Oleh: (Lutfiya Tussifah), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

The strong do what they can and the weak suffer what they must”.

Kutipan Thucydides yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tebersit lagi di benak saya pada minggu ketiga Agustus 2023. Waktu itu saya sedang menapakkan kaki di depan candi-candi peninggalan Kerajaan Singasari.

Teman-teman berkata bahwa saya penganut aliran sesat karena lebih memilih ziarah candi ketimbang Bromo sebagai destinasi wisata di Malang. Namun, saya percaya baik aliran ziarah candi maupun aliran mendaki Bromo semestinya tidak perlu saling menuding. Keduanya sama-sama punya tujuan yang pantas dipilih oleh setiap petualang: mengagumi ciptaan Tuhan atau mengapresiasi karya sesama manusia. Dalam keterbatasan sumber daya, saya memilih tujuan kedua.

Dimulai dari Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Candi Jago menjadi titik awal kekaguman saya pada bentala masa lalu. Terletak 22 kilometer di timur Kota Malang, tempat pendarmaan Raja Wisnuwardhana ini hanya tersisa bagian kaki dan sedikit bagian badan berupa ambang pintu. Meskipun begitu, nasibnya tetap jauh lebih baik daripada kerajaan yang mendirikannya.

Di kecamatan yang sama, delapan kilometer jaraknya, terdapat Candi Kidal tempat pendarmaan Raja Anusapati. Candi ini dirawat oleh seorang penutur kisah yang luar biasa. Ibu Siti namanya. Beliau menguraikan setiap sudut candi dengan rinci hingga ke bagian yang luput dari mata awam seperti saya. Tak ketinggalan, beliau membagikan cerita memesona tentang perjuangan Garudeya (Garuda) dalam memerdekakan ibunya. Kisah yang kemudian menginspirasi terciptanya lambang negara kita.

Usai berpamitan, saya melanjutkan perjalanan ke Candi Singosari. Melewati tol Pandaan, perjalanan antara kedua candi membutuhkan waktu kira-kira 30 menit.

Candi yang terletak di kecamatan bernama serupa itu dirawat oleh Pak Daman, pria lanjut usia yang telah mendedikasikan dirinya untuk Candi Singosari selama lebih dari tiga dekade. Pak Daman menerangkan sejarah candi secara kronologis sembari menuntun saya berkeliling.

Candi Singosari sendiri merupakan tempat pendarmaan raja terakhir Singasari, Kertanegara. Sama seperti dua candi sebelumnya, candi ini menghadap ke arah barat. Bangunannya lengkap dari segi komponen tingkatan, namun dari banyaknya ukiran yang masih polos bangunan ini terlihat belum selesai dikerjakan. Diduga penyebabnya adalah runtuhnya kerajaan di tengah proses pembangunan.

Kejatuhan Singasari memang kejutan besar. Saya yakin tidak hanya bagi pembaca risalahnya, tetapi juga bagi Kertanegara sendiri. Dalam berbagai buku sejarah disebutkan bahwa Kertanegara merupakan raja terbesar Singasari. Pada masa pemerintahannya, kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok ini berhasil mengembangkan sektor perdagangan dan pelayaran, memantapkan struktur pemerintahan, bahkan memperluas wilayah kerajaan. Tidak ada yang menyangka masa keemasan itu terpaksa ditutup dengan menyedihkan.

Pemberontakan Jayakatwang rupanya demikian ampuh. Bupati Gelang-gelang yang tidak lain adalah ipar sekaligus besan Kertanegara itu menggunakan strategi serangan pengecoh yang membuat pasukan Singasari menyerbu ke arah utara di saat inti serangan justru berasal dari arah selatan.

Ziarah candi membuat saya teringat akan wawancara Menhan bersama Najwa Shihab akhir Juni lalu. Pada kesempatan itu Menhan menyebutkan betapa pertahanan merupakan suatu hal yang vital.

Beliau melanjutkan, sebuah negara dapat menjadi aman dan makmur karena negara tersebut mampu mempertahankan diri dan teritorinya. Banyak yang mengira keadaan damai adalah keadaan yang normal. Padahal, keadaan damai merupakan hal yang mahal dan harus diusahakan.

Mahal yang dimaksud oleh Menhan di sini selain bermakna konotatif tentu juga bermakna harfiah. Terbukti dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 Kementerian Pertahanan mendapatkan anggaran terbesar di antara Kementerian/Lembaga yang ada, yakni Rp134 triliun. Nominal ini digunakan untuk dukungan manajemen, modernisasi alutsista, serta profesionalisme dan kesejahteraan.

Bagaimana dengan peran masyarakat? Dalam Undang-Undang tentang Pertahanan Negara dijelaskan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya. Konstitusi pun mengatur bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Artinya, setiap warga negara seharusnya berkontribusi dalam sistem pertahanan negara.

Salah satu kontribusi yang nyata bentuknya adalah kontribusi finansial, yaitu dengan membayar pajak. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai fungsi negara, termasuk fungsi pertahanan.

Hubungan pajak dan pertahanan tidak hanya sebatas sumber dan tujuan dana. Pembayaran pajak juga merupakan upaya kita untuk menciptakan ketahanan fiskal. Maruapey (2016) bahkan menyebut bahwa ketahanan fiskal sama pentingnya dengan ketahanan wilayah sehingga ketahanan fiskal dapat dianggap sebagai pertahanan nonmiliter.

Menguatkan pajak berarti mendukung negara untuk mampu membiayai kelangsungan hidupnya sendiri. Hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan negara yang lebih berdaulat, negara yang mempunyai kekuatan untuk menentukan arahnya tanpa intervensi sana-sini.

Tidak salah lagi, mengoptimalkan dua konsep pertahanan adalah kunci. Menghilangkan salah satu sisi tak ubahnya Kertanegara yang salah strategi. Saya yakin, Ibu Pertiwi tidak butuh dua Singasari.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.