UU HPP, Pajak Berkeadilan Masa Kini

Oleh: Desak Putu Sri Shania Aprilia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang telah dijalankan selama ini. Reformasi perpajakan semakin digencarkan guna mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional melalui optimalisasi penerimaan negara.
Upaya optimalisasi penerimaan negara dilakukan dengan penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan mengantisipasi dinamika masa depan. Salah satu pertimbangan utama yang menjadi dasar urgensi dilakukannya reformasi perpajakan yaitu mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan.
Menurut W.J. Langen, salah satu asas pemungutan pajak adalah asas daya pikul yang artinya besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations juga menyebutkan adanya empat asas perpajakan yang dikenal dengan istilah The Four Maxims, salah satu di antaranya yaitu asas equality (kesetaraan atau keseimbangan).
Asas equality memiliki arti bahwa pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Dalam asas ini, negara harus menyesuaikan besar pajak yang dikenakan kepada setiap wajib pajak agar sebanding dengan kemampuannya.
Asas ini menunjukkan bahwa wajib pajak yang mempunyai penghasilan lebih besar harus membayar pajak yang lebih besar pula. Namun, jika wajib pajak memiliki kemampuan menengah ke bawah, maka pajak yang dibayar juga harus lebih kecil.
Keadilan pajak mencakup dua hal yaitu keadilan vertikal (vertical equity) dan keadilan horizontal (horizontal equity). Keadilan vertikal ditinjau dari subjek atau orang yang membayar pajak dan keadilan horizontal dilihat dari aspek objek pajaknya.
Keadilan vertikal mempunyai makna wajib pajak yang mempunyai penghasilan lebih besar akan membayar pajak lebih besar. Sedangkan keadilan horizontal berarti dua orang yang mempunyai jumlah penghasilan yang sama maka akan membayar pajak dalam jumlah yang sama. Lalu bagaimana UU HPP mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan?
UU HPP mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, salah satunya dengan mengubah rentang penghasilan kena pajak dan batasan lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Perubahan tersebut diwujudkan dengan adanya pelebaran rentang penghasilan kena pajak lapisan tarif terendah dan juga penambahan lapisan tarif tertinggi.
Dalam UU HPP terdapat perubahan tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak. Lapisan penghasilan kena pajak orang pribadi yang dikenai tarif PPh terendah sebesar 5% dinaikkan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Kenaikan batas lapisan penghasilan kena pajak tarif terendah ini bertujuan untuk memberikan rasa adil kepada masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah juga menambah lapisan tertinggi penghasilan kena pajak orang pribadi sebesar 35% untuk wajib pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Adanya peningkatan progresivitas dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan terutama kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Penambahan tarif 35% ini tidak akan menambah beban PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan kena pajak sampai dengan Rp5 miliar. Hal ini dikarenakan terhadap kelompok penghasilan kena pajak sampai dengan Rp5 miliar tersebut telah diberi keringanan melalui pelebaran rentang lapisan tarif PPh terendah. Dengan demikian, kelompok penghasilan “super kaya” ini dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi penerimaan negara.
Selain itu, wujud keadilan dan keberpihakan UU HPP kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah juga tercermin pada dukungan penguatan UMKM. UU HPP memberikan batasan omzet untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan peredaran bruto usaha sampai dengan Rp500 juta tidak dikenai pajak.
Dengan demikian, Wajib Pajak Orang Pribadi pelaku UMKM dengan peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp500 juta setahun tidak memiliki kewajiban membayar PPh. Sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi pelaku UMKM yang mempunyai omzet lebih dari Rp500 juta setahun, mulai membayar PPh final dengan tarif 0,5% pada masa pajak saat omzetnya telah melebihi Rp500 juta.
Di samping itu, batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap diberlakukan sehingga masyarakat yang penghasilannya tidak lebih dari Rp54 juta per tahun tidak perlu membayar pajak. Kebijakan tersebut merupakan bentuk perlindungan bagi kepentingan masyarakat banyak. Dengan adanya aturan baru terkait PPh pada UU HPP, diharapkan dapat mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah sehingga lebih banyak kelompok masyarakat yang akan dikenai beban PPh lebih ringan.
Hal ini tercermin pada beban PPh yang ditanggung oleh wajib pajak berpenghasilan rendah menjadi lebih ringan. Sementara bagi masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih tinggi akan dikenakan pajak lebih besar. Hal ini sebagai wujud semangat gotong royong kontribusi masyarakat dalam pembangunan.
Aturan baru terkait PPh pada UU HPP juga merupakan bukti keberpihakan nyata sistem perpajakan saat ini terhadap kepentingan masyarakat luas dan sebagai bentuk pemerataan beban pajak. Selamat menikmati pajak berkeadilan masa kini. Mari kita bersama-sama berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa Indonesia.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 936 kali dilihat