Di sebuah ruang kuliah Gedung M Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), suasana tampak berbeda dari biasanya. Para mahasiswa duduk rapi mengikuti perkuliahan, namun ada yang mencuri perhatian: barisan mahasiswi tampil mengenakan kebaya dan kain batik, berpadu dengan mahasiswa lain yang memakai beragam pakaian adat daerah. Hari itu hanya hari biasa di tanggal 20 bulan Maret tahun lalu, bukan Hari Kartini ataupun Agustusan, tapi nuansa keindonesiaan dan semangat kebangsaan terasa begitu kuat tercermin dari beragamnya pakaian adat.

Di tengah suasana yang bernuansa budaya itu, bukan topik sejarah atau kesenian yang menjadi pembahasan, melainkan... pajak.

Momen tersebut terjadi dalam rangka perkuliahan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT), yang menurut hemat penulis, memang memiliki aturan unik—mahasiswanya wajib mengenakan pakaian adat ketika mengikuti kelas. Dan di tengah perkuliahan itu, berlangsung pula kegiatan inklusi perpajakan, hasil kerja sama antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Wajib Pajak Besar dan FIA UI.

Topik diskusi MPKT hari itu adalah Pajak. Mulai dari pengenalan apa itu pajak, manfaatnya bagi negara, sampai ke pembahasan berbagai peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Para mahasiswa tidak hanya menjadi pendengar, mereka berdiskusi, bertanya, bahkan menyampaikan kritik-kritik membangun terhadap sistem perpajakan di negeri ini. Semuanya dilakukan dalam suasana yang formal layaknya dosen dan mahasiswa namun tetap diselingi canda tawa.

“Saya yakin temen-temen punya rasa cinta, apa pun kalau sudah cinta pasti akan dilakukan, begitulah cara kita menempatkan pajak sebagai tanda cinta kita kepada tanah air,” gurau Ahmad Rifan Penyuluh Pajak Ahli Muda yang menjadi narasumber pada hari itu.

Dalam diskusi itu, mahasiswa dan mahasiswi tidak segan menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang kritis kepada petugas pajak,
“Mengapa masih banyak terjadi penggelapan pajak?” tanya seorang mahasiswi yang berkebaya putih bermotif bunga.
"Bagaimana pemerintah mengawasi kepatuhan wajib pajak?" timpal seorang mahasiswa yang mengenakan ulos di bahunya.
Seorang mahasiswi yang mengenakan kebaya dengan motif jarik turut mengajukan pertanyaan, "Apa peran masyarakat dalam pelaporan perpajakan?".
Semua pertanyaan itu mengalir secara alami, mencerminkan ketertarikan dan keaktifan mahasiswa dalam memahami isu-isu perpajakan.

Di ruang kuliah itu, semangat perjuangan perempuan untuk memperoleh pendidikan dan kesetaraan hadir dalam bentuk yang nyata, mahasiswi yang berias dalam balutan kebaya, berdiri, menyuarakan pendapat mereka soal pajak dan masa depan bangsa.

Di balik semua itu, kebaya yang mereka kenakan bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari budaya dan identitas. Ketika dipadukan dengan semangat belajar dan berdiskusi soal pajak, kebaya menjadi saksi bahwa perempuan muda Indonesia tidak hanya anggun, tapi juga tangguh dan berdaya pikir.

Program inklusi pajak sendiri merupakan salah satu strategi DJP untuk menanamkan kesadaran pajak sejak dini. Tak hanya menyasar perguruan tinggi, program ini juga hadir di jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti SD, SMP, dan SMA. Namun, kerja sama dengan FIA UI terasa istimewa karena menyentuh ruang diskusi akademik yang lebih dewasa dan kritis.

Kerja sama antara Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan FIA UI pun secara resmi diperpanjang melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) oleh Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Besar Yunirwansyah, bersama Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI, Chandra Wijaya. Ini menjadi penegasan bahwa sinergi antara dunia pajak dan dunia pendidikan adalah kunci untuk membentuk generasi sadar pajak yang berintegritas.

Kita baru saja merayakan Hari Kartini, 21 April lalu. Sebuah hari yang mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan, keberanian berbicara, dan peran aktif perempuan dalam membangun bangsa. Maka, momen diskusi pajak di ruang kuliah FIA UI itu adalah salah satu bukti bahwa semangat Kartini terus hidup, tak hanya di rumah dan sekolah, tapi juga dalam percakapan tentang kebijakan negara.

Pajak mungkin bukan topik yang populer di kalangan mahasiswa. Namun, dengan pendekatan langsung dari petugas pajak dan suasana perkuliahan yang mendukung, diskusi mengenai pajak membantu mahasiswa lebih memahami peran penting pajak dalam pembangunan negara. Seperti kebaya yang melambangkan identitas dan budaya, kesadaran pajak juga menjadi bagian dari identitas bangsa yang harus dijaga dan diteruskan oleh generasi muda.

 

Pewarta: Suci Zuliyan Safitri
Kontributor Foto: Suci Zuliyan Safitri
Editor: Yacob Yahya

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.