian dijual kepada pengepul atau pedagang pengumpul di kabupaten Lima Puluh Kota. Selanjutnya, pedagang pengumpul dari kabupaten Lima Puluh Kota membawa dan menjual lagi gambir ke pedagang besar di Padang. Eksportir membeli gambir dari pedagang besar kemudian mengekspornya ke beberapa negara seperti : India, Pakistan, Hongkong, Italia, Korea, Jepang, Malaysia, Perancis, dan Singapura.

Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai daerah penghasil gambir terbesar di dunia, seharusnya pedagang pengumpulnya memiliki tingkat penghasilan yang tinggi atau paling tidak menengah ke atas. Namun demikian, apabila dilihat dari segi perpajakan, tingkat kepatuhan petani dan pedagang pengumpul di daerah kabupaten Lima Puluh Kota bisa dibilang masih tergolong rendah. Hal ini didukung oleh data penerimaan KPP Pratama Payakumbuh yang menunjukkan bahwa kontribusi penerimaan pajak dari sektor ini masih sangat kecil. Rendahnya tingkat kepatuhan pajak pedagang pengumpul bisa terjadi karena beberapa hal yaitu karena sengaja tidak patuh atau karena ketidaktahuan mengenai peraturan terbaru.

Kepala KPP Pratama Payakumbuh, Suprapto didampingi Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, F.G. Sri Suratno menyambut para pedagang pengumpul lalu membuka kegiatan edukasi dan dialog perpajakan tentang kewajiban pajak pedagang pengumpul. Dalam sambutannya, Suprapto menghimbau agar para pedagang pengumpul mengajukan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusa Kena Pajak (PKP). “Namun, apabila bapak/ibu (pedagang pengumpul) tidak mau atas permohonan sendiri untuk dikukuhkan, maka kami (KPP Pratama Payakumbuh) bisa mengukuhkan secara jabatan dan menarik pajak atas transaksi paling lama 5 tahun terakhir,” imbau Suprapto.

Suprapto juga menyatakan bahwa pajak itu tidak ditanggung pedagang pengumpul melainkan pajak yang ditanggung oleh konsumen akhir. Pedagang pengumpul hanya diminta kerjasamanya untuk dapat memungut PPN atas transaksi penjualan gambir serta melaporkannya.

Setelah memberi kata sambutan, acara dilanjutkan dengan pemberian materi mengenai kewajiban pajak pedagang pengumpul oleh Kabid P2 Humas, F. G. Sri Suratno. Ia memaparkan latar belakang mengapa hasil bumi atau hasil pertanian bisa menjadi barang kena pajak yang awalnya dibebaskan menjadi dikenakan PPN.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 memang menyatakan bahwa atas penyerahan barang hasil pertanian oleh petani atau kelompok petani dinyatakan sebagai barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, atas sebagian pasal dari peraturan tersebut, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) telah mengajukan permohonan uji materiil. Pada tahun 2013, KADIN memenangkan permohonan uji materiil tersebut sehingga terbitlah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Hasil Pertanian yang Dihasilkan dari Kegiatan Usaha di Bidang Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

Keluarnya Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013 telah mencabut beberapa pasal pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, sehingga hasil pertanian seperti gambir, karet, pinang, coklat, kulit manis menjadi dikenakan PPN. Berdasarkan  data  pada  Sistem  Informasi  Administrasi  Perkara  Mahkamah  Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013  telah dikirim pada  tanggal  tanggal  23  April  2014.  Dengan  demikian,  apabila  Pemerintah  sampai dengan tanggal 21 Juli 2014 belum mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf  a,  Pasal  2  ayat  (1)  huruf  f,  dan  Pasal  2  ayat  (2)  huruf  c  Peraturan Pemerintah  Nomor  31  Tahun  2007,  maka  sejak  tanggal  22  Juli  2014  ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Saat berjalannya acara, pedagang pengumpul juga diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan, usul, dan pertanyaan. Beberapa dari pedagang pengumpul memberikan tanggapan dan pertanyaan mengenai gambir yang tidak dituliskan dalam peraturan yang dipaparkan. Suprapto menjawab pertanyaan tersebut kemudian diperkuat oleh peraturan yang dijelaskan oleh Sri Suratno.

Tidak terasa acara sudah berjalan lebih dari tiga jam, banyak argumen dan pertanyaan yang diajukan oleh pedagang pengumpul dan telah terjawab. Sebelum acara ditutup, Suprapto menghimbau agar wajib pajak jangan segan untuk datang ke kantor pajak untuk menjalankan kewajiban maupun sekedar berkonsultasi. “Bapak dan ibu tidak perlu segan datang ke kantor pajak, kalau ada yang ingin ditanyakan langsung datang saja. Kami menyediakan layananan konsultasi namanya helpdesk. Bapak dan ibu bisa bertanya apa saja tentang pajak di sana. Datang saja, semua itu gratis karena mereka (Account Representative) sudah dibayar untuk itu. Tidak ada satupun pelayanan di kantor pajak yang dipungut biaya,” tutup Suprapto.