SPT Karyawan, Masih Perlukah? ( oleh: Primandita Fitriandi )

Oleh: Primandita Fitriandi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam dekade ini perkembangan teknologi informasi meletakkan pondasi penting bagi digitalisasi administrasi perpajakan wajib pajak, khususnya pelaporan dan pembayaran pajak secara elektronik. Perkembangan ini mempermudah dan mempersingkat pelayanan kepada wajib pajak. Wajib pajak bisa membayar dan melapor pajak secara online di mana pun dan kapan pun. Meskipun demikian, suasana ramai tetap dihadapi oleh kantor pelayanan pajak pada akhir periode pelaporan SPT Tahunan. Sebagian besar yang datang adalah karyawan yang hendak menyampaikan SPT 1770S/1770SS.

Kondisi ini terjadi karena memang sebagian besar wajib pajak didominasi oleh karyawan. Berdasarkan data diketahui bahwa wajib pajak terdaftar di tahun 2016 adalah sebanyak 32,7 juta di mana orang pribadi karyawan adalah sebanyak 24,6 juta. Dari jumlah tersebut yang menjadi Wajib Pajak terdaftar wajib SPT adalah sebanyak 16,8 juta. Sedangkan realisasi WP OP karyawan yang menyampaikan SPT di tahun 2016 adalah sekitar 10,6 juta atau sekitar 63,2 persen. Ironisnya meskipun target e-filing dapat tercapai, tetapi target kepatuhan SPT tidak pernah tercapai dalam 5 tahun ke belakang.

Sudah jelas bahwa pencapaian target efiling dan kepatuhan SPT menjadi salah satu bukti keberhasilan kinerja kantor yang ditetapkan dalam sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama (IKU). Penyampaian SPT karyawan memang bermanfaat untuk memberikan edukasi kepada wajib pajak, mewujudkan pelayanan prima, dan pencapaian target kepatuhan. Meskipun demikian, ada baiknya kita menengok kembali urgensi pemberlakuan kewajiban penyampaian SPT karyawan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana di bawah ini.

1. Kontribusi Penerimaan Tidak Signifikan

Dari 10,6 juta wajib pajak karyawan yang menyampaikan SPT ternyata yang melakukan pembayaran PPh Pasal 29 adalah sekitar 120 ribu wajib pajak atau hanya sekitar 0,5 persen dari wajib pajak OP karyawan yang terdaftar. Sedangkan penerimaan PPh Pasal 29 dari orang pribadi karyawan (SPT 1770S/SS) untuk tahun pajak 2016 jumlahnya tidak signifikan, kurang dari 1% yang menyatakan kurang bayar dengan kontribusi hanya sekitar Rp 3,2 Triliun. Dibandingkan dengan target pajak yang begitu tinggi, penerimaan SPT Tahunan karyawan ini tidak sebanding dengan energi dan waktu yang dikeluarkan.

2. Data Pihak Ketiga Lebih Reliabel

Sebagian besar WP karyawan menyampaikan SPT dengan nilai yang sama dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721 A1/A2) sehingga PPh Pasal 29-nya nihil. Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk melampirkan daftar harta dan utang. Sayangnya sebagian WP karyawan tidak mengisi daftar harta dan utang ketika menyampaikan SPT.

Pada dasarnya sebagian besar data penghasilan karyawan bisa diketahui dari pemberi kerja, apalagi dengan adanya kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dalam bentuk elektronik kepada pemberi kerja sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013.Penghasilan lainnya pun bisa diperoleh dari bukti pemotongan PPh selain formulir 1721 A1/A2 yang juga diperoleh DJP.

Selain data penghasilan yang bisa diperoleh dari pemberi kerja, DJP mempunyai mekanisme perolehan data dan informasi dari pihak ketiga dengan memanfaatkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan dan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Apabila mekanisme tersebut berjalan secara optimal maka data yang terdapat dalam SPT karyawan, termasuk data harta dan utang, bisa terisi seluruhnya dengan menggunakan data pihak ketiga yang lebih reliabel sehingga keberadaan SPT karyawan tidak diperlukan lagi.

3. SPT Karyawan Tidak Ada di Negara Maju

Praktik yang berlaku di negara maju, khususnya negara-negara yang tergabung dalam OECD seperti Turki, Kanada, dan Finlandia, ternyata tidak mewajibkan SPT Tahunan untuk karyawan. Sebagian negara mewajibkan karyawan menyampaikan SPT Tahunan apabila mereka menerima penghasilan lebih dari satu pemberi kerja atau menerima penghasilan lebih dari satu pemberi kerja yang menyebabkan penghasilan akumulatif mereka menembus lapisan tarif di atasnya. Secara umum administrasi perpajakan di negara maju tidak mengenal lagi SPT karyawan.

4. Infrastruktur yang Belum Siap

Banyak wajib pajak yang mengeluhkan lambat dan sulitnya akses ke DJP online untuk penyampaian e-filing, khususnya pada batas akhir pelaporan. Slogan e-filing (mudah, cepat dan aman) tidak akan tercapai apabila wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengaksesnya. Ketidaksiapan infrastruktur ini perlu menjadi bahan evaluasi bagi DJP untuk peningkatan pelayanan wajib pajak di masa mendatang.

5. Sumber Daya Terkuras

Musim penerimaan SPT Tahunan jelas melibatkan sebagian sumber daya manusia di KPP. Tidak hanya Seksi Pelayanan yang sibuk, ternyata semua pegawaitermasuk kepala seksi dan Account Representative (AR) pun terlibat secara langsung. Sebagian tugas pengawasan dan penggalian potensi dikesampingkan untuk kegiatan penerimaan SPT ini.

6. Biaya Administrasi yang Besar

SPT karyawan tentu memerlukan biaya yang besar seperti biaya pengembangan aplikasi, biaya infastruktur, biaya pemeliharaan, dan sebagainya. Biaya ini belum termasuk biaya publikasi, periklanan, seremonial dan lainnya yang tentunya memerlukan biaya yang besar pula.

Melihat faktor-faktor di atas, DJP sebaiknya fokus ke wajib pajak yang dengan sumber penerimaan yang lebih besar seperti WP Badan dan WP OP Nonkaryawan. Syukurlah dalam beberapa tahun ini target kepatuhan juga memasukkan persentase tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan dan OP Nonkaryawan dan persentase pertumbuhan WP Badan dan OP Nonkaryawan yang melakukan pembayaran. Diharapkan dengan adanya target ini KPP bisa lebih fokus dalam penggalian potensi kepada WP selain karyawan.

Reformasi perpajakan membutuhkan perubahan yang mendasar dalam sistem administrasi perpajakan. Dengan target yang semakin tinggi dari tahun ke tahun, sudah saatnya administrasi yang bersifat formal, boros sumber daya, dan kontribusi kecil ke penerimaan bisa digantikan dengan administrasi yang otomatis dan IT based. SPT karyawan bisa diganti dengan bukti pemotongan PPh dan data pihak ketiga yang dihasilkan dari basis data yang dimiliki DJP, sehingga tidak ada keharusan bagi WP karyawan untuk menyampaikan SPT lagi. Tentu untuk mencapai hal ini dibutuhkan adanya reformasi yang mendasar di bidang infrastruktur teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundangan-undangan. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja