Oleh: Yulinda Oktarina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Beberapa hari terakhir, jagad maya ramai dengan perbincangan tentang serial orisinal Indonesia pertama di Netflix yang berjudul “Gadis Kretek.” Serial yang tayang perdana pada tanggal 2 November 2023 lalu tersebut berhasil memukau para penonton dan berhasil menduduki posisi trending. Serial yang diangkat dari novel “Gadis Kretek” karya Ratih Kumala ini berhasil membuat penonton menyelami sejarah perkembangan pabrik kretek di awal kemerdekaan Indonesia. Masih dalam suasana peringatan hari pahlawan 10 November menjadi momen yang tepat untuk mempelajari sejarah Indonesia. Ada banyak unsur sejarah yang bisa kita petik dari serial tersebut. Namun, artikel ini tidak akan mengulas bagaimana sejarah industri rokok kretek, tetapi bagaimana sejarah pajak rokok di Indonesia.

Sudah Ada sejak Dulu

Munculnya pajak rokok berawal dari zaman Kerajaan Mataram pada abad ke-17. Dalam buku “Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek” karya Abhisam DM, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan, diceritakan tentang seorang perempuan bernama Rara Mendut. Kisah tentang Rara Mendut bermula ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram berhasil menumpas pemberontakan Pati tahun 1627.

Saat itu, karena kemenangannya, pasukan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna membawa pulang banyak harta rampasan. Di antaranya adalah seorang gadis cantik bernama Rara Mendut. Sebagai ungkapan terima kasih, Sultan Agung kemudian menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna. Tetapi Rara Mendut dengan berani menolak lamaran Tumenggung Wiraguna. Karena murka, Tumenggung Wiraguna menjatuhkan hukuman kepada Rara Mendut. Gadis itu diwajibkan membayar pajak tiga real sehari. Jika tidak sanggup, ia harus bersedia menjadi istri Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut menyanggupi dan memutuskan untuk berdagang rokok agar bisa membayar pajak tersebut. Berkat kecantikannya, rokok yang dijualnya di warung kecilnya laku keras. Konon, rokok yang laris manis itu dari bekas isapan bibirnya. Sejak saat itulah, pengenaan pajak rokok dimulai.

Sejarah Aturan Pemajakan Rokok

Berdasarkan penelitian Van der Reijden tahun 1935, tembakau telah menjadi tanaman ekspor unggulan sejak tahun 1858 dan merupakan salah satu sumber penerimaan negara bagi pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itu, tembakau sebagai bahan baku rokok dipungut pajak dalam bentuk cukai.

Peraturan tertulis terkait pemungutan cukai tembakau baru dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 yang dituangkan dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns-Ordonnantie (Ordonansi Cukai Tembakau). Ketiga peraturan tersebut mengatur tentang pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor, termasuk ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pemungutan cukai tembakau.

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan pemungutan cukai tembakau dengan mengaturnya dalam Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau (UU Darurat Penurunan Cukai Tembakau). UU tersebut mengatur harga jual eceran, pemungutan cukai yang diturunkan, dan penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani kewajiban membayar cukai. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1951, pemerintah Indonesia kemudian mengatur penetapan besaran pungutan cukai hasil tembakau dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam pada beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi. Pada tahun 1956, dikeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau yang mengatur subsidi untuk perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan dan pembebasan cukai bagi pengusaha rokok selama setahun. Peraturan ini juga menetapkan cukai dari setiap batang rokok.

Berikutnya, pengaturan cukai rokok atau cukai hasil tembakau menjadi semakin kompleks dan dipadukan dengan semua ketentuan mengenai cukai komoditas lainnya dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU inilah yang berlaku sampai dengan saat ini. Selain itu, ketentuan pajak rokok juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Berbagai Macam Pajak Rokok

Secara garis besar, ada tiga jenis pajak yang dikenakan atas rokok yaitu, PPN, cukai, dan pajak daerah. Mari kita ulas satu per satu.

Rokok dikenakan PPN berdasarkan PMK Nomor 63/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau. Berdasarkan ketentuan tersebut, atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh produsen atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir dikenakan PPN dengan menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yaitu sebesar 100/(100+t) dikali harga jual eceran hasil tembakau. Variabel (t) adalah tarif PPN yang berlaku.

Selain itu, rokok juga dikenakan cukai berdasarkan UU HPP. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang terdiri atas hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.

Terakhir, rokok dikenakan pajak daerah berdasarkan ketentuan UU HKPD. Sebagai pajak daerah, pajak rokok dipungut oleh pemerintah provinsi dengan tarif pajak sebesar 10% dari cukai rokok.

Fungsi Regulerend

Dalam pemajakan rokok, pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi pajak sebagai budgetair (sumber penerimaan negara), tetapi juga menjalankan fungsi pajak sebagai regulerend yaitu, untuk mengatur masyarakat. Pajak atas rokok menjadi “alat” pemerintah untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bersama yang juga terpampang nyata di bagian luar kemasan rokok, rokok amat berbahaya bagi kesehatan.

Pajak sebagai instrumen negara akan selalu hadir untuk terus menjamin keberlanjutan negara ini tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan. Dengan tegaknya aturan pajak atas rokok, bersama kita wujudkan Indonesia Sehat, Indonesia Maju.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.