Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Mega proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan ujung barat sampai ujung timur Pulau Jawa sudah hampir terwujud. Target pemerintah untuk Hari Raya Idul Fitri tahun 2018, antara Jakarta sampai dengan Surabaya dapat tersambung melalui jalan tol, baik tol yang sudah operasional maupun fungsional.

Sebagian besar jalan tol tersebut sudah dapat dinikmati pengguna jalan mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Perbedaan waktu tempuh menjadai sangat signifikan dibandingkan dengan melewati jalan raya biasa. Kendaraan dapat dipacu dengan rata-rata 80-100 km/jam.

Sebagai contoh, jarak 71 km dari Surabaya (Tol Waru) sampai dengan pintu Tol Bandar Kedungmulyo, Jombang bisa ditempuh hanya dalam waktu 45 menit. Jika melewati jalan raya biasa rata-rata memerlukan waktu 2,5 sampai 3 jam untuk rute tersebut. Apalagi jika weekend jalur tersebut rawan kemacetan di ruas-ruas titik tertentu. Hal ini akan sangat membantu untuk para pengguna jalan yang tidak punya banyak waktu.

Untuk dapat menikmati layanan tol dari Waru-Bandar Kedungmulyo tersebut, pengguna jalan dikenakan tarif total Rp82.000, yang dirasa cukup mahal jika dibanding dengan tol-tol lama yang sudah berlaku selama ini. Jika dihitung tarif rata-rata Rp1.150/km untuk kendaraan golongan I.

Banyak pengguna jalan yang mengeluhkan hal tersebut, meskipun mereka merasa lebih cepat, lebih hemat bahan bakar jika menggunakan jalan tol tapi merasa berat dengan tarif sebesar itu. Jika tidak terburu waktu, mereka cendenrung lewat jalan raya biasa demi menghemat pengeluaran. Yang paling terasa adalah angkutan logistik, hal itu akan menjadi tambahan biaya operasional.

Keluhan pengguna jalan tol akhirnya direspon pemerintah. Pemerintah menyadari bahwa tarif tol yang diterapkan terlalu tinggi. Hal ini bisa berdampak pada sepinya pengguna jalan tol, jika menggunakan jalan tol dikhawatirkan angkutan logistik akan membebankan kepada harga barang. Berbagai solusi diwacanakan untuk menurunkan tarif jalan tol. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif pajak.

Pemberian insentif pajak, baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) diharapkan beban pengeluaran pajak mereka menjadi lebih ringan. Hal ini secara langsung akan mengurangi potensi pajak yang akan diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan secara tidak langsung DJP yang menanggung penurunan tarif tol.

Dengan pemberian insentif pajak kepada para BUJT otomatis akan mengurangi potensi penerimaan pajak yang sangat besar, namun bukan berarti target penerimaan DJP turut menyesuaikan penurunan dari kehilangan pajak BUJT. Apakah DJP menjadi pihak paling dirugikan dengan penurunan tarif jalan tol? Jika berpikir pendek bisa dijawab ‘iya’, namun jika berpikir panjang bisa dijawab ‘tidak’.

Harapan DJP mungkin sama dengan harapan pemerintah, jika dengan menurunkan tarif tol diharapkan jumlah pemakai jalan tol meningkat maka pemasukan BUJT akan menjadi besar. Dengan pemasukan BUJT yang besar maka keuntungan meningkat secara selaras. Pajak yang dibayarkan juga akan tetap besar, meskipun prosentase tarif turun dikarenakan insentif pemerintah.

Penurunan tarif jalan tol, khususnya untuk angkutan logistik diharapkan agar distribusi menjadi lebih cepat dan tetap tidak menjadi lebih mahal. Dengan cepatnya distribusi dan tidak ada kenaikan harga logistik diharapkan daya beli masyarakat bisa meningkat dan pemerataan ekonomi antar daerah dapat terwujud. Dengan tingkat konsumsi masyarakat yang lebih baik, otomatis penerimaan pajak akan turut meningkat. Semoga.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.