Oleh: Suparnyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Minggu-minggu ini banyak sekali artikel yang mengupas tentang undang-undang pajak terbaru yaitu Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tak terkecuali oleh para pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Begitulah seharusnya aturan, meskipun di penjelasan pasal 81 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi, setiap orang dianggap telah mengetahuinya” dan undang-undang tersebut belum disahkan oleh Presiden, tetapi DJP langsung menyosialisasikan ke semua media, bahkan di semua akun media sosial DJP serta instansi vertikal di bawahnya.

Setiap saat akun media sosial DJP memublikasikan pembahasan singkat pasal per pasal, baik dalam bentuk infografis maupun video singkat sehingga masyarakat teredukasi.

Berbicara tentang pajak, pasti tidak bisa lepas dari fungsi utama pajak itu sendiri yaitu fungsi anggaran (budgetair). Bahwa untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan membutuhkan biaya yang dapat diperoleh dari pajak. Tentunya tetap mempertimbangkan pada fungsi pajak lainnya, yaitu fungsi mengatur (regulerend), fungsi stabilitas, dan fungsi redistribusi pendapatan. DJP tidak melulu mengumpulkan uang.

Meskipun sudah melalui proses yang panjang, begitu aturan baru muncul, biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat. Tidak jarang juga masyarakat menganggap bahwa terbitnya suatu aturan berpihak pada suatu golongan tertentu baik berpihak kepada masyarakat golongan atas atau golongan bawah. Bahkan, kalaupun tidak secara langsung, masyarakat golongan bawah masih merasa terkena dampak yang memberatkan dari aturan tersebut.

Pajak dikenakan ketika memenuhi syarat subjektif dan objektif, DJP tidak asal memajaki wajib pajak. Contoh, batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk wajib pajak yang tidak kawin dan tidak ada tanggungan (TK/0) adalah Rp4.500.000 per bulan. Upah Minimum Regional (UMR) tertinggi di Indonesia yaitu di DKI Jakarta sebesar Rp4.416.186, sehingga tidak dikenakan pajak karena masih di bawah PTKP. Lapisan terbawah Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebelumnya Rp50 juta juga naik menjadi Rp60 juta dengan tarif 5%.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak. Persentase tertinggi norma penghitungan penghasilan neto untuk wajib pajak orang pribadi adalah 50%. Jadi dengan penghasilan bersih sebesar Rp20,8 juta per bulan saja masih bebas pajak. Sehingga salah apabila menyatakan semua yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dikenakan pajak. Mengingat dalam UU HPP ditetapkan satu kebijakan yaitu penggunaan NIK sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Kalau hanya membaca sepintas mengenai kebijakan dalam UU HPP, banyak yang akan menyimpulkan "Kenapa sangat berpihak pada masyarakat menengah ke bawah? Kok sangat memberatkan masyarakat kelas atas?" Pendapat tersebut tentu tidak benar karena jika melihat salah satu kebijakan yang ditetapkan dalam UU HPP terdapat Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

DJP sendiri, sejak tahun 2020, sudah membagi dua sasaran penggalian potensi pajak, yaitu bagian wajib pajak strategis yang mengawasi wajib pajak kelas atas dan bagian wajib pajak kewilayahan yang mengawasi para wajib pajak kategori menengah ke bawah. Itu merupakan bukti bahwa DJP tidak membeda-bedakan dalam hal kewajiban perpajakan yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh wajib pajak.

UU HPP sangat mengakomodasi semua kalangan dan semua tak luput dari perhatian pemerintah. DJP sebagai pelaksana aturan tentunya juga sama, tidak akan pandang bulu dalam mengawasi para wajib pajak dan menjalankannya sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada.

Sebagaimana tertuang dalam pertimbangan terbitnya UU HPP, bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak. Hal tersebut butuh kepedulian dan kerja sama kita semua sebagai anak bangsa.

DJP hanya satu dari lima belas instansi yang ada di Kementerian Keuangan yang memiliki 45.632 pegawai atau 57% dari total pegawai Kemenkeu. Ada Staf Ahli, Sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Sekretariat Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Sekretariat Jenderal, Lembaga National Single Window, Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal.

APBN 2021 dengan defisit 5,7% atau Rp1.006 triliun terhadap PDB harus sehat dan berkelanjutan. Rinciannya adalah pendapatan negara Rp1.743 triliun dengan penerimaan perpajakan Rp1.444 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp298 triliun, dan hibah Rp0,9 triliun. Sedangkan belanja negara Rp2.750 triliun, dengan belanja pemerintah pusat Rp1.954 triliun, dan transfer ke daerah dan dana desa Rp795 triliun.

Seluruh pegawai Kementerian Keuangan selalu bersama-sama, bahu-membahu menjaga fiskal ibu pertiwi. Uang yang terkumpul sedikit demi sedikit harus selalu dijaga pengeluarannya, oleh kita semua. Di manapun posisi kita, mari kita gunakan APBN sebaik-baiknya, tidak dikorupsi. Selamat Hari Oeang Republik Indonesia (HORI) ke-75, 30 Oktober 2021.

 

*)  Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.