Wawancara dengan Prabu Erlangga, "Reformasi"

Oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ini adalah hari wawancara untuk seleksi penerimaan pegawai baru, Wiro benar-benar bersemangat menyambutnya, jika setahun yang lalu dialah yang maju untuk diwawancarai, hari ini berbalik sepenuhnya, Wiro adalah pewawancara.
Semula semua berjalan lancar dan tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatian, sampai seorang datang dengan penampilan yang sugguh benar berbeda dengan yang lainnya, semua orang telah sepakat bahwa kemeja slimfit adalah model terbaik saat ini untuk dipakai, juga dengan potongan rambut, semuanya memakai garis pinggir, kecuali seorang yang ini, tidak ada satupun dari model-model dan gaya-gaya terbaru itu yang dibawanya, tidak ada satu hal pun yang nampak ingin diperlihatkan olehnya, iya, begitu saja, kalimat ‘begitu saja’ adalah yang paling tepat disandingkan dengan penampilannya. Tak ada basa-basi, duduklah seorang ini di kursi yang telah disediakan oleh pewawancara, berhadap-hadapan.
"Jadi apa yang anda miliki? Kemampuan yang bisa kami manfaatkan?"
"Aku bisa berpikir, berpuasa, dan menunggu."
Ini sungguh tidak biasa, belasan pelamar yang telah ia wawancarai semuanya berlomba-lomba menunjukkan keahlian yang bagi umumnya orang itu sangat dibutuhkan dalam dunia perpajakan, jika ditanya mereka selalu bilang tentang akuntansi, keahlian Informasi teknologi, atau kepandaian dalam berkomunikasi, menyusun strategi dan semacamnya. Tetapi berpikir, berpuasa, dan menunggu, bagaimana bisa seorang dengan percaya dirinya menganggap itu sebagai keahlian.
"Baiklah, jika memang begitu apa yang bisa kami peroleh dari keahlian berfikir, berpuasa, dan bersabar yang anda miliki?"
Wiro tetap berusaha melanjutkan seperti biasa.
"Aku melihat banyak hal yang terjadi di dalam diri kalian, setiap hari berpuluh-puluh dan mungkin beratus-ratus dari kalian menjelaskan tentang KUP, dari pusat ibu kota hingga pedalaman, tentang kewajiban dan sanksi-sanksi, tentang tarif dan tata cara. Tentang penyetoran dan pelaporan, tidak ada yang salah dengan itu semua, masyarakat perlu tahu memang, salut."
"Oke terimakasih, tapi aku rasa anda tidak menjawab pertanyaan."
"Dari hal-hal dan perkakas-perkakas itu, aku selalu berharap kalian tidak lepas dan tidak pernah melupakan yang jauh lebih berharga dari itu semua. Semua kertas-kertas itu, Semua Undang-Undang itu dan peraturan-peraturan itu, semua SOP-SOP itu, dibuat demi mempermudah dan mengawasi berlangsungnya kegiatan utama kalian, mengumpulkan dana pajak, benar begitu kan? Aku harap kalian tidak malah terjebak di dalamnya, dan menjadikan semua perkakas itu malah berbalik menyulitkan, perkakas-perkakas itu tidak pernah menjadi inti, di manakah inti? Seseorang melunasi hutang pajaknya? Seseorang menjadi wajib pajak terpatuh? Penerimaan tercapai? Progam-progam pemerintah berjalan lancar? Perekonomian meningkat, lapangan kerja bertambah, dan kemiskinan berkurang? Aku rasa lebih dari itu, sesuatu yang disebut kepercayaan, seorang yang menyerahkan uangnya kepada pemerintah mestinya sudah dapat diartikan bahwa ia percaya kepada pemerintah, kepercayaan rakyat adalah satu-satunya hal yang membuat negara terus bertahan, uang-uang yang dikumpulkan itu adalah perlambang kepercayaan, kalian harus memastikan dan senantiasa memastikan bahwa uang-uang pajak yang terkumpul itu masih tetap menjadi perlambang kepercayaan dari rakyat kepada pemerintah."
"Sebenarnya apa yang ingin coba anda utarakan?"
Wiro mulai mengesampingkan pertanyaan awalnya. "Reformasi".
Hening sejenak, Wiro harus berpikir lebih keras untuk mengikuti omongan orang itu.
"Reformasi diambil dari bahasa para penduduk yang dulu kita menyebutnya dengan “negeri atas angin", itu bisa disebut dengan pembentukan kembali, dan tidak ada yang salah menurutku dengan apa yang sudah terbentuk sampai saat ini, tidak ada yang salah dengan apapun, tetapi apa yang sudah terbentuk sekarang ini bagiku terlalu rendah urusannya bagi bangsa kita, kita adalah bangsa timur, yang selalu menjunjung pencapaian rohaniah daripada material, kita adalah bangsa yang selalu lebih menjunjung tinggi urusan roh daripada jasad, kita adalah bangsa hati bukan bangsa perut, dan apa yang sudah terbentuk sampai saat ini bagiku masih terlalu banyak bercampur dengan urusan perut, pedoman kita yang berlaku saat ini adalah dimana jika perekonomian maju maka majulah derajat bangsa kita, maka penduduknya kan bahagia, hah bagaimana ceritanya bangsa timur yang rohaniah bisa menjadi serendah itu, aku tidak bilang perekonomian tidak penting, itu sangat-sangat penting, itu menunjang banyak hal, tetapi bagiku benar-benar tidak setuju jika kita tiba-tiba menjadi bangsa yang bergantung sepenuhnya pada tingkat perekonomian, leluhur kita menentukan kemajuan dengan pencapaian rohani bukan dengan jasad."
