Pemerintah melalui Menteri Keuangan baru saja mengeluarkan beleid terbaru dalam rangka memberikan insentif di sektor properti. Aturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.010/2019, 86/PMK.010/2019 dan 92/PMK.010/2019. Sebagai upaya sosialisasi, KPP Pratama Lamongan melaksanakan gelar wicara di Radio Mahkota 90.5 FM Babat, Lamongan (Jumat, 5/7).

Acara yang dimulai pukul 13.00 sampai dengan 14.00 WIB mendapat respon sangat baik dari wajib pajak dan masyarakat sekitar pada umumnya. Tidak hanya dari masyarakat di Kabupaten Lamongan, tetapi juga dari masyarakat Tuban dan Bojonegoro. Hadir dari KPP Pratama Lamongan Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Dedy Marthadinata beserta dua anggotanya, Yudi Santoso, dan Anang Purnadi.

Rosikin dari Ngimbang menanyakan pajak atas pembuatan Rumah Toko (Ruko), apa saja pajak yang harus dibayar? Dalam proses pembuatan ruko, dipisah menjadi 3 tahap. Proses awal pembelian tanah terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) yang dibayarkan ke Pemerintah Daerah Lamongan.

Pada saat pembangunan, Rosikin dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) bila pembangunan tidak dikerjakan oleh pemborong atau developer. Pada saat penjualan, ada Pajak Penghasilan atas Hak atas Tanah dan atau Bangunan.

Iriana dari Babat menanyakan, “Saya membangun rumah sendiri, apakah saya dikenakan pajak properti atau hanya cukup membayar Pajak Bumi dan Bangunan?”.  Iriana akan dikenakan KMS jika memenuhi syarat yang telah ditentukan. Adapun syaratnya adalah :

  1. Konstruksi utama dari kayu, beton, pasangan batu bata, atau bahan sejenisnya dan/atau baja.
  2. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha baik di atas tanah atau di perairan.
  3. Luas keseluruhan bangunan paling sedikit 200 meter persegi.

Untuk tarifnya 2% x biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan, dalam hal ini tidak termasuk harga tanahnya. Pembayarannya sebaiknya dilakukan setiap bulan, sesuai dengan jumlah pengeluaran untuk membangun selama bulan tersebut.

Hermin dari Widang, Tuban menanyakan tentang kewajiban pajak sebagai perusahaan developer. “Sebagai developer, kewajiban pajaknya adalah Pajak Penghasilan dan PPN atas rumah atau properti yang dijual. Jika menjual properti mewah, maka wajib memungut dan membayarkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),” jawab Anang.

Menjawab pertanyaan dari Doni yang beralamat Sumberrejo, Bojonegoro bahwa batasan harga rumah yang tidak dikenakan PPN sesuai PMK Nomor 81/PMK.010/2019 untuk wilayah Jawa Timur tahun 2019 sebesar 140 juta rupiah, dan tahun 2020 sebesar 150,5 juta Rupiah. Syarat lain adalah luas rumah maksimal 36 meter persegi, pembelian rumah pertama, tidak dijual dalam empat tahun, luas tanah minimal 60 meter persegi.

Selain itu disampaikan pula PMK Nomor 86/PMK.010/2019 yang berlaku mulai 11 Juni 2019 yang mengatur batasan dari semua jenis kelompok hunian mewah, menjadi Rp 30 miliar atau lebih. Batasan pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) sektor hunian mewah mengalami kenaikan. Dalam ketentuan sebelumnya, rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga Rp 20 miliar ke atas. Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga Rp 10 miliar atau lebih akan dikenakan PPnBM sebesar 20%.

Aturan ketiga, pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 atas hunian mewah, dari 5 persen menjadi 1 persen. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.010/2019 yang berlaku mulai tanggal 19 Juni 2019. Kebijakan-kebijakan pajak dalam sektor properti diharapkan mampu mendorong pertumbuhan bisnis properti secara umum, dan dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal untuk masyarakat baik dikalangan Masyarakat berpenghasilan Rendah (MBR) maupun kalangan kelas menengah ke atas.