Tax Fallacy

Oleh: (Muhammad Rakha Ishlah Adimad), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sebagai salah satu instrumen terpenting dalam kemandirian bangsa, pajak akhir-akhir ini menjadi sekeping koin yang memiliki dua sisi yang kerap disalahartikan dengan perspektif yang kurang tepat.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  telah disesuaikan menjadi 11% per 1 April 2022 dan akan disesuaikan kembali menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 nanti. Salah satu alasan fundamental aturan ini dalam salah satu konsiderans, yaitu:

bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara dan penduduk Indonesia, perlu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial”.

Tujuan mulia yang disebutkan tersebut dapat diwujudkan melalui gerakan kolaboratif seluruh elemen masyarakat. Amanat undang-undang ini ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi penerimaan pajak. Pendapatan pajak yang masuk ke kas negara dikelola secara hati-hati melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), lalu disalurkan untuk membiayai kepentingan negara dan kesejahteraan warga.

Santer, penyesuaian tarif PPN menjadi isu yang cukup hangat diperbincangkan oleh masyarakat, baik melalui media daring maupun luring. Telah terjadi logical fallacy atau miskonsepsi kekhawatiran masyarakat terhadap penyesuaian tarif PPN. Kekhawatiran tersebut terjadi karena penyesuaian tarif PPN menjadi 12% akan berdampak secara signifikan terhadap daya beli masyarakat di tengah lemahnya perekonomian. Namun sejatinya, dampak yang dikhawatirkan terkait penurunan daya beli masyarakat menengah ke bawah tidak cukup beralasan karena kondisi tersebut bukan lantaran tingginya harga, melainkan tidak adanya kemampuan membeli. Jika pun berdampak, sebenarnya penyesuaian tarif PPN tidak berimbas pada golongan menengah ke bawah. Justru sebaliknya, dampak akan semakin terasa ketika pemerintah tidak menyediakan bantalan subsidi kepada masyarakat dengan ekonomi lemah. Dalam konteks ini, pajak justru merupakan instrumen penyedia bantalan tersebut.

Jika kita tengok dari sisi kesenjangan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024 diolah), pada Maret 2024, rasio Gini Indonesia adalah 0,379. Angka tersebut merupakan angka terendah dalam satu dekade terakhir. Angka ini turun sebesar 0,009 poin dari Maret 2023 dengan angka sebesar 0,388. Artinya, high wealth income (HWI) atau si kaya masih menjadi penikmat kue ekonomi terbesar di republik ini. Oleh karenanya, dari sisi konsumsi, si kaya akan tetap membelanjakan asetnya. Itu menjadi sasaran utama dalam penyesuaian tarif PPN sebesar 1%. Dalam hal ini, prinsip redistribusi pajak akan dilakukan untuk mendorong kemampuan daya beli masyarakat, salah satunya melalui pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi tepat sasaran.

Jadi, penyesuaian tarif PPN tidak merusak daya beli masyarakat ekonomi lemah, melainkan merupakan langkah strategis agar terjadi redistribusi pendapatan bagi masyarakat menengah ke bawah agar memiliki kemampuan ekonomi yang cukup dan meningkat. Redistribusi pendapatan akan terjamin mengingat komitmen kuat presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk memberantas kebocoran anggaran dan memberantas korupsi hingga ke akarnya. Hal ini akan semakin menjaga keseimbangan dan kehadiran negara sebagai pelindung warganya.

Berikutnya, bagi kelas menengah, isu yang masih menjadi kekhawatiran adalah kenaikan harga. Terdapat miskonsepsi yang terjadi dalam konteks ini. Berdasarkan data BPS (2022, diolah), penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 11% berdampak pada kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi sebesar 0,4%. Selanjutnya, kontribusi konsumsi masyarakat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diestimasikan tetap tinggi, yaitu sebesar 51,87% pada tahun 2022 dan 53,18% pada tahun 2023 (Ibid; BPS, 2023, diolah).

Berdasarkan data tahun 2022 dan 2023 tersebut, dampak penyesuaian tarif PPN sebesar 1% untuk tahun 2025 diperkirakan relatif tidak akan berpengaruh signifikan terhadap inflasi maupun pola konsumsi. Bahkan, berita baiknya adalah bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi 12% hanya merupakan salah satu langkah yang akan dilakukan untuk menyejahterahkan rakyat.

Redistribusi Kesejahteraan Rakyat

Anggaran rumah tangga untuk makan siang anak di sekolah dipastikan akan ditanggung pemerintah melalui program makan bergizi gratis pada tahun 2025 mendatang. Di samping itu juga ada penyediaan tiga juta rumah gratis kepada warga.

Selain itu, secara teknis, kebutuhan esensial yang diperlukan orang banyak atau sering dikenal dengan kebutuhan primer dibebaskan dari PPN. Fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu tetap diberikan. Penyerahan (jual-beli) barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran dibebaskan dari PPN. Demikian pula penyerahan jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan. Penyerahan jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut juga dibebaskan dari PPN.

Artinya, kekhawatiran sebagian masyarakat terkait penyesuaian tarif PPN tersebut tidak cukup beralasan. Isu yang berkembang bukan mengarah pada hal primer atau kebutuhan pokok masyarakat, melainkan kebutuhan yang bersifat menentukan status kelas sosial masyarakat atau tersier. Toh jika masyarakat mampu membeli barang dan jasa yang tidak dibebaskan PPN, dapat dipastikan bahwa kelompok orang tersebut memiliki kemampuan yang cukup untuk mengonsumsi barang dan jasa tersebut. Itulah prinsip redistribusi pajak.

Sejatinya, ikhtiar kebangsaan harus dipahami secara patriotik dan disertai dengan rasa cinta yang tulus kepada republik ini. Kemandirian bangsa merupakan pilar utama untuk menjaga stabilitas negara guna menciptakan masyarakat yang sejahtera dan bebas dari kemiskinan. Pajak kuat, Indonesia maju.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.