Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi hal yang tidak boleh dilupakan oleh wajib pajak. Sanksi administrasi telah menanti atas ketidakpatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Bahkan ketidakpatuhan yang bagi sebagian orang dirasa kecil, dapat melahirkan sanksi yang cukup membebani wajib pajak.

Terlambat (hanya) satu hari dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyebabkan wajib pajak dikenakan sanksi lima ratus ribu rupiah setiap masa pajak yang terlambat. Bayangkan jika wajib pajak terlambat atau tidak melaporkan SPT Masa PPN selama 12 bulan dalam satu tahun, wajib pajak harus siap-siap merogoh kocek guna membayar sanksi administrasi sebesar enam juta rupiah.

Kewajiban perpajakan ini melekat pada seluruh wajib pajak tanpa terkecuali. Disadari atau tidak, ternyata masih ada wajib pajak yang menganggap kewajiban perpajakan hanya dilakukan jika wajib pajak memiliki kegiatan usaha yang masih aktif dan/atau memperoleh penghasilan. Akibatnya, masih ada wajib pajak badan dan/atau orang pribadi usahawan yang tidak lagi melaporkan SPT ketika kegiatan usahanya tidak lagi berjalan.

“Usaha saya tidak lagi berjalan, mengapa masih harus lapor SPT, Pak?” seorang wajib pajak bertanya kepada account representative kantor pajak perihal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) karena belum melaporkan SPT. "Seandainya saya diinformasikan sebelumnya terkait kewajiban lapor pajak atas wajib pajak yang tidak ada kegiatan usaha, saya pasti tetap lapor SPT, Pak," sambung wajib pajak.

Kewajiban Lapor SPT

Berkaca dari sistem perpajakan self assessment yang berlaku di Indonesia, wajib pajak diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak. Ini menjadi hal utama yang harus disadari oleh wajib pajak ketika pertama kali mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.

Ketika mendaftar sebagai anggota dari perkumpulan, bagian dari organisasi, atau pengguna jasa dari suatu badan usaha, biasanya saya akan menanyakan dan mencari informasi mengenai hak dan kewajiban terkait keanggotaan saya. Saya menyadari bahwa hak dan kewajiban ini akan melekat selama saya masih menjadi anggota atau pengguna jasa.

Contoh yang sederhana adalah ketika kali pertama saya mendaftar menjadi nasabah suatu bank, saya terbiasa untuk bertanya terkait biaya-biaya administrasi yang harus saya keluarkan setiap bulan serta kewajiban lain yang harus saya lakukan. Saya meminta informasi tentang hak-hak yang saya dapatkan, seperti bagi hasil atau bunga yang akan saya terima. Saya juga menanyakan nomor telepon yang dapat saya hubungi sebagai sarana pengaduan dan informasi bagi nasabah.  

Konsep pemahaman seperti ini yang sebaiknya juga tertanam dalam diri wajib pajak sejak pertama kali terdaftar dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini sekaligus menjadi logika berpikir dari wajib pajak, walaupun dalam praktiknya pemahaman ini terwujud tidak hanya karena aktifnya wajib pajak mencari informasi. Ada tanggung jawab dari petugas pajak untuk menginformasikan hak dan kewajiban wajib pajak, khususnya untuk wajib pajak baru.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana jika usaha wajib pajak tidak lagi berjalan? Atau dengan kata lain bagaimana jika wajib pajak tidak lagi memiliki penghasilan.

Non-Efektif atau Hapus NPWP

Dilihat dari eksistensi wajib pajak dan pemenuhan kewajiban pajak, ada dua status wajib pajak yang terdaftar di kantor pajak, “aktif” dan “non-efektif”. Wajib pajak aktif bukan hanya wajib pajak yang masih melaksanakan kegiatan usaha dan memperoleh penghasilan. Wajib pajak yang tidak lagi memiliki kegiatan usaha namun belum mengajukan permohonan non-efektif dan ditetapkan sebagai wajib pajak non-efektif  akan tetap terdaftar sebagai wajib pajak aktif. Wajib pajak aktif ini terikat pada pemenuhan kewajiban perpajakan, termasuk pelaporan SPT.

Ketika wajib pajak sudah memiliki status non-efektif, wajib pajak tidak lagi terikat pada kewajiban pelaporan SPT, baik SPT Masa maupun SPT Tahunan. Namun, wajib pajak ini masih terdaftar di kantor pajak. Kewajiban pelaporan SPT kembali muncul ketika statusnya berubah kembali menjadi aktif. Perubahan status menjadi aktif ini bisa melalui permohonan wajib pajak maupun secara otomatis melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketika sistem DJP mendeteksi adanya pembayaran atau pelaporan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak non-efektif, status wajib pajak secara otomatis berubah menjadi aktif.

Ketentuan ini berlaku untuk wajib pajak badan dan orang pribadi. Artinya, wajib pajak badan dan/atau orang pribadi yang tidak lagi memiliki penghasilan atau memiliki kegiatan usaha dapat mengajukan permohonan menjadi wajib pajak non-efektif.

Satu hal yang kadang terlupakan adalah bahwa wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan non-efektif ketika masih merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam kondisi ini wajib pajak harus mengajukan permohonan pencabutan PKP terlebih dahulu sebelum menyampaikan permohonan non-efektif. Sebelum permohonan pencabutan PKP disetujui oleh kantor pajak, wajib pajak tetap harus melaporkan SPT Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pertanyaan selanjutnya adalah, jika wajib pajak sudah tidak lagi memiliki kegiatan usaha, apakah boleh mengajukan permohonan penghapusan NPWP. Jawabnya adalah boleh, untuk wajib pajak badan. Mengapa?

Kewajiban pajak subjektif dari badan usaha dalam negeri berakhir saat badan usaha itu dibubarkan. Sehingga, jika memang badan usaha telah dibubarkan (ada dokumen pendukung pembubaran), maka wajib pajak dapat mengajukan penghapusan NPWP.

Berbeda dengan badan usaha, berhentinya kewajiban subjektif dari orang pribadi adalah ketika orang pribadi tersebut meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.  Sehingga, wajib pajak orang pribadi yang masih memiliki kewajiban pajak subjektif tidak dapat mengajukan penghapusan NPWP walaupun sudah tidak memiliki kegiatan usaha dan/atau penghasilan.

Penting untuk diingat bahwa ada kewajiban pajak yang menyertai sejak wajib pajak memperoleh NPWP. Pemahaman atas kewajiban pajak ini harus dimiliki oleh semua wajib pajak. Petugas pajak memiliki tanggung jawab dari aspek edukasi dalam menanamkan pemahaman atas kewajiban pajak. Pemahaman ini diperlukan bukan hanya sejak wajib pajak terdaftar, namun juga sebelumnya. Jika dimungkinkan akan sangat baik kalau pemahaman pajak diberikan kepada masyarakat sejak usia sekolah.  Pemahaman sejak dini atas kewajiban perpajakan akan menjadi titik krusial kesadaran pajak yang bermuara pada peningkatan kepatuhan pajak.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.