Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Nanga Pinoh Dedy Agus Prabowo mengatakan dengan tingginya angka kepemilikan sepeda motor, KP2KP Nanga Pinoh melakukan edukasi dan dialog perpajakan terkait proses bisnis dengan para pengusaha sub dealer di Kabupaten Melawi (Rabu, 14/08).

Dalam edukasi dan dialog kelas pajak yang diadakan di Ruang Kelas Pajak KP2KP Nanga Pinoh ini, Dedy menjelaskan dalam proses penjualan sepeda motor.

“Kalau kita perhatikan, peningkatan penggunaan sepeda motor sangat tinggi. Dalam satu rumah tangga saja bisa saja memiliki 2-3 sepeda motor. Penambahan jumlah motor juga dikarenakan kecilnya uang muka yang harus dibayar konsumen  untuk mendapatkan kredit sepeda motor,” ujar Dedy dalam acara tersebut.

Menurut salah satu peserta kegiatan Weni, kegiatan proses pembelian sepeda motor termasuk mudah karena dapat bekerja sama dengan pihak lembaga keuangan. “Ya, dalam satu bulan kami dapat menjual sekitar 25 hingga 30 motor,” jelasnya.

Dalam acara tersebut Dedy juga menjelaskan bahwa dalam proses bisnis subdealer dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang meliputi penjualan sepeda motor baru dan penjualan sparepart dan penyerahan jasa (JKP) service/ bengkel.

“Atas penyerahan BKP penjualan sparepart dapat terutang PPN, JKP jasa service PPN dan PPh 23, tentunya ada gaji honor upah karyawan tentunya PPh 21, termasuk juga pemberian jaket kaos helm dapat terutang PPN,” ungkap Dedy.

Adapun beberapa permasalahan kasus-kasus dalam proses bisnis penjualan sepeda motor terkait perpajakan masih sering terjadi. “Pertama masih terdapat penyerahan sepeda motor antar cabang yang belum dikenakan PPN. Pemberian barang promosi seperti tas, jaket, kaos serta helm belum dikenakan PPN. Kedua uang muka penjualan yang belum diterbitkan faktur pajak, untuk sepeda motor konsumen dengan mudah melakukan pembelian dengan uang muka yang tidak begitu besar. Di sini perlu mendapat perhatian lebih dari pengusaha mengenai penerbitan faktur pajak, karena banyak yang terjadi penerimaan uang muka yang belum diterbitkan faktur pajak,” kata Dedy.

“Selanjutnya uang muka penjualan yang hangus tidak dilaporkan sebagai penghasilan lain-lain. Tidak menutup kemungkinan adanya konsumen yang membatalkan pesanan, sehingga seharusnya uang muka yang batal tersebut dicatat sebagai henghasilan lain-lain. Kemudian selisih biaya pengurusan BBN yang dibayarkan konsumen belum dicatat sebagai penghasilan lain-lain dan belum dikenakan PPN,” lanjut Dedy.

Kemudian permasalahan terakhir ialah pengenaan PPh 23 atas jasa bengkel dan pembayaran PPh 23 cabang dilakukan oleh kantor pusat dengan menggunakan NPWP kantor pusat. Padahal pada prinsipnya PPh 23 pemotongan, penyetoran dan pelaporan dilakukan secara desentralisasi. “Yaitu di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan obyek pemotongan PPh 23, sehingga atas transaksi-transaksi pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, PPh 23 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan,” jelas Dedy.

Di akhir acara Dedy mengajak para peserta untuk ikut andil dalam memperbaiki permasalahan-permasalahan yang masih sering terjadi dalam proses bisnis penjualan sepeda motor. “Kami akan selalu siap membantu bapak ibu sekalian untuk memperbaiki proses dan menemukan solusi yang tepat, utamanya dalam bidang perpajakan”, tutup Dedy.