Oleh: Anang Purnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) baru saja usai dilaksanakan dari 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022. Bagaimana kita menyikapinya? Haruskah bahagia karena telah ikut memanfaatkan PPS? Sedih karena tidak ikut PPS? Tenang karena Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sudah disampaikan dengan benar? Atau mungkin bahkan merasa B(biasa) saja?

Amnesti Pajak yang dilaksanakan pada tahun 2017 banyak yang beranggapan sebagai "Jebakan Batman" sehingga banyak yang tidak menghiraukan. Sebagian besar wajib pajak tidak memanfaatkannya. Di tahun pertama dan kedua usai Amnesti Pajak tidak banyak permasalahan di mata para wajib pajak, khususnya para pengusaha.

Pada tahun ketiga dan keempat, muncullah permintaan dari sebagian besar para pengusaha yang menanyakan keberadaan Amnesti Pajak jilid II sekaligus mereka meminta agar program tersebut diadakan. Para pimpinan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada saat Amnesti Pajak masih sama dengan saat ini dan sudah ditegaskan pada waktu itu bahwa tidak akan ada Amnesti Pajak jilid II.

 

PPS itu Hadiah

Apa sebenarnya PPS? jika mau melihat lebih jauh sebenarnya PPS ini merupakan hadiah yang diberikan oleh pemerintah melalui DJP kepada para wajib pajak untuk memperbaiki atau membenarkan SPT Tahunan melalui pengungkapan harta yang belum dicantumkan dengan membayar pajak sesuai ketentuan.

Namun, masih banyak yang menganggap bahwa ini merupakan "Jebakan Batman" kedua setelah Amnesti Pajak. Bisa dimaklumi, banyak yang beranggapan data yang akan disampaikan dalam PPS akan dijadikan sebagai bahan untuk melakukan penggalian data perpajakan, bahkan bahan untuk melakukan pemeriksaan pajak oleh DJP. 

Di sinilah letak ketidakpahaman serta perbedaan antara Amnesti Pajak dengan PPS. Kita mulai dari Amnesti Pajak. Program ini dilaksanakan pada tahun 2017. Kondisi pada saat itu akses pertukaran data dan informasi belum sebanyak dan selengkap sekarang. Jadi bisa dikatakan bahwa DJP tidak banyak memiliki data aset wajib pajak.

Pada tahun 2018 DJP telah melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau yang dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI). Selain itu data dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) menambah kelengkapan data dan informasi yang dipunyai DJP. Dari AEoI dan ILAP ini, DJP mendapat hampir seluruh data tentang aset atau harta yang dimiliki oleh wajib pajak, baik harta berwujud berupa tabungan, kendaraan, tanah, bangunan, deposito, saham, perhiasan, barang berharga, bahkan kepemilikan modal.

Di sinilah bisa disebut bahwa PPS itu adalah hadiah yang diberikan kepada para wajib pajak untuk mengungkapkan harta serta menebus dengan membayar sejumlah tarif sesuai dengan kebijakan dan jenis pengungkapan harta tersebut. Kalau dikatakan hadiah, kenapa tarifnya terlalu tinggi. Sebagian besar menanyakan hal tersebut. Contoh paling banyak yang digunakan adalah deklarasi dalam negeri Kebijakan II dalam PPS yang tarif pajaknya 14 persen.

Tarif Tidak tinggi

Tarif 14 persen bisa dikatakan tinggi, namun juga bisa dikatakan rendah. Nilai 14 persen jika dibandingkan dengan nilai uang yang dimasukkan dalam deposito pada tahun 2016 dengan bunga 6 persen per tahun maka nilai tambahan setelah lima tahun (20162021) bisa dihitung mengalami kenaikan sebesar 30 persen. Kenaikan nilai bisa jadi lebih tinggi jika uang atau aset tersebut digunakan untuk kegiatan usaha, keuntungan bisa jauh di atas angka 14 persen. Tahun pembayaran tebusan PPS dilakukan pada tahun 2022.

