Oleh: Aulia Irhami Imawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Sebagai negara bekas jajahan Belanda, Indonesia memberlakukan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan dan berlaku di Belanda sejak 1881 untuk mengatur perbuatan pidana secara materiil. KUHP diberlakukan sebagai peraturan perundang-undangan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Berdasarkan peraturan ini, korporasi belum dikenal sebagai subjek hukum pidana karena penyusun WvS pada saat itu menganut asas “societas delinquere non potes” yang berarti bahwa badan hukum atau perkumpulan (rechtspersoon) tidak dapat melakukan tindak pidana. Asas ini dilandasi oleh pemikiran bahwa korporasi yang merupakan rechtspersoon merupakan suatu abstraksi yang tidak memiliki pemikiran sendiri karena setiap keputusan dan kebijakannya ditentukan oleh pengurus (manusia) yang berada di dalamnya. Manusia (natuurlijke person) menjadi satu-satunya subjek yang dapat dibebani pertanggungjawaban terhadap delik pidana. 

Dewasa ini, seiring perkembangan masyarakat dan teknologi, skema kejahatan pun semakin berkembang. Kejahatan dilakukan tidak hanya oleh perorangan tetapi secara teroganisir dalam suatu korporasi. Perbuatan melanggar hukum sangat dimungkinkan tidak dilakukan oleh individu, melainkan merupakan kesalahan manajemen atau perbuatan yang berasal dari keputusan kolektif dari dewan direksi suatu korporasi. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk membebankan pertanggunjawaban pidana kepada korporasi juga. Konsiderasi korporasi sebagai subjek hukum pidana dimulai sejak dibentuknya Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang dan diikuti dengan pemberlakuan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Untuk mengatasi kekosongan hukum acara pidana dalam menangani perkara tindak pidana oleh korporasi tidak terkecuali di bidang perpajakan, diberlakukanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (selanjutnya disebut Perma 13/2016).

Korporasi dalam Perma 13/2016 diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi yang dimaksud dalam delik perpajakan adalah badan sebagaimana pengertian dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang meliputi “sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, dst…”. Korporasi yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sehingga telah menjadi wajib pajak harus memenuhi kewajibannya di bidang perpajakan. Jika tidak, terdapat ancaman sanksi pidana bagi pelanggar hukum perpajakan.

Delik pidana yang dilakukan oleh Wajib Pajak di bidang perpajakan diatur pada Pasal 38, 39, dan 39A UU KUP. Pasal 38 berfokus pada kealpaan dalam penyampaian surat pemberitahuan (SPT) sebagai alasan pemidanaan di bidang perpajakan. Sementara itu, dalam Pasal 39, alasan pemidanaan adalah adanya unsur kesengajaan dilakukannya pelanggaran dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan sehingga menyebabkan kerugian pada keuangan negara. Kemudian, Pasal 39A mengatur delik pidana mengenai kesengajaan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kewajiban sebagai pemungut pajak, baik itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) pemotongan-pemungutan, dan penyalahgunaan faktur pajak.

Pasal 38, 39, dan 39A menggunakan frasa “setiap orang yang …” yang membuat kita berasumsi bahwa pasal-pasal ini hanya berlaku untuk natuurlijke person, namun anggapan tersebut kurang benar. Frasa ini menunjukkan bahwa sanksi akan dikenakan pada seluruh subjek hukum yang melakukan delik sebagaimana yang diatur dalam pasal tersebut, termasuk korporasi sebagai wajib pajak badan. Rumusan ini merujuk pada Lampiran II Nomor 119 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi: “Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapa pun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang”. Selain itu, pada pasal-pasal ketentuan pidana dalam UU KUP juga tidak memberikan batasan definisi untuk frasa “setiap orang” sehingga pasal tersebut berlaku bagi subjek pajak dan wajib pajak secara umum. 

Pidana Pajak Korporasi

Dalam menangani delik pidana yang dilakukan oleh korporasi, pembebanan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi dilihat melalui dua teori, yaitu teori vicarious liability dan strict liability. Teori vicarious liability merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang diadopsi dari hukum perdata yang dilandasi akan adanya hubungan kerja antara korporasi dengan pengurusnya. Ketika pengurus melakukan delik yang memberikan keuntungan bagi perusahaan dan tidak terdapat upaya  pencegahan oleh korporasi, maka delik tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh korporasi di mana pengurus mengatasnamakan perbuatannya. Meski begitu, pembebanan pertanggungjawaban tersebut terbatas pada ruang lingkup yang berkaitan dengan pekerjaan pengurus tersebut dalam korporasi.

