Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kata Zonasi saat ini seakan menjadi trending topic nomor1 di Indonesia. Carut marut proses PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) seolah menyita waktu dan tenaga orang tua dan calon murid baru. Konteks kata zonasi dalam sistem pendidikan merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Kemendikbud melalui Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengatakan bahwa semangat dan filosofi zonasi adalah program afirmasi untuk melindungi anak yang tidak mampu agar mendapatkan sekolah. Sekolah negeri dibiayai oleh pajak rakyat dan maka fasilitas pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada rakyat secara adil. Zonasi bukan hanya pemerataan akses pada layanan pendidikan saja, tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan. Menurut KBBI zonasi adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan. Contoh implementasi lain zonasi adalah pembagian waktu di Indonesia (WIB, WITA, WIT). Selain itu Indonesia juga pernah menerapkan zonasi pembayaran Ongkos Naik Haji (ONH) sesuai embakrasi pemberangkatan jamaah haji.  

Zonasi PPh

Jauh sebelum penerimaan siswa baru mengenakan sistem zonasi, perpajakan Indonesia telah lama menggunakan terminologi zonasi dalam pemungutan pajak.  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Peraturan sebelumnya yang mengatur NPPN adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. Lampiran Perdirjen tersebut memuat daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang dikelompokkan menurut wilayah, yakni : Pertama, meliputi 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak. Kedua, ibukota propinsi lainnya selain sepuluh ibu kota yang tersebut di atas. Misalnya Kota Palangkaraya, Mataram, Kupang, Banjarmasin dkk. Ketiga, daerah lainnya artinya selain dua kriteria sebelumnya, misalnya Kota Mojokerto, Sidoarjo, Madiun, Karawang, Salatiga dll.

Siapa yang dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto? Yaitu wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan dan penghasilan yang diperolah berasal dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) serta menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan.

 

Contoh 1  Norma Penghitungan Penghasilan Neto :

 

Bapak Tony (K/0) adalah seorang dokter spesialis jantung di kota Surabaya. Peredaran bruto yang diperoleh dari praktik dokter selama tahun 2018 sebesar Rp6.000.000.000. Selain berpraktik sebagai dokter, Bapak Tony  juga mempunyai usaha Perkebunan Tebu di kota Jombang. Peredaran bruto dari usaha perkebunan tahun 2018 sebesar Rp200.000.000. Bapak Tony hanya melakukan pencatatan. Sesuai Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015, Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk profesi dokter di Surabaya adalah sebesar 50%, untuk perkebunan tabu di Jombang adalah sebesar 10%. Penghitungan pajak terutang tahun 2018 adalah:

Peredaran Bruto sebagai dokter tahun 2018                      Rp          6,000,000,000

Peredaran Bruto perkebunan tebu tahun 2018                  Rp             200,000,000

Penghasilan Neto sebagai dokter tahun 2018 (50%)          Rp          3,000,000,000

Penghasilan Neto usaha peternakan tahun 2018 (10%)     Rp              20,000,000

Total Penghasilan Neto                                                            Rp          3,020,000,000

PTKP                                                                                            Rp                54,000,000

Penghasilan Kena Pajak                                                           Rp         2,966,000,000

PPh tahun 2018

abc

                                                                                                 Rp             834,800,000

PPh Pasal 25           1/12 x Rp834.800.000                        Rp               69,566,667

 

Contoh 2  Norma Penghitungan Penghasilan Neto :

 

Bidan A tinggal di Kota Surabaya Penghasilan setahun Rp100,000,000

Bidan B tinggal di Kota Banjarmasin Penghasilan setahun Rp100,000,000

Bidan C tinggal di Kota Tulungagung Penghasilan setahun Rp100,000,000

 

Sesuai Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015, Norma Penghitungan Penghasilan Neto maka prosentase NPPN usaha praktik bidan di Kota Surabaya adalah 29%, Kota Banjarmasin 28% dan Kota Tulungagung 27% sehingga meskipun penghasilan sama, pajak yang harus dibayar masing masing bidan berbeda, dengan rincian sebagai berikut :

adc

Pertimbangan perbedaan prosentase NPPN tak ubahnya perbedaan Upah Minimum Regional (UMR) pasti mempertimbangkan segala aspek dan unsur ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi suatu daerah, beban biaya hidup minimal, dan lain sebagainya di mana variabel yang mempengaruhi dapat dianalisa dan terukur secara statistik.

Zonasi PPN

Sebagai pajak tidak langsung PPN juga memiliki beberapa macam zonasi. Fasilitas zonasi tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan suatu daerah untuk tujuan tertentu, semisal meningkatkan neraca perdagangan guna tujuan ekspor. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, mendapat fasilitas bebas PPN, PPNBM, cukai yang hasilnya terutama untuk diekspor. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.

Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai. Di kawasan bebas, hasilnya tidak harus untuk ekspor. Ada beberapa Kawasan Bebas di Indonesia yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) antara lain, PP 46 Tahun 2007 stdtd PP 5 Tahun 2011 untuk Kawasan Bebas Batam, PP 47 Tahun 2007 untuk Kawasan Bebas Bintan dan PP 48 Tahun 2007 untuk Kawasan Bebas Karimun. Selain itu ‘zonasi’ PPN juga mengenal yang namanya toko bebas bea. Toko Bebas Bea adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal impor dan/atau barang asal Daerah Pabean untuk dijual kepada orang tertentu. (PP Nomor 32 Tahun 2009).

Termaktub dalam tujuan zonasi sekolah adalah bahwa pemerintah ingin menghadirkan keadilan dan kesetaraan dalam sistem pendidikan nasional. Namun demikian konsep zonasi di atas kertas terkadang tidak seindah implementasi di lapangan. Sistem zonasi perpajakan juga bertujuan untuk keadilan dalam pemungutan pajak. Hadirnya PP 46/2013 Jo PP 23/2018 tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu bertujuan untuk kepraktisan dan keadilan. Memang kepraktisan terkadang tak dapat disajikan dalam satu mangkuk keadilan. Penerimaan siswa baru menawarkan alternatif jalur zonasi dan jalur prestasi. Demikian juga sistem perpajakan, pemerintah menawarkan afternatif metode penghitungan pajak sesuai kriteria (Pembukuan, Pencatatan/NPPN, Final peredaran bruto tertentu) yang paling mendekati keadilan pajak sesuai perspektif wajib pajak. Hal ini sejalan dengan pendapat Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims". Asas pemungutan pajak yang kita kenal Asas Equality bertujuan untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan antara kewajiban membayar pajak dengan kemampuan wajib pajak. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan  dan sumber penghasilan wajib pajak. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.