"Anda begitu idealis, tuan, anda tidak bisa berprinsip seperti itu di jaman sekarang, tanpa perekonomian yang maju, tanpa uang yang banyak anda tidak akan bertahan, tidak akan ada kepercayan yang anda bicarakan tadi datang menghampiri begitu saja tanpa anda memiliki uang yang cukup."
"Berkunjunglah ke tempatku, ke desa-desa yang pernah aku singgah di sana, di sana tidak ada listrik, dan jaringan internet, tidak ada sitem perekonomian dunia dan tidak terpengaruh dengan apapun, mereka hidup merdeka, tanpa khawatir dengan apapun yang terjadi di sini, di ibu kota ini, mereka tetap akan hidup dan bahagia mesti listrik tidak ada, mereka akan tetap hidup dan bahagia meski jaringan internet tidak ada, bahkan menurutku mereka akan tetap hidup dan bahagia sekalipun pemerintahan telah bangkrut, mereka ini adalah bangsa kita yang masih sangat murni, masih seperti yang dulu para leluhur bangsa kita lakukan, menemukan kebahagian dengan jalan rohani, dan sebisa mungkin menghindari keinginan jasadiah yang berlebihan, yang seolah-olah menjanjikan kebahagiaan di akhirnya."
"Tuan anda tidak bisa bandingkan mereka yang hidup di desa dan pedalaman itu dengan keadaan di sini."
"Sungguh aku tidak meminta kalian mencoba hidup seperti mereka, aku hanya ingin kalian mengingat mereka, bahwa sebenarnya tanpa sistem perekonomian dunia yang sekarang terasa begitu mengikat keberlangsungan kehidupan berbangsa kita ini, kita masih tetap bisa hidup dan bahagia, dan merdeka, itulah reformasi bagiku, lebih tepatnya mungkin bukanlah membentuk kembali, tapi mengembalikan ke bentuk semula, leluhur kita telah membuka jalan menuju kebahagian dan kesejahteraan yang jauh lebih mudah dan menyenangkan, jadi aku mohon kepada kalian untuk tidak terlalu banyak mengurusi perkakas itu, potonglah sedikit porsinya, dan sampaikanlah yang inti sebanyak-banyaknya, inti bagiku adalah kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah, dan semestinya kalianlah yang lebih mengerti bagaimana caranya."
"Tuan, kumohon aku sudah tidak tahan dengan pembicaraan ini, jadi intinya tuan ingin bergabung dengan kami atau tidak."
"Wiro, apa kau benar-benar berpikir bahwa kedatanganku ke sini adalah untuk bergabung menjadi pegawai pajak?"
"Hah, bagaiaman tuan bisa tahu namaku? dan untuk apa maksud kedatangan tuan yang sebenarnya?"
"Tentu saja aku tahu kau, Aku adalah Prabu Erlangga, salah satu leluhrumu yang paling kau kagumi, aku datang ke sini untuk menemuimu."
Kriiiiinggggg..... Alarm berdering begitu kencang, Wiro terbangun.
Sinar matahari tanpa disadari sudah menghangatkan wajahnya, tetapi kesadarannya belum benar-benar terlepas dari mimpi yang baru saja ia alami, bertemu dengan Erlangga, bertemu dengan orang suci, orang yang selalu dikagumi karena kebijaksanaannya.
Tentu Wiro masih selalu ingat dengan apa yang pernah disampaikan Prabu Erlangga, bahwa bagaimana dia berani mengubah tradisi kasta dan kelas-kelas di rakyatnya, sudah berabad-abad rakyat Kahuripan memisahkan kelas-kelas dan kasta-kasta mereka dengan darah dan keturunan, tetapi Erlangga yang malah tidak berasal dari situ berani mengubahnya, dia berpetuah bahwasannya, "Sudra bisa menjadi Satria dengan Dharmanya".
Erlangga menggantikan pemisahan kasta yang semula dengan sistem keturunan kepada tingkat dharma, keilmuan seseorang, berkat hal itu muncul lah banyak dari keturunan kaum sudra yang menjadi tokoh utama peradaban, tidak ada batasan tentang keturunan lagi, orang ditentukan derajatnya dengan tingkat kelimuan. Satu langkah yang sungguh bijaksana dan berani itu, tentu tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Wiro. Jarum jam yang sudah menujukkan hampir setengah delapan memaksanya untuk mengembalikan kesadaran secara penuh, terutama untuk menghapus anggapan bahwa dia bekerja di kantor pusat yang dekat dengan kampung halaman sebagaimana dalam mimpinya, dan menggantinya dengan kenyataan bahwa ia harus segera berangkat ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Labuha. (*)
*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja
- 407 kali dilihat