Angka 14 persen juga masih kecil dibanding dengan sanksi yang akan dikenakan sesuai undang-undang Amnesti Pajak. Jika ada harta peserta Amnesti Pajak yang belum dilaporkan dan ditemukan oleh DJP, hartanya akan dianggap sebagaipenghasilan dan dikenakan tarif final sebesar 25 persen untuk Wajib Pajak Badan, 30 persen untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dan 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu dari harta bersih tambahan, ditambah dengan sanksi 200 persen.

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, atas perolehan harta dari tahun 2016 sampai dengan 2020, jika tidak melaporkan penghasilannya sesuai ketentuan maka akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi.

 

Tidak Ada Pengampunan Lagi

Berdasarkan data yang disampaikan dalam Konferensi Pers Menteri Keuangan pada 1 Juli 2022 diketahui sebanyak 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan 308.059 Surat Keterangan Pengungkapan Harta Bersih dan total PPh sebesar Rp.61,01 triliun dari total harta bersih yang diungkap Rp594,82 triliun.

Terima kasih kepada peserta PPS, respek untuk Anda yang mau membetulkan SPT Tahunan melalui pembayaran PPh atas harta yang diungkap, silakan tidur lebih nyenyak. Untuk yang tidak mengikuti PPS karena SPT Tahunan yang sudah benar dan sesuai bisa tetap tenang. Sementara untuk yang SPT Tahunannya belum sesuai dan tidak mengikuti PPS, ini adalah 'Calon Avengers' pembangunan Indonesia.

Pembayar pajak adalah pahlawan pembangunan. Avengers dalam film merupakan sekelompok atau sekumpulan pahlawan super yang melawan Thanos penjahat terkuat di semesta. Membayar pajak dengan benar merupakan pahlawan, sedangkan membayar pajak melebihi yang seharusnya bisa dianalogikan pahlawan super (Avengers). Wajib pajak yang SPT Tahunannya tidak benar dan tidak mengikuti PPS merupakan calon pembayar pajak melebihi yang seharusnya.

Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam kesempatan itu menegaskan bahwa tidak ada program pengampunan pajak lagi. Ia menegaskan sekali lagi saat menjawab pertanyaan wartawan. Langkah DJP berikutnya adalah pengawasan dan penegakan hukum. Modal data yang melimpah dari AEoI dan ILAP akan memudahkan pengawasan kepada wajib pajak. Wajib pajak tidak dapat lagi menyembunyikan hartanya.

Wajib pajak yang tidak mengikuti PPS atau yang mengikuti PPS namun tidak mengungkap harta 100 persen, maka akan diberikan sanksi apabila harta ditemukan DJP. Harta yang belum atau tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan dapat dikategorikan sebagai penghasilan yang berasal dari penambahan kekayaan bersih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang PPh.

Karena harta tersebut menambah kemampuan ekonomis, dapat dipakai untuk konsumsi, atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, maka harta yang belum dilaporkan di SPT Tahunan dapat dikategorikan sebagai penghasilan dan DJP dapat melakukan pemeriksaan.

Sesuai Pasal 29 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pemeriksaan pajak dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran SPT wajib pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Untuk peserta PPS, diberikan fasilitas perlindungan data. Data yang ada dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH), tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Namun, apabila ditemukan harta tambahan untuk peserta PPS Kebijakan I maka akan dikenakan PPh final 25 persenuntuk Wajib Pajak Badan, 30 persen untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu plus sanksi 200 persen dari harta yang kurang diungkap. Sedangkan untuk peserta Kebijakan II akan dikenakan PPh final 30persen plus sanksi bunga ditambah dengan uplift factor 15 persen sesuai dengan Undang-Undang Harmonisai Peraturan Perpajakan.

Mari kita sambut fase penegakan hukum DJP dan kita nantikan siapa Avengers dalam pembangunan Indonesia. Pun tetap semangat untuk para pahlawan pembangunan. Pajak Kuat Indonesia Maju.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.