UMKM Pulih, Indonesia Maju

Oleh: Immanuella Prisca Wattimena, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Beberapa waktu lalu, ada seorang wajib pajak yang saya layani di loket Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Sebut saja ia sebagai Bapak Gagah. Bapak Gagah menghampiri saya dan duduk di kursi depan loket, ia bertanya, “Mbak, bisa bantu saya? Saya kesulitan ngurus ini.” Ia menyerahkan ponsel yang telah terbuka berisi surel dari Direktorat Jenderal Pajak.
Ternyata surel tersebut berisi imbauan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, tetapi Bapak Gagah membalas surel tersebut dengan menceritakan kondisi keuangannya. Saya membantu Bapak Gagah untuk menjelaskan isi surel tersebut, kemudian Bapak Gagah kembali menceritakan kondisi keuangannya yang merugi karena pandemi Covid-19.
Bapak Gagah memiliki usaha pembuatan tusuk sate dan besi tahan karat (stainless steel) untuk bakaran. Produknya ini dikirimkan ke kota lain untuk kemudian dipasarkan di kota tersebut. Karena permintaan turun, maka Bapak Gagah tidak memperoleh untung malah buntung. Ia juga terpaksa memulangkan pegawainya dan tetap memberi pesangon.
Menurut Bapak Gagah, meskipun saat ini banyak orang yang berbelanja online, ada jenis barang yang belum bisa dijual secara online, salah satunya adalah produk yang Ia jual. Ia juga mengaku bahwa kebanyakan pembelinya adalah calon pelaku usaha makanan, sedangkan di masa pandemi hanya sedikit orang yang memulai usaha.
Kita merasakan benar bahwa adanya pandemi Covid-19 benar-benar melemahkan sektor ekonomi, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Bahkan tak sedikit dari mereka yang menutup usahanya.
Peran Pemerintah
Mengutip data pada situs Badan Koordinasi Penanaman Modal, UMKM memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu 61,97% dari total PDB nasional atau setara dengan Rp8.500 triliun pada tahun 2020. Serta penyerapan tenaga kerja oleh UMKM mencapai angka yang besar dalam daya serap dunia usaha pada tahun 2020 yaitu 97%.
Mengingat pentingnya UMKM dalam menggerakkan ekonomi, berikut langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk “memperpanjang nafas” dan meningkatkan kinerja UMKM di tengah pandemi Covid-19.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
Selain upaya penanganan krisis kesehatan, pemerintah juga mengusung program PEN sebagai program untuk melindungi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian.
Sejumlah stimulus telah dikeluarkan yaitu memberikan bantuan terhadap UMKM, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan salah satunya lagi dengan meringankan beban wajib pajak dengan memberlakukan insentif pajak bagi UMKM yang terdampak. Bentuk stimulus ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah, khususnya pada kondisi pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konferensi Pers: APBN KiTa bulan September 2021 memaparkan bahwa pemanfaatan insentif usaha per tanggal 17 September 2021 telah mencapai Rp57,92 triliun yaitu 92,2% dari pagu Rp62,83 triliun. Namun, angka ini mencakup seluruh insentif pajak, khusus pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP) telah dimanfaatkan oleh 124.209 wajib pajak UMKM.
UU HPP
Sejak Juli 2018 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, wajib pajak dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar memiliki kewajiban untuk menyetorkan pajak dengan perhitungan peredaran bruto dikalikan dengan tarif 0,5%.
Tarif ini dapat dinikmati dengan jangka waktu tujuh tahun untuk orang pribadi pelaku usaha UMKM. Sayangnya pada aturan ini, pajak bagi UMKM tidak ada batasan sehingga apabila penghasilan per bulan Rp4,5 juta maka tetap wajib menyetorkan PPh Final sejumlah Rp22.500 (0,5% x Rp4,5 juta).
Hal ini timpang karena bagi pegawai yang memiliki Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp54 juta setahun dan apabila penghasilan sebulannya kurang dari Rp4,5 juta maka tidak dikenakan PPh Pasal 21.
Baru-baru ini telah ramai diperbincangkan mengenai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, apa saja dampak UU HPP terhadap UMKM? Apakah menguntungkan atau justru merugikan?
Pada UU HPP, mulai Tahun Pajak 2022, kewajiban pembayaran PPh Final tidak berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta setahun. Dengan kata lain, wajib pajak baru akan membayar pajak dengan tarif 0,5% apabila peredaran bruto kumulatifnya sudah melebihi Rp500 juta.
Aturan baru yaitu Rp500 juta sebagai PTKP bagi wajib pajak pelaku usaha UMKM ini merupakan angin segar saat ekonomi Indonesia mulai merangkak naik setelah pandemi Covid-19.
Dapat dikatakan bahwa, UU HPP ini juga merupakan wujud komitmen keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Melalui peran pemerintah mendukung kinerja UMKM ini, diharapkan UMKM dapat membantu memutar roda perekonomian dan menjadi lebih baik lagi. Mari bersama-sama bangkit dan pulih, berkontribusi positif bagi negeri.
Kalau bukan kita, siapa lagi? Bersama UMKM, Pajak Kuat, Indonesia Maju.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 144 kali dilihat