Yuk, Intip Pajak Jastip

Oleh: Dio Kusuma Wijaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hampir semua kalangan masyarakat kita, khususnya yang telah berpenghasilan cukup menyukai kegiatan berbelanja, baik berbelanja secara konvensional, maupun online. Di era digital seperti sekarang, kita semakin dimanjakan oleh berbagai pilihan tempat untuk berbelanja online atau yang biasa disebut dengan online marketplace.
Sekarang, online marketplace tumbuh subur seiring dengan kemajuan teknologi. Terlebih lagi, toko-toko online kelas rumahan yang mulai menjamur jumlahnya memanfaatkan media sosial untuk menawarkan produk dagangan mereka dengan harga yang terjangkau. Hal ini juga yang menjadi peluang bisnis untuk menjadi personal shopper atau penyedia jasa titip (jastip) barang belanja.
Jastip atau jasa titip merupakan sebuah peluang usaha baru yang bermodalkan teknologi, hanya dengan menggunakan smartphone, kuota internet dan mengandalkan hasil jepretan foto, kita dapat menghasilkan omzet hingga jutaan bahkan ratusan juta rupiah. Selain tidak membutuhkan modal yang besar, peluang bisnis ini juga mudah dijalankan bahkan oleh seorang mahasiswa sekalipun.
Peluang bisnis jastip muncul karena orang sulit mengakses suatu produk, misalnya produk-produk dari H&M, Zara, Miniso dan produk-produk branded lainnya yang hanya tersedia di beberapa kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Balikpapan. Sementara yang berada di luar kota-kota besar pun ingin memiliki produk-produk branded tersebut, namun terkendala jarak jika harus berbelanja ke sana. Meskipun produk-produk tersebut ada yang tersedia secara online, tak jarang masih banyak orang yang bingung terhadap ukuran dan detail produk yang diinginkan tersebut. Karena keterbatasan inilah yang melahirkan peluang usaha jastip, dimana merka bias menanyakan lebih detil produk yang diinginkan.
Contoh: Dio, seorang pegawai kantoran di Tarakan, kesulitan membeli kemeja yang hanya dijual di H&M Balikpapan. Jika ia harus pergi ke Balikpapan hanya untuk membeli kemeja, tentu biaya transportasi bisa berkali-kali lipat dari harga kemeja. Walaupun tersedia di toko online, Dio masih ragu terkait ukuran dan kualitas kemeja. Ia hanya bisa melihat foto yang telah dipajang, tanpa bisa berinteraksi dengan penjual untuk menanyakan detail kemeja tersebut, seperti warna dan ukuran. Pilihannya akhirnya pakai jastip. Kalau dihitung ongkos kirim dan jastip, jauh lebih murah daripada harus ke Balikpapan untuk membeli langsung. Kalaupun ada kemejanya dijual di sini, harganya pasti bisa dua kali lipat dari harga di Balikpapan. Perhitungan harga dan kemudahan konsumen dalam berbelanja itulah yang akhirnya menyuburkan bisnis jastip.
Sebenarnya bisnis jastip ini sudah lama dikenal oleh masyarakat awam, berawal dari urusan sosial dan budaya. Seseorang yang sedang bepergian keluar kota dititipi oleh teman-temannya untuk dibelikan sesuatu barang/ oleh-oleh, dan seseorang itu kemudian membelikan barang sesuai dengan permintaan teman-temannya tersebut. Nah, dari urusan titip menitip inilah kemudian menjadi sebuah bisnis yang sangat menguntungkan, tak hanya bagi individu tertitip atau pelaku usaha jastip, namun bagi si penitip juga. Selain tentu saja ia mendapatkan barang yang diinginkannya, ia juga memperoleh keuntungan secara nominal karena biasanya barang yang dibeli lewat jastip lebih murah dibanding lewat online sekalipun.
Bagaimana Bisnis Jastip Menurut Kacamata Pajak?
Kegiatan jastip yang kini sudah bertranformasi dari sebelumnya hanya urusan sosial dan budaya menjadi sebuah peluang bisnis yang menguntungkan. Menurut kacamata pajak, kegiatan jastip sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Penjualan Langsung (Direct Selling) dan Penitipan Pembelian (Personal Shopper).
Direct Selling adalah sebuah metode penjualan langsung. Proses penjualan barang pesanan yang dititipbelikan oleh pembeli kepada penjual jastip dengan mengambil keuntungan dari selisih harga beli dengan harga jual.
Personal Shopper adalah proses penjualan barang pesanan yang dititipbelikan oleh pembeli kepada penjual jastip dengan mengambil keuntungan dari fee yang telah disepakati diawal oleh kedua belah pihak.
Berbeda dengan personal shopper yang berbelanja sesuai pesanan si penitip, direct selling menyediakan stok barang tertentu yang di anggap sedang sangat dicari/ hype untuk dijual di pasar Indonesia.
Kewajiban perpajakan dari usaha jastip berupa daftar, hitung, setor, dan lapor pajak. Berikut penjelasannya:
- Daftar NPWP
Orang pribadi yang menjalankan usaha jastip wajib melaporkan usahanya untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), baik dengan cara dating langsung ke Kantor Pajak domisili sesuai KTP maupun daftar online di https://ereg.pajak.go.id. Syarat untuk mendapatkan NPWP atas usaha jastip adalah melampirkan fotokopi KTP dan dokumen yang menunjukkan tempat dan kegiatan usaha, dapat berupa surat pernyataan bermaterai yang menyatakan jenis dan tempat/ lokasi kegiatan usaha, atau keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang merupakan mitra usaha Wajib Pajak. Ketentuan lengkapnya dapat dilihat di Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ/2018.
