Wujudkan Desa Antikorupsi dengan Pajak

Oleh: Yacob Yahya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara efektif sebuah desa memiliki wewenang untuk mengelola dana yang dikucurkan oleh negara, per 2015.
Seperti halnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, desa juga mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Setiap tahun, dana desa cenderung meningkat dengan jumlah puluhan triliun rupiah, yang digelontorkan kepada puluhan ribu desa yang tersebar di ratusan kabupaten/kota.
Sampai dengan saat ini, total dana desa yang telah diguyur oleh pemerintah senilai Rp468,9 triliun. Tahun ini, pagu dana desa ditetapkan sebesar Rp68 triliun yang didistribusikan kepada hampir 75 ribu desa di 434 kabupaten/kota. Tahun depan, pagu tersebut mencapai Rp70 triliun.
Di satu sisi, tentu hal ini menjadi berkah bagi desa untuk langsung menikmati tetesan pemerataan pembangunan karena dana desa ini terdistribusi ke puluhan ribu desa. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan bagi para perangkat desa untuk mengelola dana tersebut secara amanah dan tertib administrasi.
Faktanya, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kurun tujuh tahun selama 2015-2022, sebanyak 686 kepala desa tersandung kasus rasuah, dengan beragam modus. Misalnya, penggelembungan (mark-up) rancangan anggaran biaya, perjalanan dinas atau kegiatan fiktif, laporan fiktif, penggelapan dana, dan penyalahgunaan anggaran. Angka tersebut bertengger sebagai peringkat ketiga kasus penyelewengan keuangan negara.
Situasi ini bisa dibilang miris, karena kasus korupsi ini tersebar di berbagai daerah, mulai dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain. Penyebabnya pun rupa-rupa. Ada yang karena ingin menafkahi istri muda; ada yang lantaran mendanai usaha pribadi; ada juga yang karena hendak balik modal karena terbelit utang di masa kampanye. Jika kasus terakhir ini terjadi akibat praktik serangan fajar yang ditengarai marak terjadi pada saat pemilihan kepala desa, maka memang benarlah sudah premis yang berbunyi “proses input yang korup akan menghasilkan output yang korup juga”.
Desa Antikorupsi
Kabar baiknya, kita bisa membangun desa antikorupsi. KPK bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menggagas ide tersebut dan tahun ini terdapat 10 desa antikorupsi yang dapat menjadi percontohan bagi desa lainnya.
Kesepuluh desa tersebut adalah Detusoko Barat (Nusa Tenggara Timur), Mungguk (Kalimantan Barat), Pakatto (Sulawesi Selatan), Hanura (Lampung), Kutuh (Bali), Kamang Hilia (Sumatra Barat), Sukojati (Jawa Timur), Kumbang (Nusa Tenggara Barat), Cibiru Wetan (Jawa Barat), dan Banyubiru (Jawa Tengah). Diharapkan, dalam jangka pendek setiap provinsi memiliki minimal satu desa antikorupsi.
Sekurangnya terdapat lima komponen indikator untuk memenuhi kriteria desa antikorupsi tersebut. Pertama, penataan tata laksana. Desa tersebut perlu membangun seperangkat aturan atau keputusan kepala desa mengenai perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban APBDes. Desa tersebut juga perlu dilengkapi dengan mekanisme pengawasan dan evaluasi kinerja perangkat desa. Desa tersebut harus membangun mekanisme pengendalian gratifikasi, suap, dan benturan kepentingan. Desa perlu menyiapkan mekanisme perjanjian kerja sama yang transparan dan akuntabel dengan pihak penyedia barang/jasa. Kepala Desa beserta perangkat juga perlu mencanangkan pakta integritas.
Kedua, faktor penguatan pengawasan. Desa perlu merancang dan melaksanakan kegiatan pengawasan dan evaluasi perangkatnya. Desa harus responsif terhadap arahan dan pembinaan dari hasil pengawasan dan pemeriksaan oleh pemerintah pusat/daerah. Perangkat desa tersebut harus bersih dari tindak pidana korupsi dalam tiga tahun terakhir.
Ketiga, dimensi penguatan kualitas layanan publik. Desa perlu menyediakan layanan pengaduan bagi masyarakat, survei kepuasan masyarakat terhadap layanan, akses informasi standar layanan minimal, pembangunan, kependudukan, keuangan, dan layanan lainnya. Desa juga harus menyediakan informasi ihwal APBDes yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Dan Kepala Desa perlu mencanangkan maklumat pelayanan.
Keempat, elemen penguatan partisipasi masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa. Kesadaran publik juga perlu ditumbuhkan guna mencegah praktik gratifikasi, suap, dan konflik kepentingan. Lembaga Kemasyarakatan Desa serta warga perlu digandeng dalam pelaksanaan pembangunan desa.
Dan kelima, indikator kearifan lokal. Desa perlu menggali dan melestarikan budaya setempat atau hukum adat yang mendorong pencegahan korupsi. Tokoh adat, figur masyarakat, tokoh agama, sosok pemuda, dan kaum perempuan juga perlu diikutsertakan dalam upaya pencegahan korupsi.
Peran Pajak
Tentu pajak memiliki andil besar dalam mewujudkan desa yang bersih dari korupsi. Pertama adalah peran sumber pendanaan pembangunan desa. Pajak masih menjadi sumber utama penerimaan negara, yang mencapai 81,79% dari total anggaran penerimaan negara. Tahun ini, negara ditargetkan untuk mengumpulkan Rp1.510 triliun dari penerimaan perpajakan. Tentu sebagian dari pendapatan tersebut akan dialokasikan menjadi belanja negara berupa dana desa.
Kedua, fungsi edukasi. Kantor pajak melalui tim penyuluh pajak, dapat memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai aspek perpajakan dalam mengelola dana desa. Tertib administrasi di bidang perpajakan merupakan salah satu unsur dalam membangun tata kelola keuangan desa yang baik. Hal ini juga bertujuan untuk membangun kepatuhan perpajakan para bendahara desa.
Dan ketiga, tugas pengawasan. Jika saja secara kasar kita proyeksikan penerimaan pajak dari dana desa sekitar 5%, dapat kita asumsikan bahwa potensi penerimaan pajak tahun depan dari dana desa sebesar Rp3,5 triliun. Para bendahara desa yang tertib memotong, memungut, membayar, dan melaporkan pajak ini turut serta dalam mengamankan penerimaan negara dan pada gilirannya akan kembali mengucur sebagai dana desa.
Dengan demikian, semangat desa antikorupsi ini merupakan dambaan kita bersama. Mari kita wujudkan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 222 kali dilihat