Oleh: Galih Ardin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Puncak Presidensi G20 Indonesia baru saja usai. Hal ini ditandai dengan penyerahan palu kepemimpinan Presidensi G20 oleh Presiden Joko Widodo kepada Perdana Menteri India, Narendra Modi, dalam sesi penutupan KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu (Kemenko Perekonomian, 2022).

Beberapa kesepakatan pun dicapai dalam G20 Bali Leaders’ Declaration, salah satunya adalah komitmen negara-negara G20 untuk mengimplementasikan dua pilar pemajakan internasional yang berlandaskan persamaan dan transparansi.

Sebagai informasi, G20 merupakan forum negara-negara yang mewakili 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi dunia yang terdiri dari Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Menilik dari sejarahnya, forum G20 pada awalnya dibentuk untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan berkesinambungan di tengah badai krisis ekonomi 19971998. Mulanya, G20 hanya merupakan forum pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Namun demikian, semenjak tahun 2008, forum G20 tersebut dihadiri oleh Kepala Negara dalam setiap KTT-nya.

Sebagai pemegang presidensi dari negara-negara yang merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, India pada dasarnya mempunyai peranan penting dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik dunia di tengah ancaman krisis global, terutama dalam mendorong konsensus pemajakan ekonomi digital.

Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan saat ini negara-negara di dunia belum mencapai kesepakatan mengenai bagaimana bentuk pemajakan atas kegiatan transaksi digital ekonomi. Negara-negara maju seperti Amerika Serikatsebagai penguasa teknologi menginginkan agar kegiatan digital ekonomi dipajaki di tempat perusahaan teknologi tersebut berdiri.

Mereka berdalih bahwa tidak terdapat batas yurisdiksi yang jelas dalam transaksi digital. Sebuah perusahaan teknologi dapat memberikan jasanya kepada negara mana pun tanpa harus mendirikan perusahaan di negara tersebut. Di sisi lain, negara-negara berkembang yang menjadi pasar transaksi ekonomi digital menghendaki adanya hak pemajakan yang adil atas transaksi digital.

Berbagai alternatif pun telah ditawarkan untuk mengatasi ketidaksepakatan ini. OECD misalnya, menyampaikan bahwa negara-negara pasar transaksi digital dapat mengenakan pajak atas transaksi ekonomi digital sepanjang terdapat kehadiran ekonomis yang signifikan (significant economic presence) atas transaksi tersebut. Sebuah entitas dianggap memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan apabila memiliki jumlah transaksi, nilai transaksi maupun trafik yang melebihi ambang batas (threshold) tertentu yang ditentukan sebelumnya.

Beberapa negara telah mengenakan pajak atas transaksi digital. India misalnya, mengenakan India Equation Levy (IEL) semenjak tahun 2016 atas transaksi digital yang dilakukan oleh entitas asing di India. Mengutip OECD (2018), besarnya tarif efektif adalah sebesar 6% dari peredaran usaha entitas asing tersebut.

Di sisi lain, Inggris mengenakan Diverted Profit Tax (DPT) terhadap perusahaan yang mengalihkan keuntungannya ke negara lain (OECD, 2018). Menurut Fuchs (2018), DPT seringkali diasosiasikan dengan pajak Google karena Google adalah contoh nyata terjadinya pengalihan keuntungan dari Inggris ke Amerika Serikat.

Belum tercapainya konsensus mengenai pemajakan transaksi digital dan upaya masing - masing yurisdiksi untuk mengenakan pajak digital justru menimbulkan permasalahan baru. 

Pertama, adanya perbedaan perlakuan pajak digital antar yurisdiksi perpajakan membuat raksasa digital dapat dengan leluasa mengubah skema transaksinya dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainnya dengan tujuan memperoleh tarif pajak yang lebih rendah. 

Kedua, perbedaan perlakukan pemajakan digital antar yurisdiksi perpajakan juga dapat memicu perang tarif pajak antaryurisdiksi. Ketiga, belum dicapainya kesepakatan pemajakan digital dapat memperlebar kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin.

Sejarah membuktikan bahwa G20 sebagai forum internasional mempunyai kontribusi besar dalam menentukan arah kebijakan perpajakan dunia. Sebagai contoh, pada tahun 2012 negara-negara G20 sepakat untuk melakukan pertukaran informasi guna kepentingan perpajakan. Kesepakatan ini kemudian berkembang menjadi cikal bakal BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang ditetapkan oleh OECD pada tahun 2015. Sampai dengan saat ini, sudah terdapat 139 negara yang meratifikasi ketentuan BEPS guna mengakhiri penghindaran pajak (Bank Indonesia, 2022).

Berkaca dari hal tersebut, maka sangat mungkin bagi India sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2023 untuk mendorong terjadinya kesepakatan dalam pemajakan transaksi digital dalam era disrupsi digital. Terlebih, di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian global, perlu adanya kerja sama antaryurisdiksi perpajakan. 

Beruntung, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2022 telah meletakkan dasar-dasar kesepakatan pemajakan internasional dalam G20 Bali Leaders’ Declaration. Deklarasi ini dapat digunakan sebagai pemegang Presidensi G20 berikutnya sebagai batu pijakan dalam mencapai kesepakatan yang lebih besar. Sehingga, cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dapat terwujud.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.