- Penghitungan Pajak
Terdapat perbedaan perlakuan penghitungan pajak antara direct selling dan personal shopper. Untuk direct selling dapat dikenakan tarif PP23 dan personal shopper dikenakan PPh Pasal 25, berikut penjelelasannya:
Jika penghasilan dari usaha jastip menggunakan metode direct selling dengan peredaran bruto/omzetnya dalam setahun tidak melebihi atau sama dengan 4,8 miliar rupiah, maka dapat menggunakan tarif PPh final UMKM yang diatur dalam PP 23 Tahun 2018 yakni 0,5% dari omzet, yang penyetoran pajaknya dilakukan setiap bulan.
Contohnya, jika Dio mendapatkan omzet bulan Januari 2020 sebesar Rp20.000.000 atas usaha jastipnya yang masuk kategori direct selling, maka pada bulan Februari 2020, Dio harus menyetorkan pajak atas penghasilannya di bulan Januari sebesar Rp 20.000.000 x 0,5% = Rp100.000,00.
Apabila menggunakan metode personal shopper, sesuai dengan pasal 2 ayat (3) dan (4) huruf h PP 23 Tahun 2018, maka akan dikategorikan sebagai jasa perantara, sehingga dikecualikan dari pengenaan tarif PPh final UMKM 0,5% dan dikenakan PPh pasal 25, di mana untuk omzet yang tidak melebihi 4,8 miliar rupiah setahun, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 penghitungan penghasilan neto menggunakan norma (50% x Omzet).
Kemudian penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besaran PTKP dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Lalu atas PKP tersebut dikali dengan tarif yang digunakan sesuai Pasal 17 UU KUP, bersifat progresif sesuai dengan tingkatan Penghasilan Kena Pajak. Agar lebih jelas dan mudah dipahami, silakan baca tabel PTKP, Tarif Pasal 17, dan contoh berikut ini:
Tabel PTKP 2019
No
Keterangan
Besaran PTKP Setahun
1
Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
Rp 54.000.000.
2
Tambahan untuk WP OP Suami yang sudah menikah
Rp 4.500.000.
3
Tambahan maksimal 3 orang untuk tanggungan keluarga sedarah dalam satu garis keturunan, semenda, atau anak angkat
Rp 4.500.000/ Orang.
Tabel Tarif Pasal 17
No
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
1
Sampai dengan Rp 50.000.000
5%
2
di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000
15%
3
di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000
25%
4
di atas Rp 500.000.000
30%
Contoh:
Dio seorang Suami dan ayah dari 2 orang anak yang masih bersekolah adalah penggiat usaha jastip yang diketahui menggunakan metode personal shopper, memperoleh omzet sebesar Rp150.000.000,00 pada 2019 lalu. Bagaimanakah pengenaan pajaknya? Berikut jawabannya:
- Status PTKP = K/2 = 54.000.000 + 4.500.000 + (4.500.000 x 2) = Rp67.500.000,00
- Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto x 50% = 150.000.000 x 50% = Rp75.000.000,00
- PKP = Penghasilan Netto – PTKP = 75.000.000 – 67.500.000 = Rp7.500.000,00
- Pajak yang harus dibayar pada tahun 2019 = PKP x Tarif Pajak = 7.500.000 x 5% = Rp 375.000,00
- PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan tiap bulan pada tahun 2020 = 375.000 / 12 = Rp 31.250,00
- Penyetoran Pajak
Untuk melakukan penyetoran pajak wajib pajak terlebih dahulu membuat e-billing melalui Kring Pajak 1500200, Petugas TPT pada Kantor Pajak Terdekat, Teller/ CS Bank, maupun membuat e-billing sendiri di https://pajak.go.id. Sedangkan untuk pembayaran PP23 Kode Akun Pajaknya (KAP) adalah 411128 dan Kode Jenis Setorannya (KJS) adalah 420, untuk pembayaran PPh Pasal 25 KAP adalah 411125 dan KJS adalah 100, dan untuk PPh Tahunan KAP adalah 411125 dan KJS 200. Setelah mendapatkan kode billing tersebut, pajak dapat disetorkan melalui ATM/ Mini ATM, Internet/ Mobile Banking, maupun Teller Bank/ Kantor Pos.
Untuk PP23 dan PPh Pasal 25 angsuran paling lambat disetorkan tiap tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan untuk PPh Tahunan yang masih harus dibayar, disetorkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pelaporan SPT Tahunan.
- Pelaporan Pajak
Untuk PP23 dan PPh Pasal 25 tidak ada kewajiban pelaporan pajak bulanannya, hanya pelaporan pajak tahunannya yang wajib dilaporkan paling lambat setiap akhir bulan Maret tahun berikutnya, baik menggunakan e-filing di https://pajak.go.id maupun manual dengan mengisi formulir SPT Tahunan 1770.
Ayo, segera daftar, hitung, setor, dan lapor pajaknya, pembeli mendapatkan haknya berupa barang impiannya, penjual mendapatkan haknya berupa keuntungan hasil jastip, dan negara mendapatkan haknya dari pajak yang telah ditunaikan dengan benar. Selamat berjastip ria.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 2475 kali dilihat