Pertanggungjawaban pidana otomatis dibebankan kepada pelaku apabila terdapat kesalahan yang dilakukan tanpa melihat sikap batinnya menurut teori strict liability (teori pertanggungjawaban mutlak). Sepanjang pelaku telah melakukan perbuatan atau actus reus yang merupakan perbuatan yang memang dilarang dan mengetahui bahwa tindakannya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka cukup bagi pelaku untuk dikenakan sanksi pidana dengan mengesampingkan unsur mens rea. Mens rea merupakan sikap batin yang mencakup niat jahat, kesengajaan, kelalaian, atau ketidaktahuan yang patut pada saat delik pidana dilakukan. Teori ini dibuat dengan tujuan untuk mengeliminasi kesulitan-kesulitan bagi penuntut umum dalam membuktikan adanya intensi, keinginan, pengetahuan, kesembronoan, atau pun ke-tidak-acuh-an (negligence) yang sangat bersifat subjektif.

Dalam teori vicarious liability, seseorang yang tidak melakukan kesalahan dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan orang lain atau yang sering disebut dengan “tanggung jawab pengganti”. Penjelasan dalam angka 126 lampiran 1 UU 12/2011 jo. UU 13/2022 menentukan bahwa pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a) Badan hukum antara lain Perseroan, Perkumpulan, Yayasan, atau Korporasi, dan atau b) Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.

Dapat dikatakan bahwa apabila terdapat karyawan yang melakukan tindakan melawan hukum pajak atas nama korporasi, memberikan manfaat bagi korporasi, dan tidak terdapat pencegahan dari korporasi, pertanggungjawaban pidana akan dibebankan kepada korporasi dan/atau pengurus yang mempunyai kedudukan tinggi dan wewenang untuk menentukan kebijakan korporasi (the directing mind and the will of the company). Sanksi pidana yang diatur pada Pasal 38, 39, dan 39A UU KUP meliputi sanksi pidana berupa hukuman kurungan, hukuman penjara, dan hukuman denda. Pada Pasal 39 dan Pasal 39A pelaku delik akan dikenakan sanksi pidana penjara dan pidana denda sehingga sangat mungkin untuk memidanakan korporasi dan pengurus sekaligus.

Pasal 43 UU KUP juga menegaskan bahwa pemidanaan sebagaimana dimaksud Pasal 39 dan Pasal 39A tidak terbatas pada wajib pajak, wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Unsur kealpaan atau kelalaian yang terdapat pada rumusan Pasal 38 serta unsur kesengajaan dalam Pasal 39 dan 39A menandakan teori strict liability tidak diterapkan pada pasal ini. Ketiadaan mens rea pada korporasi dapat diadakan melalui mens rea individu yang menjadi pengurus atau pejabat senior (senior officer) yang menentukan tindakan atau keputusan dari korporasi. Kealpaan yang dimaksud pada Pasal 39 adalah keadaan ketika pelaku tidak memiliki pengetahuan maupun keinginan dalam delik yang dilakukannya. Dapat juga dikatakan bahwa tidak ditemukan cukup bukti adanya unsur kesengajaan dalam tindakan pelanggaran hukum.

Di sisi lain, kesengajaan yang terdapat pada Pasal 39 dan Pasal 39A berarti bahwa pelaku mengetahui mengenai delik yang dilakukannya beserta konsekuensi hukumnya. Pelaku memiliki keinginan untuk melakukukan suatu delik tertentu. Antara motif, perbuatan, dan tujuan harus terdapat hubungan kausal sehingga dapat  dibuktikan bahwa terdapat unsur kesengajaan dalam delik pidana.

Pelanggar hukum di bidang perpajakan lebih dikedepankan untuk dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi ini merupakan peringatan dini bagi pelanggar hukum perpajakan yang bertujuan untuk mendorong kepatuhan pembayaran pajak dari masyarakat. Negara membutuhkan pembayaran pajak dari masyarakat sebagai salah satu sumber penerimaan dan masyarakat memiliki kewajiban secara hukum untuk membayar pajak kepada negara sehingga secara persoalan hukum dalam pengenaan pajak diselesaikan secara persuasif melalui hukum dan sanksi administrasi. Meski begitu, diperlukan suatu pengaturan sanksi pidana sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku delik di bidang perpajakan yang tidak menunjukkan itikad baik dalam penyelesaian secara administratif, khususnya untuk wajib pajak badan, sehingga tidak menimbulkan kerugian keuangan negara karena ketidakpatuhan pembayaran pajak yang lebih besar di kemudian hari.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.